HASIL PENELITIAN
Kepemimpinan
Kepemimpinan
berasal dari kata pemimpin yang memiliki arti mengetuai atau mengepalai rapat,
perserikatan, pengarahan. Kata pemimpin memiliki arti yang sama dengan kata
bimbing dan tntun; yang sama-sama meliki arti mengarahkan atau memberi
petunjuk. Kepemimpinan erat kaitannya dengan keterampilan atau seni
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu atau seni mempengaruhi dan
menggerakkan orang untuk bekerja secara terkoordonasi, dimana setiap orang
tergerak mengerjakan pekerjaannya serta menyelesaikan tugasnya dengan baik
berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam kinerja keorganisasian secara
menyeluruh.[1]
Pertanyaan mendasar tentang kepemimpinan dapat
diajuakan seperti; apakah kepemimpinan itu dan apa pula pekerjaan seorang
pemimpin. Untuk pemimpin yang efetif tidak cukup hanya apa yang dikerjakan oleh
pemimpin, tetapi sesama pentingnya ialah menanyakan bagaimana ia berbuat dalam
memimpin. Pemimpin melaksanakan tugasnya dalam situasu ditengah-tengah manusia.
Hal ini mengandung aspek kejiwaan dalam peran pemimpin. Apakah bahannya tunduk
padanya dengan fasif atau aktif bekerja sama. Disini aspek kejiwaan antara
pemimpin dan bawahan.[2]
Kiai
Kata
kiai merupakan kata yang sudah cukup akrab di dalam masyarakat Indonesia. Kiai
adalah sebutan bagi alim ulama‘ Islam.
Kata ini merujuk kepada figur tertentu yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama Islam karena kemampuannya yang
tidak diragukan lagi, dalam struktur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa,
figur kiai memperoleh pengakuan akan posisi pentingnya di masyarakat. Menurut
Dhofier Perkataan “kiai” dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga gelar yang
berbeda, diantaranya: pertama, Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat, umpamanya, “Kiai garuda kencana’’ dipakai untuk sebutan
kereta emas yang ada di Yogyakarta; kedua, Gelar kehormatan bagi orang-oarang
tua pada umumnya. Ketiga, Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang
ahli agama Islam yang memiliki kelimuan agama yang cukup matang, atau menjadi
pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik pada santrinya.[3]
Demokratis dalam pengembangan kebijakan pendidikan di
Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem
Kepemimpinan
Kiai dalam sebuah tatanan pondok pesantren menjadi bagian sentral dalam segala
aktivitas kepesantrenan. Baik berupa apa-apa yang mengatur lembaga formal dan
lembaga non formal dalam sistem yayasan . Kiai sebagai pemimpin ataupun
pengasuh serta tokoh penting dalam sebuah pesantren, sehingga segala kebijakan
yang di dalam pesantren berada dibawah keputusannya secara demokratis. Hal ini
dikarenakan Kiyai sebagai pemilik serta pendiri Pondok Pesantren dipandang
sebagai orang yang berkontribusi besar dalam pengembangan dan perluasannya sebagai
bagian dari titik tonggak berdirinya.
Kepemimpinan
demokratis yaitu menempatkan manusia
sebagai faktor utama dan yang terpenting dalam setiap kelompok. Tipe ini
diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi yang
efektif berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai satu sama yang
lainnya. Ralph White dan Ronald Lippi mengatakan, tipe kepemimipinan demokratis
ini mempunyai karakter sebagai berikut: Pertama, semua kebijakan menjadi
pembahasan kelompok dan keputusan kelompok dirangsang dan dibantu oleh
pemimpin. Kedua, perspektif aktifitas dicapai selama diskusi berlangsung.
Dilukiskan langkah-langkah umum kearah tujuan kelompok dan apa bila diperlukan
nasehat teknis, maka pemimpin menyarankan dua atau lebih prosedur-prosedur
alternatif yang dapat dipilih. Ketiga,
para anggota bebas bekerja dengan siapa yang mereka kehendaki dan pembagian
tugas terserah kepada kelompok. Keempat, pemimpin bersifat obyektif. Seorang
pemimpin hanya bertindak sebagai mediator atau anggota kelompok tanpa terlampau
banyak melakukan intervensi.[4]
Pesantren
an-Nur Ngrukem merupakan salah satu Pesantren di Bantul yang telah memiliki
lembaga pendidikan formal hingga Perguruan Tinggi Negeri. Lembaga-lembaga
pendidikan ini berada dalam satu payung yayasan pesantren, dimana setiap
masing-masing lembaga pendidikan dipimpin oleh para keluarga kiyai. Walaupun
sistem kebijakan kepemimpinannya diketuai oleh para keluarga ndalem, akan tetapi keputusan dalam
setiap kebijakan untuk pesantren dan lembaga merupakan keputusan serentak hasil
dari beberapa rapat evaluasi serta usulan masing-masing dewan anggota.
Tamyiz, S.Pd selaku Sekertaris
Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem mengatakan,
“Segala
kebijakan di pondok pesantren ditetapkan secara bersama-sama dengan para
anggota ataupun pengurus, sehingga pimpinan pondok pesantren memutuskan segala
usulan dalam setiap hasil dari kebijakan-kebijakan yang dirapatkan. Rapat
evaluasi di Pondok dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dan membahasa berbagai
usulan-usulan dari santri ataupun perluasan wilayah dan hal-hal yang bersifat
luas seperti mengenai anggaran pondok dan penetapan hari libur bagi setiap
lembaga pendidikan pada acara-acara internal pondok seperti Haul dan
pengajian-pengajian penting.”[5]
Yayasan
menaungi setiap lembaga pendidikan di An-Nur, sehingga apa yang telah
ditetapkan yayasan harus disetujui oleh masing-masing lembaga pendidikan. Akan
tetapi keputusan yang ditetapkan tidak pernah memberatkan lembaga karena
perkara yang ditangani adalah bersifat universal. Artinya hal-hal yang
dirapatkan dan disetujui oleh ketua yayasan adalah perkara-perkara umum yang
tidak menggangu kebijakan pendidikan lokal masing-masing lembaga seperti
kurikulum, perekrutan guru, hukuman bagi siswa yang membolos, atau
tindakan-tindakan pelanggaran santri. Yayasan tetap memberikan kebebasan kepada
masing-masing lembaga untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang bersifat
internal di dalam sekolah.
Sistem
Kepemimpinan di dalam sekolah-sekolah An-Nur diketuai oleh anak-anak Pengasuh
Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem. Diketahui bahwasannya Pengasuh Pondok
Pesantren an-Nur Ngrukem, selaku pendiri Pondok tersebut adalah Bapak KH. Nawawi
Abdul Aziz. Setelah beliau wafat, maka pengasuh dan ketua yayasan digantikan
oleh anak tertuanya yakni KH. ‘Ashim Nawawi. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya diketuai oleh keluarga-keluarga dari KH. ‘Ashim Nawawi. Seperti KH
Kharis Masduqi selaku menantu dari KH. Nawawi sebagai ketua di salah satu
lembaga pendidikan formal Madrasah Aliyah an-Nur Ngrukem.
Gaya
kepemimpinan Demokratis merupakan salah satu bentuk kepemimpinan dalam
kebijakan yang bersifat demokratis. Membebaskan para anggota, staff dan bawahan
untuk bersama-sama membangun sebuah kebijakan dalam pengembangan lembaga. Dalam
hal ini pondok an-Nur ngrukem, tidak bersifat otoriter ataupun keputusan
sepihak dari atasan tanpa mempertimbangkan segala usulan serta tidak adanya
wewenang santri. Pengasuh An-Nur, KH. ‘Ashim Nawawi memberikan wewenang
seluas-luasnya terhadap para anggota dan pengurus untuk bersama-sama membangun
pondok sebagai bagian dari tujuan bersama. Gaya kepemimpinan dalam pemutusan
kebijakan seperti inilah yang bersifat luwes dan terbuka terhadap segala tata
aturan yang dibuat. Tidak kolot, tidak mengekang dan tidak bersifat sepihak dikarenakan
segala usulan merupakan hasil buah pikir bersama terhadap penanganan
permasalahan yang dihadapi dari masing-masing lembaga terhadap yayasan.
Akan
tetapi keluwesan dalam penyerahan kebebasan wewenang bukan berarti membebaskan
segala bentuk kebijakan tanpa memperhatikan posisi Pengurus di dalamnya. Tetap
saja sebagai santri, nilai-nilai ketawadhuan
menjadi bagian terpenting di dalam siklus kebijakan pondok pesantren. Kiyai
tetap menjadi posisi tertinggi sebagai pimpinan dan pengurusan yang berwenang
memberikan keputusan terhadap apa yang telah dirapatkan para anggota staff dan
pengurus masing-masing lembaga. Pola kepemipinan ini tetap menjadikan Kiyai
sebagai poros yang harus dihormati atas segala keputusan kebijakan yang telah
dirapatkan oleh anggotas staff dan pengurus.
Faktor-Faktor Pendukung Dan Penghambatan Dalam
Pengembangan Kebijakan Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem
Penerapan dan pengembangan
kebijakan pendidikan di dalam sebuah lembaga sangatlah tidak mudah. Begitu
banyak kendala-kendala yang sering ditemui ketika permasalahan ini menyangkut
banyak orang. Akan tetapi, kendala-kendala dapat dijadikan sebuah tanjakan
dalam pengembangan kebijakan yang lebih baik. Ketika terjadi banyaknya kendala
yang ditemui maka kekompakkan dan kerjasama antar anggota staff serta pengurus
harus tetap terjalin kuat agar permasalahan ini dapat dipikirkan efektifitas
penyelesaiannya.
Di pondok pesantren an-Nur
Ngrukem sebagai salah satu lembaga pendidikan berbasis Agama Islam memiliki
berbagai macam kendala-kendala yang ditemui dalam pengembangan kebijakannya.
Karena membangun sebuah lembaga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat
berdiri dan berkembang dengan sangat baik. Lamanya masa berdiri suatu lembaga
tidak lepas kemungkinan dari permasalahan-permasalahan baik internal maupun
eksternal. Tamyiz selaku sekertaris pondok membenarkan hal tersebut dan
menjelaskannya sebagai berikut,
“Sering kita
menemui berbagai macam kendala-kendala di lapangan. Kendala ini seperti
kurangnya komunikasi dan koordinasi antara pimpinan dengan anggota sehingga
terkadang segala sesuatu diputuskan secara mendadak dan tiba-tiba. Hal ini
dikarenakan pemimpin yayasan sibuk, sehingga koordinasi dalam beberapa menjadi
kurang efisien dikarenakan waktu yang terbatas juga. Jadi kami sebagai santri
kalau mau sowan ke ndalem susah karena Bapak sering tidak
ada di pondok”.[6]
Koordinasi dan komunikasi
merupakan salah satu hal penting dalam sebuah organisasi. Ketika koordinasi dan
komunikasi tidak berlangsung lancar, maka segala kebijakan dan tugas-tugas yang
direncanakan menjadi terbengkalai dan tidak dapat selesai tepat waktu, ataupun
tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan pada awalnya. Sehingga, ketika
koordinasi tidak berjalan dengan baik, maka keputusan kebijakan menjadi
tertunda-tunda. Hal ini dikarenakan posisi Kiai sebagai ketua Pimpinan pondok
dan sebagai Ketua Yayasan tidak berada di tempat untuk mengesahkan apa yang
telah dirapatkan dan direncanakan. Ketika menemui hal tersebut maka alternatif
selanjutnya sebagai pengesahan suatu kebijakan adalalah Ibu Nyai atau Istri
dari KH. ‘Ashim Nawawi yang begitu aktif menggatikan suaminya ketika ditemukan
beberapa permasalahan yang harus diselesaiakan segera.
Tamyiz mengatakan bahwasannya,
”Ketika Bapak
Kiyai tindak atau sedang tidak ada di
pondok, sedangkan ada beberapa hal yang harus diputuskan secara cepat. Misalkan
kemaren itu mau mengadakan acara ziarah wali, ataupun biasanya
keputusan-keputusan yang mendesak, kami tetap meminta persetujuan pengesahan
kepada keluarga ndalem, biasanya Ibu
Nyai yang memberikan masukan-masukan dan arahan menggatikan Bapak yang tidak
ada di tempat”.[7]
Dalam
hal ini, pemberi keputusan dengan kekuasaan terpandang selain Ketua Yayasan
adalah Istri dari Ketua Yayasan, atau Istri dari KH. ‘Ashim Nawawi. Akan tetapi
walaupun keputusan disahkan oleh Ibu
Nyai, apa yang disahkannya tetap diberitahukan kepada ketua yayasan sebagai
bentuk pertimbangan penetapan keputusan yang tepat. Sehingga keputusan tidak
semena-mena disetujui tanpa adanya restu dari ketua yayasan.
Selain
faktor penghambatnya, ada beberapa hal yang mendukung pengembangan kebijakan
pendidikan Islam di Pondok Pesantren An-Nur Ngrukem. Faktor-faktor pendukung
tersebut disampaikan oleh Tamyiz selaku sekertaris pondok pesantren An-Nur
Ngrukem. Tamyiz menyampaikan bahwasannya,
“Ketawadhuan santri kepada pondok, serta
besarnya rasa pengabdian kami kepada pondok, membuat kami bekerja dan berjuang
disini dengan senang hati. Kami berjuangan bersama-sama memajukan pondok untuk
ke arah yang lebih baik dengan gembira. Ya karena ini adalah bentuk pengabdian
kita. Tidak ada penyesalan atau rasa lelah. Bahagia saja melakukannya karena
kami tulus dan ikhlas. Jadi ngedumel atau
bersikap acuh kepada suatu keputusan yang mendadak tetap kami hormati dan kami
indahkan sebagai keputusan Bapak Kiyai”.[8]
Ketulusan
dan keikhlasan hati para staff dan pengurus pondok dalam sebuah bentuk
pengabdian yang luar biasa menjadi salah satu hal yang mahal dalam pengembangan
dan kerjasama organisasi. Ketika setiap anggota bersama-sama merasa
bertanggungjawab atas sebuah lembaga, maka segala kesulitan yang dihadapi akan
dapat diselesaikan dengan baik, atas dasar kerjasama dan kecintaan mereka
sebagai santri yang mengabdi di dalam pondok pesantren.
[1] [1] Sulaiman, Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan Pendidikan Di Pondok
Pesantren, Jurnal Edukasi (Kajian Ilmu-Ilmu Manajemen dan Pendidikan),
Volume 6, No. 1 Tahun 2014, hlm.3
[4] Sulaiman, Pola Kepemimpinan Kiai dalam Mengembangkan
Pendidikan Di Pondok Pesantren, Jurnal Edukasi (Kajian Ilmu-Ilmu Manajemen
dan Pendidikan), Volume 6, No. 1 Tahun 2014, hlm. 11-12
No comments:
Post a Comment