BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagasan mengenai pendidikan Islam telah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan ketika Rasulullah diutus sebagai Rasul dengan wahyu terbesarnya adalah Al-Quran. Akan tetapi konsep formal mengenai pendidikan Islam baru ada beberapa abad terakhir dengan begitu banyak munculnya tokoh-tokoh muslim yang mulai menggagas dan mengkritisi sistem pendidikan yang ada. Tidak dapat pergi dari filsafat, hal ini dikarenakan filsafat memiliki peranan penting dalam pendidikan. Sehingga aliran-aliran mengenai filsafat pendidikan muncul sebagai upaya dalam meluaskan jangkauan pendidikan Islam.
Ibnu Khaldun sebagai salah satu tokoh pembaharu pendidikan dengan aliran Pragmatis-Instrumentalnya, telah mengkritisi sistem pendidikan klasik yang kaku dan tidak fleksibel terhadap ilmu pengetahun. Kemudian muncullah para pembaharu Islam seperti Jamal al-Din Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1845-1905), Muhammad Iqbal (1873-1938) serta seorang tokoh pembaharu kontemporer yang terkenal adalah Fazlur Rahman dengan metode double movement (1919-1988).
Serangkaian pendapat Fazlur Rahman terhadap pembaharuan pendidikan Islam, merupakan terusan dari apa yang telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, dan disempurnakan oleh Rahman dengan lebih baik.
Sehingga dalam hal ini, untuk mengetahui pemikiran serta pendapat Rahman tentang Pendidikan Islam dengan aliran filsafat Pragmatis Instrumentalnya, maka hal inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Fazlur Rahman?
2. Bagaimanakah Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah Keterkaitan Pemikiran Pembaharu Fazlur Rahman dengan Aliran Pragmatis Instrumental?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Biografi Fazlur Rahman
2. Untuk mengetahui Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui Keterkaitan Pemikiran Pembaharu Fazlur Rahman dengan Aliran Pragmatis Instrumental.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Biografi Fazlur Rahman
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara, (anak benua India) yang sekarang terletak di sebelah barat Laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam sebuah keluarga Muslim yang taat beragama. Seperti pengakuan Rahman sendiri, keluarganya mengamalkan ibadah sehari-hari seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa sunnah, mengaji al-Quran, mengeluarkan zakat, infaq shadaqah, dan lain-lain. Ayahnya, Maulana Sahab al-Din, adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal mengaji dan menghafal Al-Quran. Sehingga pada usia sepuluh tahun Rahman telah hafal Al-Quran seluruhnya. Menurut Rahman, selain faktor-faktor mengenai ketekunan ayahnya, ada hal lain yang telah mempengaruhi pemikiran keagamaan Rahman adalah dia dididik dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab Sunni yang lebih banyak menggunakan rasio (ra’yu) dibandingkan dengan mazhab Sunni lainnya. Selain itu, di India ketika itu telah berkembang pemikiran yang agak liberal seperti dikembangkan oleh Syah Waliullah, Sayid Ahmad Khan, Sir Sayid, Amir Ali dan Muhammad Iqbal.
Kemudian, pada tahun 1933, Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada Universitas Punjab. Kemudian dua tahun berikutnya (1942) ia berhasil menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di bawah bimbingan Prof. Van den Bergh dan H.A.R Gibb, Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dan Karya-karyanya. Perkembangan pemikiran dan karya-karyanya dapat diklasifikasikan dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode kematangan. Periode Pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang kepulangan ke negerinya, Pakistan setelah mengajar beberapa saat di Universitas Durham, Inggris. Secara epistimologis pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini didominasi oleh pendekatan historis. Yaitu suatu pendekatan yang melihat Islam bukan dari sisi al-Quran dan al-Sunnah secara ansich, melainkan Islam yang telah menjadi realitas dalam kehidupan baik secara individu maupun masyarakat.
Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju ke kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Rahman dari Inggris ke Pakistan sampai dengan menjelang keberangkatannya ke Amerika. Pada periode ini Rahman disibukkan oleh kedudukannya sebagai direktur lembaga riset Islam dan sebagai anggota dewan penasehat ideologi Islam pemerintah Pakistan. Dengan dua kedudukan tersebut, Rahman terdorong untuk mendefinisikan Islam kembali bagi Pakistan. Secara epistemologi pemikiran dan karya-karyanya pada periode ini beranjak dari pendekatan historis menuju pendekatan normatif. Maksudnya, Rahman berusaha memahami Islam (al-Quran dan al-Sunnah) untuk menyelesaikan problem-problem di Pakistan, misalnya dalam masalah keluarga berencana, riba dan bunga bank, sembelihan secara mekanis dan pendidikan.
Periode ketiga disebut periode kematangan karena pada periode ini Rahman betul-betul telah mencapai kematangan berpikir dan berkarya. Tidak seperti pada periode sebelumnya, pada periode ini Rahman memiliki kesempatan yang luar biasa. Ia memiliki ketenangan berpikir dan waktu yang luas. Periode ini dimulai sejak kedatangan Rahman di Amerika sampai kewafatannya tahun 1988. Secara epistemologis Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami Al-Quran, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).
b. Pemikiran Rahman terhadap Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
Masalah dalam pendidikan tidak secara tiba-tiba datang, akan tetapi melalui proses karena masyarakat terus belajar dan menemukan hal baru. Pendidikan tradisional menjadikan konsep pendidikan bersifat kaku dan mengikat. Pendidikan diartikan sebagai hal yang harus diterima secara bulat-bulat, tanpa ada kreativitas untuk mengembangkannya. Sistem belajar yang bersifat kaku mewajibkan siswa untuk menghafal tanpa harus dimengerti. Melalui beberapa permasalahan tersebut, Rahman mengemukakan beberapa pendapatnya mengenai pembaharuan dalam Pendidikan Islam.
1) Tujuan Pendidikan Islam
Al-Quran menjelaskan bahwa sebelum diciptakannya makhluk ini (yakni manusia), Allah Swt. Telah menyampaikan rencana penciptaan itu kepada Malaikat dan bahwa tujuannya adalah agar makhluk ini menjadi kalifah di bumi (QS. 2:31). Dari sini jelas pula bahwa hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan ini adalah melaksanakan tugas kekhalifahan yakni membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. “Di dalam perjuangan ini”, kata Rahman, “Allah berpihak kepada manusia asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Manusia harus melakukan usaha-usaha ini karena diantara ciptaan-cipitaan Tuhan ia memiliki posisi yang unik; ia diberi kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi”. Misi inilah yang dimaksud Rahman adalah perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial bermoral di atas dunia yang dikatkan al-Qura’an sebagai ‘Amanah” (QS. 33:72).
“Tujuan-tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang dipakai sekarang ini tidaklah sepenuhnya memadai”. Sekalipun pemikir-pemikir seperti Iqbal telah mengkritik habis-habisan sistem pendidikan Barat sebagai mendehumanisasi dan membekukan jiwa manusia. Tetapi strategi pendidikan Islam yang ada sekarang ini, hematnya tidaklah diarahkan kepada suatu tujuan yang positif; dan lebih tepat bila dikatakan bahwa tampaknya strategi ini adalah strategi yang sangat bersifat defensif, yakni untuk menyelamatkan pikiran kaum muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional.
Dalam kondisi kepanikan spiritual ini, Rahman menyarankan bahwa strategi yang dikembangkan secara universal di seluruh dunia Islam adalah strategi yang bercorak mekanis; dengan proporsi yang bagaimana kita harus menggabungkan mata-mata pelajaran “baru” tertentu dengan mata pelajaran yang “lama: agar supaya ramuan yang dihasilkan dari percampuran ini akan “sehat dan bermanfaat” yakni bersifat kondusif terhadap manfaat-manfaat teknologi peradaban modern, tetapi sekaligus juga mampu membuang racun yang telah terbukti merusak jaringan moral masyarakat Barat.
Tujuan Pendidikan Islam belum mampu membentuk konsep yang sesuai dengan ilmu-ilmu keislaman. Dalam beberapa hal, Rahman mengkritik mengenai sistem pendidikan yang kaku dan tidak terbuka terhadap ilmu-ilmu modern, atau sering dikenal dengan ilmu-ilmu barat. Padahal sesungguhnya, ilmu-ilmu yang dianggap “barat” adalah ilmu-ilmu “Islam” yang telah dipelajari dan dikembangkan kembali oleh orang-orang barat. Sehingga, sangat penting bagi lembaga pendidikan Islam, untuk mengembangkannya diperlukan perpaduan ilmu-ilmu tradisional Islam dengan ilmu-ilmu modern yang lebih fleksibel dan terbuka terhadap kemajuan dan teknologi, dengan didampingi oleh Etika sebagai orang Islam yang ditanamkan dalam tujuan pendidikan Islam “Khalifah di bumi”.
2) Sistem Pendidikan
Dalam perkembangan pendidikan Islam, Rahman mencatat ada dua pendekatan dasar kepada pengetahuan modern yang telah dipakai oleh teoris-teoris muslim modern:
Pertama, bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang-bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran muslim, dimana sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.
Kedua, bahwa kaum muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh, tidak hanya teknologi Barat saja, tetapi juga intelektualismenya, karena tak ada satu jenis pengetahuan yang merugikan, dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudidayakan oleh kaum muslimin pada awal-awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh Eropa sendiri.
Rahman pernah menunjukkan sebuah contoh yang pernah diusahakan oleh Iqbal, untuk mencari sistem pendidikan yang akan menjadi kepribadian manusia tidak saja “berpengetahuan” tetapi juga kreatif dan dinamis. Iqbal selama ini, menurut Rahman, mengkritik sistem pendidikan kaum ulama ortodoks dan kaum sufi yang cenderung malah menjauhkan seseorang dari masyarakat, ia juga mengecam keras pengetahuan modern, yang baginya nampak hampir seluruh condong kepada teknologi dan materialisme dan bersifat merusak nilai-nilai manusia yang lebih tinggi. Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, tafsir dan hadist.
3) Anak Didik
Bagi Rahman, ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu dari Allah Swt. Namun akibat pandangan dan belum berhasilnya menumbangkan dikotomi anatar ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum maka anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam benar-benar mengalami permasalahan cukup serius. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality ). Bahkan salah satu murid Rahman, Ahmad Syafi’I Ma;arif mengatakan semua itu mengakibatkan munculnya pribadi-pribadi yang pecah dalam masyarakat Islam serta berdampak lebih jauh terhadap lahirnya anak didik yang tidak memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Perubahan dan perkembangan zaman, menuntut untuk melahirkan sikap kritis dan kreatif. Hal ini disampaikan Rahman bahwa kritis dan kreatif manusia berlaku pada hal penciptaan yang berjalan secara terus menerus, yaitu mengubah suatu bentuk ke bentuk lain. Hal ini meliputi semua aspek kehidupan manusia, tak terkecuali ilmu pengetahuan, pemikiran dan pendidikan.
Pada awalnya, sikap kritis dan kreatif diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu, pada masa lalu itu merupakan hasil final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan datang. Hasil-hasil ijtihad ulama masa lalu yang cocok untuk mengatasi persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi persoalan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu mereka harus senantiasa melakukan ijtihad guna untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi masing-masing. Kondisi semacam ini akan terpilih dengan baik, selama pendidikan umat Islam selalu berhasil melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi kritis dan kreatif.
Tujuan dikembangkannya daya kritis dan kreatif dalam pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan output yang kritis dan kreatif. Atau dengan kata lain, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan anak didik yang kritis dan kreatif paling tidak mempunyai tiga ciri menonjol yaitu: (1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), (2) mempunyai keluwesan (flexibility), (3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluencyI). Dengan tiga ciri utama ini, mereka akan mampu menghasilkan sesuatu yang tidak sederhana dan berbeda dari yang lain.
Untuk mengatasi masalah anak didik yang tidak memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam, Rahman mengemukakan beberapa pendapat untuk mengatasinya. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran al-Quran melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang. Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik. Kebutuhan akan kajian kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi semakin mendesak, menurut Rahman karena disebabkan oleh adanya kompleks psikologi yang telah tumbuh dalam diri kita (umat Islam) dalam menghadapi Barat, lalu kita mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa.
Metode pembelajaran yang dapat menghasilkan alumni yang kritis dan kreatif adalah metode double movement. Metode ini terdiri dari gerakan ganda yaitu gerakan dari guru ke murid dan gerakan dari murid ke guru. Dalam proses pembelajaran diharapkan tidak hanya ada gerakan tunggal, yaitu gerakan dari guru ke murid, tetapi harus ada juga gerakan dari murid ke guru, bahkan kalau perlu ada juga gerakan di antara sesama murid. Lebih lanjut metode ini akan dapat mengangkat posisi murid dari posisi sekedar objek menjadi posisi subjek dalam pendidikan.
4) Pendidik
Rahman mengatakan dalam bukunya Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,
“Problem utama yang dihadapi oleh sistem pendidikan Islam yang baru dilembagakan adalah, tentu saja masalah tenaga pengajar. Kebanyakan ulama dari generasi yang tua telah meninggal dunia, dan sedikit yang masih hidup dari mereka sudah sangat tua. Dalam skala luas, di pedesaan tidaklah sulit mendapatkan cukup tenaga pengajar yang memenuhi syarat untuk mengajar sekolah-sekolah agama ditingkat rendah, tetapi guru-guru ditingkat lanjutnya hampir tidak ada sama sekali”.
Hal ini diungkapkan Rahman mengenai kurangnya tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi sebagai salah satu faktor lambatnya perkembangan pendidikan Islam di dunia. Seperti halnya kita ketahui bahwasannya guru merupakan poros dari ilmu pengetahuan yang nantinya akan disalurkan kepada peserta didik. Kurangnya pemerintah dalam mensejahterakan guru menjadi permasalahan pada masa sekarang, dan telah dijelaskan Rahman pada puluhan tahun silam.
Rahman juga menuliskan bahwa pembaharuan ini dihadapkan pada lingkaran setan dalam hal bahwa di satu pihak, kecuali bila guru-guru yang memadai diperoleh, yang memiliki pikiran-pikiran yang sudah terpadu dan kreatif, makan pengajaran akan tetap tinggal mandul sekalipun murid-murid mempunyai kemauan dan bakat, sementara dilain pihak, guru-guru seperti itu tidak akan bisa dihasilkan dalam skala yang mencukupi kecuali bila diciptakan kurikulum yang terpadu secara substansial.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Kedua, mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar pada bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-pusat studi keislaman di luar negeri khususnya Barat. Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu ia menjabat sebagai direktur Institut Pusat Penelitian Islam (1962-1968) Pakistan. Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka ke dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta memberi mereka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti hadis, dan yurisprudensi Islam. Kelima, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Disamping menulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.
5) Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan berupa gedung, perpustakaan serta lainnya amat erat hubungannya dengan mutu sekolah. Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan Islam sejak jaman dahulu sudah mengetahui pentingnya alat-alat dan sarana tersebut bagi peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ini, Rahman beranggapan bahwa perpustakaan menjadi salah satu sarana yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan, akan tetapi masih kurang sekali perpustakaan yang memadai untuk media pembelajaran anak didik.
Atas pengamatan yang dilakukan oleh Rahman, beberapa negara Islam yang dikunjunginya menunjukkan bahwa keadaan perpustakaan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut masih belum memadai terutama jumlah buku buku-bukunya. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sangat minim jumlahnya, terutama buku-buku yang berbahasa Arab dan buku-buku yang berbahasa Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut, Rahman mengusulkan fasilitas perpustakaan harus dilengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Arab dan buku-buku dengan bahasa Inggris.
Buku merupakan media terpenting dalam perkembangan intelektual Islam. Dengan membaca buku-buku, jendela wawasan dan keilmuan akan semakin bertambah dan meluas. Sehingga, kaum intelektual dapat terus bertambah serta menciptakan karya-karya baru demi kemajuan pendidikan Islam. Sehingga dalam hal ini, kemauan untuk membaca buku bagi kalangan muslim, mampu meningkatkan mutu diri dengan berbagai macam pengetahuan yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu modern yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
c. Pragmatis Instrumental (al-Mazhab al-Zara’iyah) Fazlur Rahman
Kriteria dari aliran ini adalah
(1) Memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunah dengan tidak melepaskan diri dan tetap mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya atau sosiologis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya.
Dalam artikel “Some Reflection on The Recontruction of Muslim Society in Pakistan”, Rahman mengemukakan beberapa pemikiran terkait dengan pembangun kembali masyarakat Muslim Pakistan dari sudut pandang Al-Quran dan Sunnah. Baginya, tujuan Islam menciptakan suatu tata sosio-moral yang sehat dan progresif. Untuk tujuan ini, Al-Quran telah meletakkan beberapa prinsip organisasi sosial, seperti keadilan sosial, tolong menolong, persaudaraan, dan pengorbanan diri demi kemaslahatan umum. Persamaan manusia merupakan esensi paling mendasar dari ajaran ini karena tujuan Islam itu tidak mungkin direalisasikan kecuali jika kemerdekaan manusia sejati dan kebebasannya dari segala bentuk eksploitasi dijamin.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems”, Rahman mengemukakan berbagai pemikiran sehubungan dengan pendidikan di Pakistan dari sudut pandang Al-Quran dan Sunnah. Pemikiran ini meliputi tujuan pendidikan, hakikat pengetahuan, problem pendidikan, dan berbagai solusi atas problem pendidikan di Pakistan. Baginya tujuan pendidikan menurut Al-Quran adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan bagi manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.
Dalam artikel yang sama, Rahman juga mengemukakan sumber pengetahuan menurut Al-Quran. Menurut Rahman, seluruh pengetahuan itu didasarkan kepada tiga sumber, yaitu (a) physical universe (alam fisik), (b) constitusional of the human mind (konstitusi pikiran manusia), dan (c) historical studies of societies (studi sejarah sosial). Ilmu pengetahuan menurut Rahman memiliki beberapa karakter, yaitu semua ilmu pengetahuan diperoleh melalui observasi dan eksperimen, ilmu pengetahuan selalu berkembang dan dinamis, dan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan organik.
(2) konsep pendidikan (Islam) selalu memperhatikan kemanfaatan praktisnya
Kemanfaatan praktis dari pendidikan sendiri adalah implementasinya. Apakah pendidikan tersebut dapat bermanfaat terhadap kehidupan peserta didik dan lingkungannya, seperti halnya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Rahman menegaskan dalam hal ini, mengenai manfaat pendidikan Islam sendiri harusnya mampu membuat anak didik berfikir kritis dan kreatif, serta pendidikan dapat berguna dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi.
Sehingga pendidikan tidak hanya sebagai bentuk formalitas untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang berpendidikan, akan tetapi pendidikan harus mampu memberikan manfaat praktis kepada orang-orang yang ikut serta dalam pendidikan, khususnya mengenai permasalahan-permasalahan pribadi yang membutuhkan nalar dan akal untuk diselesaikan. Dalam hal ini, Rahman juga mengindahkan pembentukan etika dan akhlak sebagai bagian dari perkembangan dan penyempurnaan pendidikan Islam. Sehingga manfaat praktis pendidikan dapat di implementasikan di luar ruangan kelas atau sekolah formal dan nonformal.
(3) sisi wilayah jangkauannya, selain pemikiran filsafat yang bersifat universal yang dapat diaplikasikan untuk semua tempat, keadaan dan zaman, juga memungkinkan bersifat lokal yang khusus untuk tempat, keadaan, dan zaman tertentu saja.
Pada poin ini, Rahman berpendapat bahwa pembaharuan Islam adalah cara untuk memecahkan masalah dan mencari jalan keluar yakni dengan cara pendidikan. Ia menandaskan model pembaharuan apapun dalam Islam tidak akan pernah mencapai apa yang diharapkan bila tanpa keterlibatan pendidikan di dalamnya. Dalam hal ini Rahman menyebutkan tiga masalah yang mendasar. Pertama, Pendidikan di dunia Muslim pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pendidikan di zaman kolonialis. Kedua, pendidikan pada lembaga-lembaga keagamaan tradisional, jika tidak disesuaikan secara cepat akan menemui kehancuran atau minimal akan mengalami kemunduran. Ketiga, pendidikan modern, dalam arti yang berkaitan dengan profesi teknologi telah mengambil posisi prestise yang dahulu dimiliki pendidikan tradisional.
Rahman juga menegaskan untuk membedakan antara Islam sejarah dengan Islam normatif. Dengan itu diharapkan akan tergambarkan dengan jelas konsep al-Quran yang sebenarnya mengenai ilmu pengetahuan, dan pada tataran praktis, sikap yang ditunjukkan umat Islam (sepanjang sejarah) terhadap ilmu pengetahuan. Berdasarkan pembedaan ini Rahman menyarankan adanya suatu rekonstruksi yang sistematis terhadap ilmu-ilmu Islam, yang menangkap pesan dasar ajaran al-Quran.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara, (anak benua India) yang sekarang terletak di sebelah barat Laut Pakistan. Ayahnya, Maulana Sahab al-Din, adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal mengaji dan menghafal Al-Quran. Sehingga pada usia sepuluh tahun Rahman telah hafal Al-Quran seluruhnya. Pada tahun 1933, Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada Universitas Punjab. Kemudian dua tahun berikutnya (1942) ia berhasil menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di bawah bimbingan Prof. Van den Bergh dan H.A.R Gibb, Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina.
Pembaharuan yang dilakukan Rahman adalah dengan konsepnya yang luar biasa disebut double movement yaitu selain integrasi ilmu-ilmu tradisional dan modern, Rahman juga menggagas mengenai hubungan timbal balik antara murid dengan guru, dan guru dengan murid dalam pendidikan. Selain itu beberapa pembaharu pemikiran Islam yang dimulai dari Tujuan Pendidikan, Konsep Pendidikan, Pendidik, Anak didik, serta sarana dan prasarana yang harus dipenuhi.
Kriteria dari aliran Pragmatis instrumental ini adalah (1) Memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunah dengan tidak melepaskan diri dan tetap mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya atau sosiologis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya. (2) konsep pendidikan (Islam) selalu memperhatikan kemanfaatan praktisnya. (3) sisi wilayah jangkauannya, selain pemikiran filsafat yang bersifat universal yang dapat diaplikasikan untuk semua tempat, keadaan dan zaman, juga memungkinkan bersifat lokal yang khusus untuk tempat, keadaan, dan zaman tertentu saja
DAFTAR PUSTAKA
Iqbal, Abu Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, (Yogyakarta:
Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2018).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung:Penerbit
Pustaka, 2005).
Sutrisno, Fazlur Rahman (Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
No comments:
Post a Comment