BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang menjadikan kedudukan seseorang tinggi dihadapan manusia dan Tuhan. Akan tetapi implementasi pendidikan sendiri tidak mudah mudah untuk diterapkan kedalam sebuah realitas. Sehingga pendidikan tidak dapat dijalankan secara optimal, karena manusia selalu berubah, dan pengetahuan selalu berkembang. Pendidikan ketika itu bersifat tradisional dan konservatif, tetapi mampu melahirkan para cendekiawan-cendekiawan yang hebat. Hal ini terjadi karena konsep pendidikan yang masih menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai moral keagamaan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Pendidikan dengan konsep keagamaan menjadi pokok utama pendidikan pada zaman klasik dengan melihat sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi pada masa modern, pendidikan dengan konsep etika dan moral menjadi kurang diamalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga banyak orang-orang dengan ilmu pengetahuan yang luas, akan tetapi minim etika dan moral.
Sehingga inilah yang menyebabkan sekelompok cendikiawan muslim yang merumuskan konsep pendidikan moral dan etika dengan tetap berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis sebagai dasar dari sumber segala ilmu. Sehingga dalam pembahasan ini, akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Ikhwan As-Shafa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Ikhwan As-Shafa?
2. Bagaimana Pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan?
3. Bagaimanakah Relevansi Pemikiran As-Shafa terhadap Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Biografi Ikhwan As-Shafa
2. Untuk mengetahui Pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IKHWAN AS-SHAFA
Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama yang disematkan pada sekelompok pemikir yang berwawasan liberal yang aktivitasnya menggali dan mengembangkan sains dan filsafat dengan tujuan tidak semata-mata hanya untuk kepentingan sains itu sendiri, melainkan untuk memenuhi harapan-harapan lainnya, seperti terbentuknya komunitas etika-religius dan mempersatukan berbagai kalangan dalam sebuah wadah yang selalu siap memperjuangkan aspirasi mereka. Komunitas etika- spiritual ini merupakan pembauran dari berbagai kalangan muslim yang heterogen. Heterogenitas yang mewarnai kelompok ini, mencerminkan ciri mereka yang pluralistis, karena beranggotakan dari unsur-unsur dan lintas sekte atau madzahab.
Namun mereka kian melambung melalui tulisan Rasa;il al-Ikhwan al-Shafa (risalah atau ensiklopedia). Meskipun masyur, tak terlalu banyak yang diketahui tentang Ikhwan al-Shafa, terutama para aktor intelktualnya. Para sejarawan dari masa ke masa, berusaha menyingkap tabir misteri yang melingkupi persaudaraan ini. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian miliki seorang cendekia, Abu Hayyan al-Tauhidi. Ia hidup pada masa Ikhwan berkiprah (1023). Dalam bukunya, al-Tauhidi seperti dikutip Atlas Budaya menyebutkan lima tokoh Ikhwan. Mereka adalah Zaid Ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan nama al-Maqdisi, Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqali.
Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa kemungkinan diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah wa Dimnah. Ini adalah kisah tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau ikhwan al-shafa, satu sama lain berhasil menhindar dari perangkap pemburu. Kelompok ikhwan al-shafa menghimpun pemikiran dan doktrin filsafat dalam Rasail al-Ikhwan al-Shafa yang disusun seperti ikhtisar atau ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan. Gaung karya ini sangat luar biasa. Karya monumental ini telah memengaruhi ensiklopedi-ensiklopedi ilmu setelahnya serta dipelajari di berbagai negara. Secara keseluruhan Rasail terdiri dari 52 Risalah. Tema besar Ikhwan adalah ingin mengembalikan keutamaan etika Islam yang asli. Ikhwan menganggap, sebagian jiwa manusia seudah terkontaminasi dengan kesesatan dunia sehingga harus dibimbing ke jalan yang benar.
Menurut mereka, hanya filsafat yang dapat memberikan kebenaran doktrin dan kearifan praktis. Demikian tulisannya yang tertuang dalam Rasail. Tentang syariat dan filsafat, kelompok ini mempunyai penjelasan tersendiri. Syariat dipandang sebagai obat bagi orang sakit. Begitu pula menjadi sarana untuk penyembuhan. Di didi lain, filsafat sebagai obat bagi orang sehat, dimaksudkan untuk menjaga kesehatannya. Filsafat juga memungkinkan manusia meraih kebajikan serta mempersiapkan untuk menuju keabadian. Dengan begitu, ada kaitannya di antara keduanya. Filsafat menempatkan syariat dalam skemanya walaupun syariat menolak filsafat.
A. PEMIKIRAN IKHWAN AL-SAHAFA TERHADAP PENDIDIKAN
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa memetakkan bebrapa pendapatnya mengenai pendidikan yang relevansinya tetap berhubungan dengan agama Islam. Shafa tidak memisahkan hakikat pendidikan dengan nilai-nilai religius dari pendidikan Islam itu sendiri. Dalam hal ini saya mengutip sebuah jurnal mengenai pemikiran Shafa terhadap Pendidikan.
Berikut adalah beberapa pemikiran Shafa mengenai pendidikan:
1. Mencari ilmu adalah wajib, karena dengan ilmu manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dan dapat mengenal-Nya serta beribadah kepada-Nya. Ilmu dapat membawa kepada jiwa beradab dan bersih. Dengan demikian memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup dunia akhirat. Mempelajari ilmu yang diajarkan Ikhwan al-Shafa pada khususnya,
Ikhwan berpendapat, bahwa tingginya ilmu seseorang, mampu memberikan keduduk dan derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Seperti halnya yang telah kita ketahui di dalam Qur’an Surat AL-Hujurat, bahwasannya Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Tetapi ilmu saja tidak cukup untuk kedudukan yang tinggi. Dibutuhkan etika peribadatan serta pengamalan nilai-nilai yang baik dari Al-Qur;an dengan kehidupan sehari-hari.
2. Mengajarkan ilmu kepada orang lain adalah wajib, karena hal demikian merupakan tanggung jawab sosial yang dapat membawa murid kea rah orang lain sebagai anggota masyarakat menjadi berilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama saling membant, juga anggota masyarakat, dalam membangun kehidupan beragama, kehidupan duniawi dan dalam mencapai cita-cita memperoleh kesejahteraan hidup dibawah keridhaan Allah.
Telah kita ketahui bahwasannya salah satu amalan yang akan terus bertahan dan mengalir bahkan ketika seseorang itu meninggal dunia adalah salah satunya Ilmu yang bermanfaat. Mengajarkan Ilmu kepada orang lain merupakan sebuah kewajiban, seperti apa yang telah dikemukakan oleh Shafa. Akan tetapi ilmu yang diajarkan disini adalah ilmu yang telah benar adanya baik secara teoritis, empirik maupun rasional. Sehingga tidak sembarang ilmu dapat diajarkan kepada orang lain.
3. Mengenai tujuan pendidikan, mereka berpandangan bahwa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhaan Allah dan kepada keakhiratan.
Shafa berpendapat, bahkan para tokoh-tokoh Islam lainnya bahwasannya tujuan pendidikan Islam khususnya harus memiliki konsep yang memuat nilai-nilai keagamaan. Hal ini dikarenakan dasar dari Islam adalah Al-Quran dan Hadist, sehingga tujuan dan hakikat pendidikan harus memuat hal-hal atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
4. Mengenai kurikulum pendidikan tingkat akademis, mereka berpendapat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Athiyah al-Abrasyi agar dalam kurikulum tersebut mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab samawi, kenabian, ilmu syariat, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih diberi perhatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan.
Shafa masih menggunakan konsep pendidikan konservatif, sehingga pokok dari pembelajaran atau mata pelajaran pokok yang harus diajarkan masihlah bersifat agama, atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. Pendapat Shafa ini, masih belum terbuka terhadap ilmu-ilmu modern seperti ilmu alam dan sosial. Ini terjadi karena perkembangan pendidikan pada masa itu masih bersifat religius dan berporos pada studi mengenai hal-hal religius seperti yang disebutkan di atas.
5. Mengenai metode pengajaran, mereka mengemukakan prinsip: ”mengajar dari hal yang konkrit kepada abstrak”, Karena pengenalan hal-hal yang konkrit lebih banyak menolong bagi pelajar-pelajar pemula untuk memahaminya. Metode pemberian contoh-contoh menurut mereka sangat perlu dalam pengajaran. Ikhwan al-Shafa sendiri memperaktekan pemberian contoh-contoh dan misal-misal dalam penulisan karangan-karangan mereka (Rasaail) Ikhwan al-Shafa.
Walaupun konsep pendidikan ayang konservatif, akan tetapi Shafa telah menggunakan metode pengajaran yang kritis dan kreatif terhadap anak didiknya. Pemikiran kritis ini diperlukan, agar anak dapat membuka wawasan pemikirannya, memahami hal-hal sesuai dengan pemikirannya dan tidak hanya monoton menghafal tanpa memahami maksud dan makna.
6. Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pecinta ilmu (peserta didik), Ikhwan al-Shafa berpandangan bahwa kewajiban seseorang yang belajar ialah: merendahkan diri (tawadu’) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dzim kepadanya.
Yang menarik dari pemikiran pendidikan Shafa adalah tentang etika dan buydi pekerti yang ditanamkan sejak dini. Keunggulan dari pendidikan tradisional adalah bagaimana peserta didik dapat bersikap serendah-rendah nya dihadapan guru-guru yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepadanya.
7. Mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu, Ikhawan al-Shafa berpandangan bahwa pecinta ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (a) As-Sual was Shumtu (bertanya dan diam); (b) Al-Istimaa’ (mendengarkan); (c) At-Tafakkur (mengingat-ngingat/mengenang); (d) Al-‘Amalu fil Ilmi (mengamalkan ilmu); (e) Tahabus Shidqy min Nafsihi (mencari kejujuran dari diri sendiri); (f) Katsratuz Zikri Annahu min Ni’amillah (banyak zikir atas nikmat-nikmat Allah; dan (g) Tarkul Ijaab bima Yuhsinuhu (menjauhkan kekaguman atas prestasi yang dicapai.
Syarat-syarat yang Shafa tuliskan memiliki nilai-nilai budi pekerti dan etika yang sekarang mulai dilupakan pada pendidikan-pendidikan modern. Shafa menekankan pentingnya akhlak dalam penerapan pendidikan.
8. Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, Ikhwa al-Shafa berpandangan bahwa seorang pendidik harus memiliki beberapa sifat, yaitu: (1) Lembut dan sayang kepada murid-muridnya; (2) tidak kecewa melihat murid yang lambat memahami pelajaran atau menghapal pelajaran; dan tidak rakus dan minta imbalan.
Pemikiran Shafa terhadap sikap dan akhlak pendidik, mulai dilupakan pada masa sekarang ini. Shafa menjelaskan bahwasannya seorang pendidik tidak seharusnya bersikap pamrih atau mengharapkan imbalan terhadap pekerjaanya. Karena bagi Shafa, mengajarkan suatu ilmu adalah bernilai ibadah dan lebih penting dari apapun yang terjadi. Akan tetapi ketika konsep ini dilakukan pada masa sekarang, maka tidak mudah. Karena guru atau pendidik adalah sebuah profesi yang meyita banyak waktu dan tenaga. Jika masih ada guru yang bersikap demikian seperti apa yang telah digambarkan oleh Shafa, maka hati dan nuraninya adalah yang terbaik.
9. Mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, Ikhwan al-Shafa seperti yang dikutif Hasan Langgulung berpendapat bahwa cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan tiga jalan: pertama, dengan cara menggunakan panca indera. Kedua, melalui tulisan dan bacaan. Ketiga, dengan cara mendengarkan berita-berita atau informasi yang disampaikan orang lain.
Shafa berpendapat seperti ahli filosof lainnya bahwa pendidikan tidak dapat dilakukan secara sendiri. Selalu ada media yang membuat seseorang mendapatkan pengetahuan. Misalkan alam, buku, guru, teman, orang tua bahkan juga masyarakat.
B. RELEVANSI PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA BAGI PENGEMBANGAN DUNIA PENDIDIKAN
Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran Ikhwan al-Shafa bagi pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Dari hasil studi terhadap pemikiran Ikhwan al Shafa, diketahui dengan jelas bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mendapatkan ridha Allah Swt. Keri dhaan Allah itu terjabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 201, yaitu Pertama, mendapatkan kebaikan di dunia seperti memiliki ilmu yang bermanpaat, rizki yang halal dan pasangan yang saleh/shalehah. Kedua, kebaikan di akhirat seperti mendapatkan surga. Ketiga, selamat dari api neraka. Ketiga hal ini merupakan harapan kita semua.
Kalaulah tujuan tersebut sudah tertanam dalam hati setiap pecinta ilmu, maka bukan suatu hal yang mustahil mereka akan menjadi hati-hati dalam belajarnya, hati-hati dalam mengamalkannya, dan akibat kehati-hatiannya itu mereka akan berusaha untuk menjauhi dari hal-hal yang tidak baik.
Membicarakan tujuan pendidikan tidak dapat lepas dari pembicaraan tentang tujuan hidup manusia. Tujuan adalah objek atau sasaran yang mau dicapai oleh seseorang. Tujuan pendidikan merupakan penjabaran dari tujuan hidup. Sedangkan tujuan hidup dipengaruhi oleh pandangan hidup (keyakinan, filsafat, ilmu, budaya, dan lain-lain).
Dengan demikian seorang pendidik punya kewajiban untuk meluruskan motivasi peserta didiknya dalam menentukan tujuan menuntut ilmu, jangan sampai tujuan belajar mereka hanya terpokus pada hal -hal yang bersifat duniawi seperti agar mudah mencari lapangan kerja, ingin dipuji orang, untuk mendapatkan pangkat, dan sebagainya. Pendidik harus terus memotivasi sekaligus meyakinkan kepada peserta didiknya bahwa menuntut ilmu disamping kewajiban, juga harus diposisikan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. dengan ilmu yang diimilikinya.
2. Sifat dan Syarat-syarat Seorang Pecinta Ilmu
Untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan harapan, maka seorang pecinta ilmu perlu memperhatikan hal-hal yang membuat dia berhasil dalam belajarnya. Dalam hal ini, Ikhwan al-Shafa menetapkan sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pecinta ilmu, di antaranya: seorang pecinta ilmu harus tawadhu, banyak berdzikir, banyak bertanya, senantiasa mendengarkan ketika guru sedang menyampaikan materi, mangamalkan ilmunya, tidak merasa kagum atas prestasi, dan senantiasa banyak berdzikir.
Murid harus bersikap tawadhu’ kepada guru hal ini karena kedudukan pendidik, ilmuan, mu’allim, ustadz dan istilah lainnya dalam Islam sangat tinggi, dimuliakan. Strategis, suci, terhormat dan tinggi.
Peserta didik senantiasa harus aktif di dalam kelas. Dalam hal tersebut Ikhwan mengemukakan bahwa peserta didik harus banyak bertanya. Seperti apa yang telah dijelaskan Guilford menjelaskan bahwa subyek didik yang kreatif, paling tidak dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: (a) sensitif tidaknya mereka dalam melihat suatu masalah. (b) Orisinil tidaknya ide atau pikiran yang dikemukakan. (c) lancar tidaknya mereka dalam mengemukakan ide. (d) fleksibel tidaknya dalam berfikir. (e) mampu tidaknya mereka mengutarakan kembali pengetahuan yang telah dimiliki.
Dengan demikian, apabila sifat-sifat dan syarat-syarat yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa tersebut diindahkan oleh para peserta didik, maka insya Allah mereka akan berhasil dalam menggapai tujuan yang diharapkannya.
3. Sifat-sifat Seorang Pendidik
Manusia adalah makhluk educandum (membutuhkan pendidikan) dan educandus (dapat mendidik orang lain). Islam mewajibkan para pendidik mendidik orang lain agar terhindar dari perbuatan munkar dan maksiat dan agar dapat menjalankan fungsinya di muka bumi yakni sebagai hamba dan khalifah.
Dalam dunia pendidikan, komponen pendidik ternyata dapat mempengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu Ikhwan al-Shafa mencoba menawarkan konsep pendidik yang baik, yang akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Diantaranya adalah seorang pendidik harus memiliki kasih sayang terhadap peserta didiknya, sabar dalam menghadapi peserta didik yang lambat untuk memahami materi yang disampaikannya, pendidik tidak boleh rakus dan minta imbalan.
Rupanya karakteristik pendidik yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa ini perlu untuk dimiliki oleh setiap pendidik, agar dapat membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.
4. Kurikulum Pendidikan
Dilihat dari segi kurikulum, Ikhwan al-Shafa memberikan porsi yang seimbang antara materi-materi yang harus diberikan kepada peserta didik, mereka tidak hanya memfokuskan pada ilmu-ilmu yang dikaji dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu jiwa, akan tetapi ditekankan pula pengkajian terhadap ayat-ayat tanziliyah.
Sebagaimana kita maklumi bahwa hakikat ilmu kauniyah dan ilmu tanziliyah dilihat dari sumbernya adalah sama yaitu bersumber dari Allah Swt. Namun saja perbedaannya terletak pada fungsinya, ilmu kauniyah berfungsi sebagai wasilah al-hayah, sedangkan ilmu tanziliyah berfungsi sebagai minhaj al-hayah. Dari uraian ini nampaknya pandangan Ikhwan al-Shafa cukup baik untuk diterapkan di lembaga pendidikan kita, karena Ikhwan al-Shafa mengangap penting terhadap kedua disiplin ilmu tersebut. Dengan dua disiplin ilmu itu insya Allah kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai.
5. Metode Pengajaran
Metode mempunyai kedudukan penting dalam mencapai tujuan. Karena dengan metode yang tepat dan menarik, tujuan belajar mudah tercapai, mudah mengambil kesimpulan dari bahan yang disajikan, dan dapat memberi motivasi bagi peserta didik untuk belajar lebih jauh disertai hati yang senang.
Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa menganggap metode bagian dari komponen yang dapat menunjang untuk pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu menurut mereka seorang pendidik harus memilih metode yang dianggap cocok untuk menyampaikan materi dan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dalam hal ini Ikhwan al-shafa menekankan salah satu metode pembelajaran adalah metode contoh dan tamsil (perumpamaan), sebab dengan metode ini peserta didik lebih cepat untuk memahaminya. Sehingga peluang besar peserta didik itu dengan mudah untuk mengamalkannya.
Dalam proses pendidikan, metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa sangat baik untuk diterapkan oleh para pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan kalau kita lihat sejarah, nampaknya keberhasilan Rasulullah Saw. dalam mendidik para sahabatnya, rupanya tidak lepas dari keteladanan Rasulullah SAW itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama yang disematkan pada sekelompok pemikir yang berwawasan liberal yang aktivitasnya menggali dan mengembangkan sains dan filsafat dengan tujuan tidak semata-mata hanya untuk kepentingan sains itu sendiri, melainkan untuk memenuhi harapan-harapan lainnya, seperti terbentuknya komunitas etika-religius dan mempersatukan berbagai kalangan dalam sebuah wadah yang selalu siap memperjuangkan aspirasi mereka. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian miliki seorang cendekia, Abu Hayyan al-Tauhidi. Ia hidup pada masa Ikhwan berkiprah (1023). Dalam bukunya, al-Tauhidi seperti dikutip Atlas Budaya menyebutkan lima tokoh Ikhwan. Mereka adalah Zaid Ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan nama al-Maqdisi, Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqali. Bukunya yang paling terkenal adalah Rasa;il al-Ikhwan al-Shafa.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa mengenai pendidikan ada sembilan yakni: Menuntut Ilmu adalah wajib; Mengajarkan Ilmu kepada orang lain adalah wajib; Tujuan Pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan; Kurikulum pendidikan harus mencakup filsafat, logika, ilmu jiwa, pengkajian kitab samai, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu pasti; metode pengajaran dengan konsep konkrit kepada abstrak; sifat-sifat yang harus dimiliki seorang peserta didik; syarat-syarat yang harus dimiliki pecinta ilmu; sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik; dan cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Relevansi pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap perkembangan pendidikan yakni ada beberapa hal: mengenai tujuan pendidikan yang berorientasi kepada keagamaan dan budi pekerti, syarat-syarat seorang pecinta ilmu dan seorang pendidik, kurikulum pendidikan Islam dan metode pengajaran dengan tamsil (contoh).
DAFTAR PUSTAKA
Furqon Syarief Hidayatulloh, Relevandi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan, Jurnal, Bogor: Ta’dib Vol. XVIII, No. 01 Edisi Juni 2013.
Himayatul Izzati, Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa, Jurnal Al-Muta’aliyah, Jurnal Pendidikan Islam, 2013.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2018.
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Yusuf Assidiq, Rasail Tak Hanya Membahasa Soal Filsafat, Tapi Juga Merangkum Ilmu Lainnya, Jurnal, Khazanah Republika, Agustus 2010.
No comments:
Post a Comment