BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu tujuan
pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini dikarenakan peserta didik berasal dari masyarakat, dididik
oleh masyarakat dan akan kembali kepada masyarakat. Ketika peserta dididik akan
kembali kepada masyarakat, maka dia harus memiliki sesuatu yang menggambarkan
masyarakat kepada dirinya. Baik itu kompetensi, pengetahuan, keterampilan,
sikap serta nilai-nilai yang dapat berguna bagi masyarakat dimana dia hidup dan
tinggal.
Inilah mengapa,
pendidikan bukan hanya sekedar pembelajaran, akan tetapi lebih daripada itu
semua. Kehidpuan masyarakat penuh dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya sehingga dalam pembentukan sebuah kurikulum yang akan dijalankan oleh
peserta didik, landasan sosiologis mendapatkan tempat yang penting selain
landasan filosofis dan landasan psikologis. Dengan pendidikan, kita
mengharapkan munculnya peserta didik yang mampu membaur dan mengabdi kepada
masyarakat. Sehingga dibutuhkan sistem pendidikan yang mengerti benar bagaimana
masyarakat serta hal-hal apa yang ada didalamnya. Oleh karenanya, landasan
sosiologis sebagai landasan penting dalam pengembangan kurikulum diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan input yang diolah oleh lembaga
pendidikan di sekolah maupun madrasah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Makna Landasan Sosiologis?
2.
Apa Ruang Lingkup Landasan Sosiologis?
3.
Apa Implikasi Landasan Sosiologis dalam Pengembangan
Kurikulum?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui makna landasan sosiologis
2.
Mengetahui ruang lingkup landasan sosiologis
3.
Mengetahui Implikasi Landasan Sosiologis dalam
Pengembangan Kurikulum
BAB II
PEMBAHASAN
A. LANDASAN SOSIOLOGIS
Konsep
pendidikan tidak dapat lepas dari masyarakat. Pendidikan yang tepat bagi
peserta didik adalah pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
kurun waktu tertentu. Dalam perspektif Sosiologi, banyak ditemukan konsep dan pengertian
pendidikan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Emile Durkheim seorang tokoh
Sosiologi yang mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses mempengaruhi yang
dilakukan oleh generasi orang dewasa, kepada mereka yang belum siap untuk
melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan kondisi fisik ,
intelek, dan watak yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.[1]
Dalam mengambil
keputusan tentang kurikulum para pengembang harus mempertimbangkan kondisi riil
dan keragaman budaya (multikulturalisme) dalam masyarakat. Menurut Muzamil
Basyir dan M. Sa’id masyarakat adalah komunitas yang terdiri dari
individu-individu yang hidup pada tempat tertentu yang saling berhubungan baik
masalah kenegaraan, kemasyarakatan, perekonomian, politik maupun kerohanian.[2]
Secara
terminologi landasan sosiologis pengembangan kurikulum mempunyai arti
asumsi-sumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam
pengembangan kurikulum.[3] Landasan
sosial budaya dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk menyesuaikan
masing-masing perbedaan, baik dari segi sosial maupun segi budaya dan kultur
yang ada di masyarakat sehingga terjalin keseimbangan dalam kegiatan
pembelajaran.[4]
Isi pendidikan (kurikulum) adalah kebudayaan manusia yang senantiasa
berkembang. Baik kebudayaan universal seperti sistem bahasa, sistem
pengetahuan, agama/sistem religi, sistem mata pencaharian/teknologi, organisasi
sosial, kesenian maupun kebudayaan khusus yang sesuai dengan masyarakat
setempat. Kebudayaan universal terutama bahasa, religi dan sistem pengetahuan
serta teknologi adalah unsur-unsur utama isi kurikulum secara universal.
Sedangkan isi kebudayaan khusus masuk sebagai isi kurikulum dalam bentuk
kurikulum muatan lokal.[5]
Dari sudut
pandang sosiologis, dalam sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan
terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat:[6]
a.
Mengadakan revisi dan perubahan sosial
b.
Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan
melaksanakan penelitian ilmiah
c.
Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan
d.
Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional serta
mempertahankan status quo
e.
Mengekploitasi orang banya demi kesejahteraan golongan
elite
f.
Mewujudkan revolusi sosial untuk menghilangkan
pengaruh-pengaruh pemerintahan terdahulu
g.
Mendukung kelompok-kelompok tertentu, antara lain
kelompok militer, industri, atau politik
h.
Menyebarluaskan falsafah, politik dan kepercayaan
tertentu
i.
Membimbing dan mendisiiplinkan jalan pikiran generasi
muda
j.
Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi
Para pengembang
kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk mempelajari dan memahami kebutuhan
masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang, Peraturan, Keputusan
Pemerintah dan lain-lain; menganalisis masyarakat dimana sekolah berada,
menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja; menginterpretasi
kebutuhan individu dalam runag lingkup kepentingan masyarakat. James W.
Thornton mengatakan bahwa setidaknya ada empat kelompok kekuatan sosial yang
mempengaruhi kurikulum. Diantaranya:[7]
a.
Kekuatan sosial yang resmi, terdiri dari : pemerintah
suatu negara, melalui UUD dan ideologi negara; pemerintah daerah melalui
kebijakannya; perwakilan departemen pendidikan setempat.
b.
Kekuatan sosial setempat, terdiri dari: yayasan yang
bergerak dibidang pendidikan; kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah
sejenis; perguruan tinggi; persatuan orang tua murid; penerbit buku-buku
belahar; media massa; adat kebiasaan masyarakat setempat.
c.
Organisasi profesional, seperti persatuan guru, dokter
dan ahli hukum.
d.
Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan
kepentingan tertentu, seperti kelompok patriotik dan sebagainya.
Para
pengembang kurikulum memiliki tugas atau tanggung jawab untuk:
a.
Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana
dirumuskan dalam Undang-Undang, Peraturan, Keputusan Pemerintah, dan lain-lain.
b.
Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada.
c.
Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja,
dan
d.
Menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup
kepentingan masyarakat.[8]
Dalam mengambil
keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan
atau dunia dimana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang dilontarkan
oleh beragam golongan dalam masyarakat (sebagaimana diungkapkan di atas) dan
memahami tuntutan pencantuman nilai-nilai falsafah pendidikan bangsa dan
terkiat dengan falsafah pendidikan yang berlaku.
Mengapa
pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Hal ini dikarenakan
“Anaka-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal,
informal maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar
mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan
budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak
dalam melaksanakan kurikulum.
B. RUANG LINGKUP LANDASAN SOSIOLOGIS
1. Sistem Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat adalah sebuah sistem yang
memiliki tiga subsistem, yaitu subsistem budaya (culture system), subsistem sosial (social subsystem), dan subsistem kepribadian (personality subsystem). Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma,
pengetahuan dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut bersama (shared). Dalam sistem sosial terdapat
struktur peran, yaitu perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang
sesuai dengan status sosialnya. Sosiologi mengenal dua kategori status sosial
yaitu (a) ascribed status, yaitu
status yang diperoleh sejak lahir atau sebagai akibat perkembangan usia, seperti
laki-laki atau perempuan, bangsawan atau rakyat jelata, rahmana atau ksatria,
sebagai anak-anak atau orang dewasa. (b) achieved
status , yaitu status yang diperoleh karena hasil usaha orang yang
bersangkutan, seperti dosen, guru, karyawan, pimpinan perusahaan, dokter,
advokat, dan pemain bola.[9]
Hasil penelitian Alex Inkeles di enam negara Asia, Afrika
dan Amerika Latin menggambarkan karakteristik kepribadian manusia modern
sebagai berikut:
(a)
Mau menerima ide atau gagasan dan pengalaman baru serta
terbuka untuk perubahan dan pembaharuan
(b)
Mampu mengeluarkan pendapat mengenai berbagai persoalan
pribadi atau orang lain. Ia tidak tunduk begitu saja terhadap pendapat orang
lain.
(c)
Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan dan ilmu
pengobatan modern, tidak tinggal pasif dan menyerah pada nasib dalam menghadapi
persoalan hidup
(d)
Mempunyai ambisi bagi dirinya dan bagi anak-anaknya untuk
memiliki lapangan kerja dan pendidikan yang lebih baik
(e)
Tepat waktu dan menyusun rencana kerja untuk masa yang
akan datang
(f)
Memperlihatkan perhatian yang serius terhadap
masalah-masalah sosial dan ikut andil didalamnya
(g)
Berusaha untuk mengikuti berita-berita Nasional dan
Intenasional[10]
2.
Pendidikan Dan Perubahan Sosial
Struktur sosial meliputi pola pengaturan status dan
peran-peran yang berkaitan satu sama lain, sedangkan interaksi sosial adalah
proses saling berhubungan dan saling mempengaruhi anatar seorang warga dengan
warga lainnya. Isu perubahan banyak juga digunakan dalam rangka promosi suatu
jabatan, mulai dari pemilihan calon pejabat politisi. Artinya perubahan bukan
saja milik masyarakat di suatu daerah melainkan milik masyarakat nasional
bahkan dunia.
Berbagai
perubahan sosial pada gilirannya akan berdampak terhadap peran pendidikan.
Pendidikan akan berperan ganda, disatu pihak pendidikan sebagai pelaku
konservasi (agent of conservation)
tetapi dilain pihak pendidikan sebagai pelaku perubahan (agent of change ). Berbagai peran pendidikan dalam perubahan sosial
menimbulkan fenomena baru yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai
pihak terkait. Dasar pemikirannya adalah:
a.
Banyak orang dari orang desa agraris yang mampu
menyekolahkan putra-putrinya ke kota dalam bidang non agrikultur. Setelah lulus
anak-anak tersebut tidak mau lagi pulang ke desanya karena merasa tdak cocok
lagi berada di lingkungan desa yang agrarid tersebut. Orang tua pun berfikir
yang sama dengan anaknya. Orang tua berharap anak-anaknya dapat bekerja di
kantor atau perusahaan yang lebih produktif dan terhormat, sehingga terjadilah
urbanisasi.
b.
Masyarakat yang cenderung hanya ingin memperoleh gelar
akademik mulai dari tingkat sarjana, magister sampai doktor, bahkan ada juga
yang ingin membeli jabatan fungsional dosen yaitu guru besar (profesor) dengan
cara apapun.
c.
Dengan masyarakat yang sedang dan terus berkembang
seperti Indonesia, pendidikan formal bergerak mengikuti perkembangan
masyarakat, bukan membimbing atau menuntut perkembangan masyarakat. Fungsi
pendidikan hanya bersifat adaptif, yaitu memberikan kemampuan beradaptasi
terhadap suatu keadaan. Artinya, ada agen perubahan lainnya yang lebih efektif
dibandingkan pendidikan, mungkin komunikasi atau proses difusi.
C. IMPLIKASI LANDASAN SOSIOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN
KURIKULUM
1.
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan nilai-nilai,
norma, pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang ada di dalam masyarakat.
Tidak hanya itu pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan bentuk perilaku
seseorang berdasarkan status sosialnya dan karakteristik kepribadian manusia
modern.[11]
2.
Pengembangan kurikulum disusun dengan memanfaatkan media
pembelajaran yang modern sehingga siswa betul-betul menyenangi dan menguasai
materi (kurikulum) yang disampaikan sebagai bekal mereka untuk menghadapi
masalah-masalah aktual di masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.[12]
3.
Pengembangan kurikulum harus disusun secara terpadi,
sistematik, komprehensif dan holistik untuk melakukan reorientasi dan
reorganisasi kurikulum sehingga pendidikan itu dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, baik melalui kajian-kajian teoritik maupun empirik.[13]
4.
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur
pendidikan informal seperti peran orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam
memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
5.
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan
peserta didik pada masa yang akan datang, antara lain sebagai calon ayah atau
calon ibu yang akan mendidik putra-putrinya.
6.
Pengembangan kurikulum harus dapat membekali kemampuan
yang cukup kepada peserta didik agar ia menyadari sepenuhnya peran penting
sebagai orang tua dalam mendidik putra-putrinya.[14]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara terminologi landasan sosiologis pengembangan
kurikulum mempunyai arti asumsi-sumsi yang berasal dari sosiologi yang
dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Landasan sosial budaya
dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk menyesuaikan masing-masing
perbedaan, baik dari segi sosial maupun segi budaya dan kultur yang ada di
masyarakat sehingga terjalin keseimbangan dalam kegiatan pembelajaran.
Ruang lingkup dalam landasan sosiologis adalah sistem
masyarakat dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam artian,
pendidikan harus mampu memenuhi apa yang masyarakat inginkan tanpa menghilangkan
nilai-nilai dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Implikasi landasan sosiologi dalam pengembangan kurikulum
adalah: Pengembangan kurikulum harus memperhatikan nilai-nilai, norma,
pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang ada di dalam masyarakat; Pengembangan
kurikulum disusun dengan memanfaatkan media pembelajaran yang modern;
Pengembangan kurikulum harus disusun secara terpadi, sistematik, komprehensif
dan holistik untuk melakukan reorientasi dan reorganisasi kurikulum;
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal
seperti peran orang tua dan anggota keluarga.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013).
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum
(Teori dan Praktek), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
Raharjo, Rahmat, Pengembangan
Kurikulum, (Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012).
Sudjana, Nana, Pembinaan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah,
(Bandung: CV. Sinar Baru, 1991).
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010).
Zaini, Muhammad, Pengembangan
Kurikulum (Konsep Implementasi dan Inovasi), (Yogyakarta: Teras, 2009).
No comments:
Post a Comment