A.
Latar Belakang
Manusia tidak
bisa lepas dari kegiatan belajar. Sejak manusia lahir sampai menjelang akhir
hayatnya manusia masih bersentuhan dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar
ini juga merupakan karakeristik penting yang membedakan manusia dengan makhluk
hidup lainnya. Belajar merupakan sebuah proses yang terjadi pada manusia yakni
dengan cara berpikir, merasa, dan bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang
diinginkan untuk menghasilkan sebuah prilaku, pengetahuan, teknologi, atau hal
lain yang berupa karya dan karsa dari manusia tersebut.
Belajar menurut
Hilgrad dan Bower memiliki arti untuk memperoleh pengetahuan atau menguasai
pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai, dan mendapatkan informasi
atau menemukan.[1]
Adanya keinginan atau dorongan dalam diri seseorang untuk belajar menurut Arden
N. Frandesen antara lain karena adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki
dunia lebih luas, adanya sifat kreatif yang ada pada manusia dan keinginan
untuk maju, adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru,
dan teman-teman, adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan
usaha yang baru baik dengan koperasi maupun dengan kompetensi, adanya
keinginana untuk mendapatkan rasa aman,
adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir dari pada bealajar.[2]
Oleh karena itu, belajar tak lain bertujuan agar dapat membawa perubahan bagi
si pelaku baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan dari berbagai informasi dan
pengalaman yang didapatkan.
Banyak aliran
psikologi dan pandangan para ahli pendidikan yang yang membahas teori belajar
salah satunya adalah teori humanistik. Teori humanistik ini muncul dari ketidak
setujuan atas pandangan psikoanalisis dan behavioristic yang dimana menurut
pandangan humanistik, kedua teori bejar tersebut terlalu kaku, pasif, dan
menunjukkan sikap pesimis (utamanya teori psikoanalisis). Teori humanistik
beranggapan bahwa perlu adanya penekanan terhadap sikap saling menghargai dan
tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana konsep
dari teori belajar humanistik, siapa saja tokoh yang menganut teori ini,
kelebihan dan kekurangan, serta aplikasi dan implikasi teori humanistik dalam
pembelajaran.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana konsep dari Teori Belajar
Humanistic ?
2.
Bagaimana Teori Humanistic menurut Para Tokoh
?
3.
Apa Kekurangan dan Kelebihan dari teori Belajar
Humanistic ?
4.
Bagaimana Aplikasi Teori
Humanistik
dalam pembelajaran ?
5.
Bagaimana Implementasi Teori
Humanistik
dalam pembelajaran ?
C.
Pembahasan
1.
Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik
Dalam
perspektif sejarah, aliran humanistik lahir dan mulai dikembangkan pada tahun
1950 - an. Humanistik berpedoman untuk kembali memanusiakan manusia, dengan
memaksimalkan potensi – potensi yang dimilikinya. Humanistik memandang dua
aliran pendahulunya, behavioristik dan psikoanalistik, sebagai sebuah aliran
yang dianggap sebagai dehumanizing, pandangan yang diartikan melecehkan
nilai nilai manusia. Behavioristik dalam proses pembentukannya, dianggap
terlalu fokus dengan penelitian tingkah laku pada hewan, dan menganalisis
kepribadiannya secara fragmentaris.[3]
Sedangkan teori psikoanalistik Sigmeund Freud, juga dikritik karena memandang
tingkah laku manusia terbentuk atas adanya dorongan primitif dan animalistik.
Aliran
humanistik dibentuk atas kritikan pada teori behavioristik dan psikoanalistik.
Para ilmuwan aliran humanistik, mencoba menyusun sebuah konsep teori, yang
mencoba mengembalikan pemahaman potensi – potensi manusia, dengan menggunakan
manusia sebagai subjek dan objek penelitian. Maka, aliran ini mengatakan bahwa,
sesungguhnya perkembangan kepribadian manusia, terletak pada proses atau
kejadian, yakni bagaimana manusia membangun dirinya sendiri untuk dapat
melakukan hal – hal yang positif.[4]
Untuk
dapat memahami teori dari aliran humanistik, berikut pemakalah akan membahas
hal – hal penting terkait dengan aliran ini.
a.
Pengertian
Aliran Humanistik
Dari
peta konsep di atas, dapat dipahami bahwa aliran humanistik ialah sebuah aliran
yang menganggap bahwa manusia mempunyai potensi – potensi mendasar, dan ia
mempunyai keleluasaan untuk menentukan pembelajaran pada dirinya sendiri.
Memanusiakan manusia ialah sebuah konsep mutlak yang harus dicapai oleh
pengikut aliran ini. Dalam proses pembelajaran, fokus dari pembelajaran dan
pendidikan manusia ditujukan untuk membentuk manusia sesuai dengan apa yang
dicita – citakan. Belajar bukanlah sebuah paksaan, melainkan sebuah bentuk
kesadaran dalam diri seseorang untuk memaksimalkan potensi – potensi yang ia
miliki. Tentunya, disertai dengan adanya motivasi yang kuat dalam dirinya
sendiri.
Humanistik
memandang bahwa belajar bukanlah sekedar mengembangkan kualitas kognitif saja,
melainkan juga mengembangkan seluruh proses yang berkaitan dengan seluruh aspek
dan domain – domain yang ada pada individu.[5]
Adapun domain yang dimaksud adalah domain kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pembelajaran dalam konsep humanistik menitikberatkan pada pentingnya
mengontrol emosi dan perasaan, menjaga komunikasi secara terbuka, dan
memaksimalkan nilai – nilai yang dimiliki oleh setiap siswa.[6]
Para
ahli psikologi pendidikan menyatakan bahwa pendidikan humanistik pada dasarnya
bukanlah sebuah strategi dalam pembelajaran, melainkan sebuah filosofi dalam
proses belajar. Filosofi belajar dalam konsep humanistik adalah memerhatikan
keunikan – keunikan yang dimiliki oleh setiap peserta didik, dan percaya bahwa
mereka mempunyai cara tersendiri untuk mengonstruksi pengetahuan yang
dipelajarinya. Dengan demikian, nilai – nilai kemanusiaan yang ada dalam diri
peserta didik dapat dikembangkan dengan baik.
2. Tokoh – tokoh Teori Humanistik
Dalam aliran teori
humanistik, ada beberapa tokoh yang dikenal atas dasar pemikirannya. Berikut
pemakalah akan menuliskan beberapa tokoh penting dalam aliran humanistik.
a.
Bloom
dan Krathwohl
Bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang dikuasai oleh peserta didik, yang mencangkup pada tiga
aspek[7]
berikut :
1)
Kognitif
Dalam aspek ini, Bloom dan Krathwohl
membaginya pada enam tingkatan berikut :
a)
Pengetahuan
(mengingat dan menghafal)
b)
Pemahaman
(menginterpretasikan)
c)
Aplikasi
(menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
d)
Analisis
(menjabarkan suatu konsep)
e)
Sintesis
(menggabungkan bagian – bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
f)
Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode, dan sebagainya).
2)
Psikomotor
Dalam aspek psikomotor, setidaknya ada
lima tingkatan pemahaman peserta didik :
a)
Peniruan
(menirukan gerak)
b)
Penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c)
Ketepatan
(melakukan gerak dengan benar)
d)
Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e)
Naturalisasi
(melakukan gerak secara wajar).
3)
Afektif
Untuk ranah afektif, Bloom dan Krathwohl
membaginya dalam lima tingkatan :
a)
Pengenalan
(ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b)
Merespons
(aktif berpartisipasi)
c)
Penghargaan
(menerima nilai – nilai, setia pada nilai tertentu)
d)
Pengorganisasian
(menghubung – hubungkan nilai)
e)
Pengamalan
(menjadikan nilai sebagai bagian dari pola hidup)
b.
Abraham
Maslow
Singkat
terkait biografi Maslow. Beliau dilahirkan pada tahun 1908 di Broklyn, New
York.[8]
Merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Semasa hidupnya, Maslow tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang kurang menyenangkan. Ayahnya bersikap dingin dan
tidak akrab, serta sering tidak berada di rumah. Sedangkan ibunya, cenderung
bersifat galak dan kejam, bahkan suatu ketika saat Maslow membawa dua ekor anak
kucing ke rumah, ibunya langsung membunuh dua anak kucing tersebut, serta
menganiaya Maslow.
Dari peristiwa masa kecilnya ini, kemudian Maslow
mulai aktif menulis dengan menggunakan filsafat – filsafat atas dasar peristiwa
pahit yang dialaminya. Seluruh penelitian dan teori – teorinya, juga didasarkan
pada pengalaman semasa kecilnya.
Sebagai
seorang aliran humanistik, Maslow mendasarkan teorinya pada asumsi bahwa di
dalam diri individu terdapat dua hal, yaitu :
1) Suatu usaha positif untuk berkembang.
2) Kekuatan untuk melawan ataupun menolak
sebuah proses perkembangan.
Secara
garis besar, teori Maslow ini menjelaskan bahwa setiap individu pada dasarnya
memiliki ketakutan untuk berusaha dan berkembang. Ketakutan ini bersifat
mempengaruhi dalam mengambil keputusan, ataupun perihal menentukan langkah ke
depan. Akan tetapi, disisi lain seorang individu juga mempunyai motivasi dan
dorongan untuk menggapai cita – cita yang diinginkan, sesuai dengan potensi dan
kemampuan yang dimilikinya, sehingga seseorang tersebut mampu menemukan dan
menerima dirinya sendiri (self).
Maslow
dalam teorinya mengemukakan bahwa motivasi manusia diorganisasikan ke dalam
sebuah bentuk hierarki kebutuhan sistematis[9],
diawali dari kebutuhan yang paling mendasar hingga yang paling kompleks.
Berikut klasifikasi kebutuhan sistematis menurut Maslow :
1) Kebutuhan Fisiologis
2) Kebutuhan Rasa Aman
3) Kebutuhan Pengakuan dan Kasih Sayang
4) Kebutuhan Penghargaan
5) Kebutuhan Kognitif
6) Kebutuhan Estetika
7) Kebutuhan Aktualisasi Diri
c. Kolb
Kolb
adalah seorang ahli penganut aliran humanistik. Menurutnya, tahap belajar
seorang individu terbagi menjadi empat tahap[10]
sebagai berikut :
1) Pengalaman Konkret
Dalam tahapan ini,
seseorang mengalami dan mengamati suatu peristiwa secara langsung, mampu
menceritakan kembali peristiwa tersebut dengan mendetail berdasarkan
pengamatannya. Tetapi, ia belum mampu memahami makna dan hakikat dari peristiwa
tersebut.
2) Pengalaman Aktif dan Reflektif
Tahapan ini menjelaskan
bahwa seseorang semakin lama akan mampu mengamati dan mengobservasi secara
aktif terhadap peristiwa – peristiwa yang dialami dalam kehidupannya. Mulai
berupaya untuk mencari jawaban, memikirkan esensi dari peristiwa tersebut, dan
melakukan refleksi terhadap dirinya.
3) Konseptualisasi
Dalam tahapan ini,
seseorang sudah mulai mampu untuk membuat dan mengembangkan teori, konsep,
ataupun hukum tentang sesuatu yang menjadi obyek penelitiannya.
4) Eksperimentasi Aktif
Dalam tahapan terakhir
ini, menurut Kolb seseorang mampu melakukan eksperimen aktif, mengaplikasikan
konsep – konsep dan teori – teori ke dalam situasi nyata. Berpikir secara
deduktif untuk menguji kebenaran dari teori – teori tersebut.
d. Honey dan Mumford
Honey
dan Mumford ialah tokoh ilmuwan yang juga penganut dari aliran humanistik.
Teorinya tentang belajar diilhami dari pemikiran Kolb tentang tahapan belajar.
Berdasarkan pada teori Kolb, mereka mencetuskan sebuah teori tentang pembagian
siswa, sebagai berikut :
1) Kelompok Aktifis
Yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah mereka yang senang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
dengan tujuan untuk mendapatkan pengalaman baru.
2) Kelompok Reflektor
Orang – orang yang
tergolong dalam kelompok reflektor ialah kebalikan dari karakter - karakter
kelompok aktifis.
3) Kelompok Teoritis
Orang – orang tipe
teoritis memiliki kecenderungan untuk sangat kritis, suka menganalisis, dan
berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya.
4) Kelompok Pragmatis
Orang – orang yang
memiliki sifat praktis, dan tidak mau bertele – tele dalam menghadapi sesuatu.
Tidak suka terhadap konsep, teori, dan dalil – dalil.
e. Jurgen Habermas
Jurgen
Habermas ialah seorang tokoh aliran humanistik yang berpendapat bahwa belajar
akan terjadi apabila ada interaksi antara individu dengan lingkungannya.[11]
Lingkungan yang dimaksud oleh Habermas adalah lingkungan alam dan lingkungan
sosial yang saling memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Atas dasar
pemikirannya tersebut, Habermas membagi tipe belajar menjadi tiga bagian[12]
sebagai berikut :
1) Technical Learning
Belajar
teknis adalah proses belajar seseorang hingga ia mampu berinteraksi dengan
lingkungan alamnya secara benar. Untuk dapat mengelola dan berinteraksi dengan
alam secara benar, maka menurut Habermas ilmu – ilmu yang berperan penting
dalam proses belajar teknis adalah ilmu – ilmu alam atau sains.
2) Practical Learning
Dalam
konsep belajar praktis, Habermas berpendapat bahwa belajar praktis adalah
konsep belajar manusia untuk dapat berinteraksi dengan baik, antara individu
tersebut dengan orang – orang di sekitarnya.[13]
Dalam konsep ini, yang menjadi titik fokus pembelajarannya adalah aspek sosial
kemasyarakatan. Oleh karena itu, ilmu – ilmu yang dipelajari juga berkaitan
dengan sosial, seperti halnya sosiologi, psikologi, komunikasi dan antropologi.
3) Emancipatory Learning
Belajar
emansipatori dalam konsep Habermas adalah sebuah upaya belajar seorang individu
untuk memahami terjadinya perubahan dan informasi culture yang ada di
lingkungannya.
Pada
konsep ini, Habermas mengatakan bahwa esensi terjadinya sebuah pertukaran
informasi, dan trasnformasi antar budaya ialah sebuah tingkatan tertinggi yang
akan dicapai dalam konsep pembelajaran emansipatori. Sebab, terjadinya
transformasi kultural ialah sebuah tujuan dari pendidikan paling tinggi.
f.
Carl Rogers
Menurut
Rogers dalam Jamil Suprihatiningrum, ada dua tipe belajar, yaitu kognitif
(kebermaknaan) dan experiental (pengalaman).
Guru memberikan makna (kognitif) bahwa tidak membuang sampah sembarangan dapat
mencegah terjadinya banjir. Jadi, guru perlu menguhubungkan pengetahuan
akademik kedalam pengetahuan bermakna. Sementara experiental learning melibatkan siswa secara personal, berinisiatif,
termasuk penilaian terhadap diri sendiri (self
assessment).[14]
Dalam
bukunya yang berjudul Free from to learn
and freedom to learn for the 80’, yang dikutip Sri Esti Wuryani Djiwandono,
dijelaskan bahwasannya dalam belajar dan pembelajaran pendidik dianjurkan
menggunakan pendekatan pendidikan dengan mencoba membuat belajar dan mengajar
lebih manusiawi, lebih personal dan berarti. Adapun pendekatan Roger dapat
dimengerti dari ciri-ciri belajar humanistik yang diidentifikasikan sebagai
sentral dari filsafat pendidikannya, yaitu sebagai berikut:[15]
a.
Keinginan untuk belajar (The Desire to Learn )
Keinginan
manusia untuk belajar merupakan hal yang wajar menurut Rogers. Keinginan
tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang mendalam dari
seorang anak ketika ia menjelajahi (mengexplore)
lingkungannya. Anak diberi kebebasan di dalam kelas untuk mengetahui rasa
keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat meeka yang tidak bida dihalangi,
untuk menemukan diri sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia
yang mengelilingi mereka.
b.
Belajar tanpa ancaman (Learning without Threat)
Menurut
identifikasi Rogers, belajar yang paling baik adalah ketika siswa memperoleh
dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar akan sangat
berarti ketika siswa dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru,
bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
c.
Belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiatif-Learning)
Teori
belajar humanistik memandang bahwa belajar akan signifikan dan meresap ketika
belajar atas inisiatif sendiri, melibatkan perasaan dan pikiran siswa sendiri.
Belajar atas inisiatif sendiri mengajarkan siswa untuk lebih mandiri dan
percaya diri.
Belajar atas inisiatif sendiri juga
melibatkan aspek seseorang, baik kognitif ataupun afektif. Para ahli humanistik
percaya bahwa belajar adalah pribadi dan affective,
maka akan membuat perasaan memiliki dalam diri diri siswa. Siswa akan merasa
dirinya lebih terlibat dalam belajar, lebihh menyukai prestasi, dan lebih
termotivasi untuk belajar.
3.
Kelebihan dan Kekurangan Teori Humanistik
a.
Kelebihan Teori Belajar Humanistik
1) Tumbuhnya Kreatifitas Peserta Didik.
Dengan belajar
aktif dan mengenali diri maka kreatifitas yang sesuai dengan karakternya akan
muncul dengan sendirinya. Dengan begitu akan muncul keragaman karya. Jika
berlanjut kepada nilai jual misalnya maka itu juga akan menambah pemasukan atau
paling tidak ada perasaan senang karena karyanya dihargai.
2) Semakin Canggihnya Tekhnologi Maka Akan
Semakin Maju Perkembangan Belajarnya.
Canggihnya
tekhnologi ternyata mampu membangun motivasi dalam diri peserta didik untuk
belajar. Hal inilah yang membuat pikirannya terasah untuk menemukan pengetahuan
baru.
3) Tugas Guru Berkurang.
Dengan peserta
didik yang leibatkan dirinya dalam proses belajar itu juga akan mengurangi
tugas guru, karena guru hanyalah fasilitator peserta didik. Guru tidak lagi
memberikan ceramah yang panjang, cukup dengan memberikan pengarahan-pengarahan.
4) Mendekatkan Satu dengan yang lainnya.
Bimbingan guru
kepada peserta didik akan mempererat hubungan antar keduanya. Seringnya
berkomunikasi akan menciptakan suasana yang nyaman karena peserta didik tidak
merasa takut atau tertekan. Begitupun antar peserta didik. Berdiskusi atau
belajar kelompok akan membuat persahabatan semakin erta, memahami satu sama
lain, menghargai perbedaan dan menumbuhkan rasa tolong menolong.
5) Teori ini cocok untuk diterapkan dalam
materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani,
perubahan sikap dan analisis terhadap fenomena sosial.[16]
Pembelajaran
humanistik memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk
menentukkan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri
dan juga atas hidup orang lain. Pendidikan yang humanistik menekankan bahwa
pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan
relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok di dalam
komunitas sekolah.[17]
6) Indikator dari keberhasilan alokasi ini
adalah siswa merasa senang, bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi
perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
7) Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas,
tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin atau etika yang berlaku.
8) Selalu mengedepankan akan hal-hal yang
bernuansa demokratis, partisipatif-dialogis dan humanis.
9) Kontrol dan rekayasa terhadap proses
belajar dan pembelajaran atau lebih luas lagi, rekayasa terhadap system
pendiidkan bisa dilakukan secara terarah, jelas dan pasti.
10) Cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, dan sebagainya.
11) Murid diajarkan untuk mandiri, sehingga
guru tidak banyak memberikan ceramah.
12) Kemampuan hidup bersama
(komunal-bermasyarakat) manusia yang tentunya mempunyai pandangan yang
berbeda-beda.
b.
Kekurangan Teori Belajar Humanistik
1) Pemahaman yang kurang jelas dapat
menghambat pembelajaran.
Guru biasanya
tidak memberikan informasi yang lengkap sehingga peserta didik yang kurang
referensi akan kesulitan untuk belajar.
2) Kebebasan yang diberikan akan cenderung
disalahgunakan.
Misalnya saja guru
menugaskan peserta didik untuk berdiskusi sesuai kelompok, pasti ada beberapa
peserta didik yang mengandalkan teman atau tidak mau bekerja sama.
3) Pemusatan Pikiran akan berkurang.
Dalam hal ini guru
tidak sepenuhnya mengawasi karena system belajar yang seperti ini adalah siswa
yang berperan aktif menggali potensi, sehingga peserta didik akan memanfaatkan
keadaan yang ada. Misalnya dalam mencari referensi menggunakan internet peserta
didik malah bermain game atau mengatifkan akun sosial media. Secara otomatis
pemusatan pikiran dalam belajar akan terganggu.
4) Siswa yang tidak mau memahami potensi
dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.[18]
Menurut teori
humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia, proses belajar
dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.
Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.[19]
Maka dari itu jika siswa tidak mau memahmai dirinya maka akn ketinggalan
belajarnya.
5) Kekurangan-kekurangan yang semakin menjadi
tradisi.
Dalam pembuatan
tugas peserta didik yang malas akan berinisiatif mengcopy pekerjaan temannya.
Hal ini akan mengurangi kepercayaan guru maupun temannya.
6) Teori humanistik tidak bisa diuji dengan
mudah.
7) Banyak konsep dalam psikologi humanistik,
seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini
masih buram dan subjektif.
8) Psikologi humanistik mengalami pembiasaan
terhadap nilai individualistis.
9) Proses belajar tidak akan berhasil jika
tidak ada motivasi dan lingkungan yang mendukung.
10) Bersifat individu, dan sulit untuk
diterapkan dalam konteks yang lebih praktis.
4.
Aplikasi Teori Humanistik dalam Pembelajaran
Dalam prakteknya,
teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif,
memengtingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif
dalam proses pembelajaran. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajarang
humanistik: [20]
a.
Menentukan tujuan pembelajaran
b.
Menentukan materi pelajaran
c.
Mengidentifikasi kemampuan awal siswa
d.
Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan
siswa secara aktif melibatkan diri atau megalami kesulitan dalam belajar.
Pendekatan humanistik diikhtisarkan sebagai berikut:[21]
a.
Siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu
perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu
perangkat tujuan yang telah ditentukan pula dan para siswa bebas menentukan
cara sendiri dalam mencapai tujuan mereka sendiri.
b.
Pendidikan aliran humanistik mempunyai perhatian yang
murni dalam pengembangan anak-anak perbedaan-perbedaan individual.
c.
Ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan
perkembangan siswa secara individual. Tekanan pada perkembangan secara
individual dan hubungan-hubungan manusia ini adalah suatu usaha untuk
mengimbangi keadaan-keadaan baru yang selalu meningkat yang dijumpai oleh
siswa, baik didalam masyarakat bahkan mungkin juga di rumah mereka sendiri.
Model Pendidikan Humanistik
:
Pendidikan humanistik
menekankan bahwa pendidikan pertama dan yang utama adalah bagaimana menjalin
komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan atar pribadi dan
kelompok di dalam komunitas sekolah. Mendidik tidak sekedar mentrasfer ilmu
pengetahuan, melatih kemampuan verbal kepada siswa, namun merupakan bantuan
agar peserta didik dapat menumbuhkembangkan secara optimal sesuai dengan esensi
dari pendidikan itu sendiri.
Disini sikap kita
sebagai pendidik sudah selayaknya menghormati dan menghargai siswa apa adanya.
Sehingga dalam melakukan sebuah proses pembelajaran membutuhkan beberapa model
yang memang tepat untuk di terapkan kepada siswa. Berikut adalah model
pembelajaran humanistik:
a. Humanizing of the classroom
Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal, yakni
menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus
berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati
dan pikiran.[22]
Model pembelajaran humanizing of the
classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah otoriter, tidak
manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika
Serikat dan Jepang. Humanizing of the classroom disetuskan oleh John P. Miller
yang terfokus pada pengembangan model pendidikan afektif. Pendidikan model ini
tertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang
sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatu
padukan kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas
pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis
yang dipandang sangat manusiawi.[23]
b. Active learning
Merupakan strategi pembelajaran yang lebih banyak
melibatkan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan
untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas, sehingga mereka
mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan kompetensinya. Selain itu,
belajar aktif juga memungkinkan peserta didik mengembangkan kemampuan analisis
dan sitesis serta mampu merumuskan nilai0nilai baru yang diambil dari hasil
analisis mereka sendiri.[24]
Model pembelajaran ini dicetuskan oleh Melvin L.
Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa
belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Nelajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada
saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melaKukan sebagian besar pekerjaan
belajar dengan baik. Mereka mempelajari gagasan-gagasan ide-ide, memecahkan
berbagai masalah dan menerapkanyang mereka pelajari pada realitas yang mereka
temui.
c. Quantum learning
Merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi,
hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan disekitar momen belajar. Dalam
prakteknya, quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan
potensi nalar dan emosinya secara baik, maka mereka akan mampu membuat loncatan
prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya dengan hasil yang luar biasa. Salah
satu konsep dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga jembatan yang ada di oatak akan
mampu menyerap informasi baru dan dapat terekam dengan baik.[25]
d. The accelered learning
The accelered learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Konsep dasar
dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat,
menyenangkan dan memuaskan. Pemilik konsep ini adalah Dave Meier yang
menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas menggunakan pendekatan
Somantic, Auditory, Visual dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai
learning by moving and doing.
Auditory adalah learning by talking and
hearing. Visual diartikan dengan learning
by observing and picturing. Dan Intellectual maksudnya adalah learning by problem solving and reflecting.
Bobbi DePorter menganggap accelered learning dapat memungkinkan siswa untuk
belajar dengan kecepatan mengesankan, dengan uapaya yang normal dan dibarengi
dengan kegembiraan. Kurikulum tidak semata-mata belajar ilmu untuk ilmu, tetapi
belajar ilmu untuk sepenuhnya diabadikan pada proses dan upaya memanusiakan
manusia secara manusiawi.[26]
5.
Implikasi Teori Humanistik dalam Pembelajaran
Perhatian teori humanistik ini tertuju pada masalah bagaimana
tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang
mereka hubungkan dengan pengalaman mereka sendiri. Menurut para pendidik yang
beraliran humanistik, dalam penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus
sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Oleh karena itu Hamacheek
menuturkan bahwa guru-guru yang efektif (baik) itu adalah guru yang
“manusiawi”. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis
daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar pada
para siswa baik secara perorangan maupun kelompok.[27]
Teori humanistik yang fokus terhadap mengembangkan potensi dalam
diri siswa ini, dalam proses pembelajaran memiliki implikasi sebagai berikut:
a.
Guru sebagai fasilitator
Psikologi humanistic memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan
belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Cara ini merupakan ikhtisar yang
sangat singkat dari beberapa petunjuk berikut :
1)
Fasilitator sebgaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana
awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas.
2)
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan tujuan
peroragan didalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
b.
Guru mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar
yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai
tujuan mereka.
c.
Guru menempatkan dirinya sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk
dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
d.
Dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, seorang
guru akan menerima baik isi yang bersifat intelktual dan sikap-sikap perasaan,
serta mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual
ataupun bagi kelompok
e.
Bila cuaca penerima telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat
berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu seperti
siswa yang lain.
f.
Guru mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok,
perasaannya,dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan
tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau
ditolak oleh siswa.
g.
Guru harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan
adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
h.
Saat berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan (guru) harus
mencoba mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasan dirinya.[28]
Jadi initinya, dalam teroi humanistik ini tujuan utama dari
pendidik adalah untuk membantu siswa dalam mengembangkan dirinya yaitu membantu
masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang
unik dan mewujudkan potendi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri. Sehingga
implikasi dari teori ini yakni menjadikan seorang guru sebagai fasilitator.
D. Kesimpulan
Dari teori
belajar Humanistik yang pemakalah paparkan tersebut dapat disimpulkan bahwa
teori belajar Humanistik adalah suatu teori yang dalam pembelajarannya mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusia, serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya. Terutama di dalam teori ini tidak lepas oleh para tokoh-tokoh yang
berperan seperti Bloom dan Krathwohl, Abraham Maslow, Kolb, Honey dan Mumford, Jurhen
Habermas. Selain itu seperti yang terdapat dalam makalah pasti didalam sebuah
teori terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masing, karena tidak ada sebuah
teori yang sempurna. Dengan adanya kekurangan dalam teori ini pendidik untuk
paham terdapat teori-teori belajar dan mengerti kondisi dari peserta didik
untuk mementingkan batiniah peserta didik seperti perasaan minat, dan bakat.
Seperti yang terdapat dalam kelebihan teori ini yaitu merasa senang dalam
belajar.
Kemudian didalam teori belajar Humanistik ini
terdapat implikasi salah satunya guru sebagai fasilitator. Guru yang
fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akdemik, dan sebagainya. Lalu untuk
penerapan atau implikasi teori belajar humanistik ini tercermin dari peserta
didik yang berperan sebagai pelaku utama yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri, sedangkan guru sebagai fasilitator (pendamping) dan
motivator. Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung
mendorong siswa untuk berfikir induktif. Teori ini juga sangat mementingkan
faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Daftar Pustaka
Arbayah. Model Pembelajaran
Humanistik, Jurnal Dinamika Ilmu, Vol. 13. No. 2, Desember 2013.
Baharuddin dan Nur Wahyuni. 2012. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Darsono, Max. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Semarang :
IKIP Semarang Press.
Http://www.Perpustakaan-Online.Blogspot.Com/2008/04/Teori-Belajar
Humanistik.Html. Tanggal Diakses 19 April 2019, Jam
14:08
Khairani, Makmun. 2013. Psikologi Belajar. Yogyakarta :
Aswaja Pressindo.
Muhammad Tabrani dan Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta
: Ar Ruzz Media, 2013).
Mursidin. 2011. Moral Sumber Pendidikan: Sebuah Formula
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah dan Madrasah. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Qodir, Abdul. Teori Belajar
Huamnistik Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa, Jurnal Pedagogik, Vol.
04 No. 02, Juli-Desember 2017, ISSN : 2354-7960, E-ISSN: 2528-5793.
Thabrani, Muhammad dan Arif Mustofa. 2013. Belajar dan
Pembelajaran. Yogyakarta : Ar Ruzz Media.
Thobroni, M. 2015. Belajar
dan Pembelajaran Teori Dan Praktek. Jakarta : Ar-Ruzz Media.
Yusuf, Syamsu dan A. Juntika Nurihsan. 2011. Teori Kepribadian. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
No comments:
Post a Comment