BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kecerdasan emosional merupakan faktor yang menentukan langkah hidup seseorang sehingga mengantarkan pada keunggulan hidup. Dalam dunia pendidikan khususnya, kecerdasan inteligensi tidak dapat bekerja sendiri tanpa sumbangsih dari kecerdasan emosi. Hal ini dikarenakan kecerdasan emosi merupakan salah satu tapak jejak pertama sebagai nilai tambahan pendamping bagi kecerdasan inteligensi. Sikap dan emosional seseorang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bersosial dibandingkan dengan kecerdasan inteligensi yang lebih mendominasi.
Dalam Islam sendiri, kecerdasan emosional telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah dengan kesempurnaan akhlak budi pekerti yang luar biasa. Realisasi akhlak yang dilakukannya merupakan sebuah gambaran mendalam dari makna setiap wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya melalui malaikat Jibril. Al-Quran tidak semata-mata sebagai ayat ilahi yang diwajibkan untuk dibaca dan dimaknai tanpa dilaksanakan. Sebagai sebuah pedoman hidup untuk umat manusia, Al-Quran mengandung berbagai macam aspek pendidikan yang membuat manusia mampu bertahan dalam kehidupan dunia dan akhirat yang mengagumkan apabila setiap nilai-nilainya dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak semua hal, beberapa nilainya jika dapat dilakukan mampu menumbuhkan berbagai hal mengagumkan terjadi.
Dalam makalah ini penulis akan membahas mengenai pendidikan emosional di dalam Al-Quran yang telah dibawa oleh sang pembawa risalah sebagai wahyu terbesar dan terbaik yang pernah diturunkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah Singkat Kecerdasan Emosional?
2. Apakah Pengertian Kecerdasan Emosional?
3. Apa saja macam-macam kecerdasan emosional secara umum?
4. Bagaimana pendidikan kecerdasan emosional di dalam Al-Quran?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Singkat Kecerdasan Emosional
2. Untuk Mengetahui Pengertian Kecerdasan Emosional
3. Untuk Mengetahui Macam-macam Kecerdasan Emosional Secara Umum
4. Untuk Mengetahui Pendidikan Kecerdasan Emosional di dalam Al-Quran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi secara formalitasnya ditetapkan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, kecerdasan emosional mulai berkembang pada abad ke-20. Pada tahun 1920-an pakar psikologi berkebangsaan Amerika, Edward Thorndike membicarakan sesuatu yang disebutnya sebagai “kecerdasan sosial”. Selanjutnya manfaat penting “faktor emosi” dikemukakan oleh David Wechsler, salah seorang penemu uji IQ.
Pada tahun 1948, peneliti Amerika lainnya, R.W. Leeper memperkenalkan gagasannya tentang “pemikiran emosional”, yang diyakininya sebagai bagian dari “pemikiran logis”. Namun hanya sebagian psikolog yang menindaklanjuti pemikiran ini sampai lebih dari 30 tahun kemudian.
Pada tahun 1983 Howard gardner dari Universitas Harvard, menulis tentang kemungkinan adanya “kecerdasan yang bermacam-macam”, termasuk yang disebutkannya “kemampuan dalam tubuh” pada pokoknya adalah kemampuan melakukan intropeksi dan “kecerdasan pribadi”.
Hingga pada akhirnya, Reuven Bar-On masih aktif mengerjakan penelitian dan sudah menyumbangkan ungkapan “emotional quotient”. Istilah ini kemudian berkembang menjadi Kecerdasan emosional hingga saat ini.
B. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional sering disebut sebagai perasaan. Emosi atau perasaan dapat diartikan sebagai suasana psikis yang mengambil bagian pribadi dalam situasi, dengan jalan membuka diri terhadap suatu hal yang berbeda dengan keadaan atau nilai diri. Apabila berpikir itu bersifat objektif, maka perasaan bersifat subjektif karena lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan diri.
Kecerdasan emosional biasanya kita sebut sebagai “street smarts” (pintar), atau kemampuan dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, dan menatanya kembali, kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kekurangan dan kelebihan mereka, kelebihan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan yang kehadirannya didambakan oleh orang lain.
Dalam Islam kata perasaan atau emosi yang berhubungan dengan kecerdasan dapat dipahami dari beberapa firman Allah SWT berikut ini:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. Al-Baqarah: 154)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat: 2)
Pada ayat pertama, Allah SWT menjelaskan dan bahkan tidak boleh kita mengatakan bahwa orang-orang yang mati, wafat atau terbunuh dijalan-Nya itu mati, akan tetapi selamanya mereka itu hidup, akan tetapi kita tidak dapat mengetahui, merasakan dan memahaminya. Makna mati dalam ayat ini adalah dua makna, yakni mati dalam artian (lahir) lepasnya roh dari jasad dan mati dalam arti batin (lepasnya sifat-sifat duniawi dari dalam).
Pada ayat kedua Allah SWT melarang keras terhadap orang-orang yang telah beriman untuk meninggikan atau mengeraskan suara ketika berbicara, berkata-kata, atau berkomunikasi dengan Rasulullah SAW. Artinya ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana cara dan adab berkomunikasi yang baik dan benar dengan Rasulullah SAW.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kecerdasan emosional dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Semua implementasi dari kecerdasan emosional itu dinamakan akhlak al-karimah, yang sebenarnya telah ada di dalam Al-Quran dan telah diajarkan oleh Rasulullah empat ratus tahun yang lalu, jauh sebelum konsep EQ diperkenalkan saat ini sebagai salah satu yang lebih penting dari IQ.
C. Macam-Macam Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional ini sangat penting terhadap pengendalian diri seseorang maupun terhadap orang lain, agar hidup mendapat kebahagiaan dimana pun kita berada. Di dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak ayat-ayat yang menjelaskan dan memaknai kecerdasan emosional secara tidak langsung.
Reuven Bar-On akhirnya menemukan cara untuk merangkum kecerdasan emosional dengan membagi EQ ke dalam lima area atau ranah yang menyeluruh.
a. Ranah Intrapribadi terkait dengan kemampuan kita untuk mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Hal ini melingkupi,
- Kesadaran diri (kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa kita merasakannya seperti itu dan pengaruh perilaku kita terhadap orang lain),
- Sikap asertif (kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan kita, membela diri dan mempertahankan pendapat),
- Kemandirian (kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki sendiri),
- Penghargaan diri (kemampuan untuk mengenali kekuatan dan kelemahan kita, dan menyenangi diri sendiri meskipun kita memiliki kelemahan),
- Aktualisasi diri (kemampuan mewujudkan potensi yang kita miliki dan merasa senang (puas) dengan prestasi yang kita raih di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi).
b. Ranah Antar Pribadi berkaitan dengan “keterampilan bergaul” yang kita miliki, kemampuan kita bertransaksi dan bergaul baik dengan orang lain. Wilayah ini terdiri dari tiga skala.
- Empati (adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan pikiran orang lain, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain).
- Tanggung jawab sosial (adalah kemampuan untuk menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang dapat bekerja sama dan dapat bermanfaat).
- Hubungan antarpribadi (mengacu pada kemampuan untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan dan ditandai oleh saling memberi dan menerima dan rasa kedekatan emosional.
c. Ranah Penyesuaian diri berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan relistis dan memecahkan aneka masalah yang muncul.
- Uji realitas (kemampuan untuk melihat sesuatu sesuai dengan kenyataannya, bukan seperti yang kita inginkan atau takuti),
- Sikap Fleksibel (kemampuan untuk menyesuaikan perasaan, pikiran dan tindakan kita dengan keadaan yang berubah-ubah),
- Pemecahan masalah (kemampuan untuk mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari dan menerapkan pemecahan yang jitu dan tepat).
d. Ranah Pengendali Stress terkait dengan kemampuan kita untuk tahan menghadapi stress dan mengendalikan impuls. Kedua skalanya adalah
- Ketahanan menanggung stres ( kemampuan untuk tetap tenang dan berkonsentrasi dan secara konstruktif bertahan menghadapi kejadian yang gawat dan tetap tegar menghadapi konflik emosi)
- Pengendalian impuls (kemampuan untuk menahan atau menunda keinginan untuk bertindak)
e. Ranah Suasana hati Umum juga memiliki dua skala:
- Optimisme adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap positif yang realistis, terutama dalam menghadapi masa-masa sulit.
- Kebahagiaan adalah kemampuan untuk mensyukuri kehidupan, menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah dalam melakukan setiap kegiatan.
D. Pendidikan Kecerdasan Emosional Di Dalam Al-Quran
1. Sikap Konsisten (Istiqomah)
Istiqamah berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena, karena akar kata Istiqamah dari kata “qama” yang berarti berdiri. Dengan kata lain, Istiqamah juga berarti tegak lurus serta sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Muslim yang beristiqamah adalah muslim yang selalu mempertahankan keimanan dan akidahnya dalam situasi dan kondisi apapun. Allah SWT berfiman dalam QS. Hud: 112:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw diperintahkan Allah SWT untuk bersikap konsisten, yakni bersungguh-sungguh memelihara, mempercayai, mengamalkan serta mengajarkan tuntunan-tuntunan-Nya baik yang menyangkut prinsip ajaran dan rinciannya, menyangkut dirimu secara probadi maupun penyampaiannya kepada masyarakat tanpa menghiraukan gangguan dan kecaman orang lain.
Setelah memerintahkan berbuat segala macam kebaikan yang sesuai dengan tuntutan wahyu, kini dilarangnya melakukan segala macam keburukan dengan menyatakan janganlah kamu melampaui batas yang ditetapkan Allah dengan mempersatukan dan mendurhakai Allah, melakukan perusakan di bumi atau membebani diri melebihi kemampuan.
Ayat-ayat tentang istiqamah ini memerintahkan untuk bersikap teguh pendirian terhadap jalan-jalan yang telah ditetapkan Allah SWT, serta tidak mengurangi atau mengabaikan dan melampaui batas terhadap ajaran-ajaran tersebut.
2. Sikap Kerendahan Hati (Tawadhu’)
Tawadhu’ adalah sikap rendah hati yang dimiliki orang yang dapat mengendalikan nafsunya tatkala mendapatkan nikmat yang lebih dari orang lain. Sikap ini akan membuahkan perilaku baik, baik kepada Allah maupun kepada sesama makhluk-Nya. Tawadhu’ adalah sikap tenang, sederhana, bersungguh-sungguh dan menjauhi sikap takabbur, beringas, maupun membangkang.
Fudail bin ‘Iyad pernah ditanya maksud dari tawadhu’. Ia menjawab tunduk dan taat melaksanakan yang hak (benar), serta mau menerima kebenaran itu dari siapapun yang mengatakannya.
Lawan dari sikap tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
Artinya: Kesombongan adalah menolak kebenaran dan melecehkan orang (HR. Muslim).
Di dalam Al-Quran terdapat kutipan larangan sikap sombongan yang termaktub dalam QS. Al-Isra : 37.
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (٣٧)
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung:. QS. Al-Isra’:37
Larangan sikap sombong dalam ayat tersebut menjadi bukti bahwa sikap takabbur merupakan salah satu akhlak tercela yang harus dihindari oleh kaum muslim. Pentingnya melakukan sikap tawadhu’ adalah sebagai salah satu upaya implementasi pendidikan emosional yang tekah dijelaskan di dalam Al-Quran ke dalam relisasi kehidupannya nyata.
3. Sikap Berusaha dan Berserah Diri (Tawakkal)
Secara etimologi bahasa, tawakkal berarti menyerahkan suatu urusan. Misalnya, menyerahkan suatu urusan kepada Fulan, artinya ia mengandalkan usahanya kepada Fulan. Atau si Fulan menyerahkan urusannya kepada yang lain, jika ia percaya akan kemampuan orang itu, atau karena ia tidak mampu melakukannya sendiri.
Menurut syariat, orang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang-orang yang memahami bahwa segala apa yang ada di alam semesta adalah kehendak Allah. Dia yang mengatur segala urusan makhluk-Nya baik itu berupa harta, rezeki, kesehatan dan lain sebagainya yang bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.
Ayat yang menyerukan tentang sikap tawakkal terdapat dalam QS Al-Mumtahanah: 4 yakni:
رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkau Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkauhlah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. (QS Al-Mumtahanah:4)
Sikap tawakkal ini dicontohkan oleh nabi Ibrahim as, yaitu ketika dilempar ke dalam kobaran api, beliau mengucapkan “Hasbunallah wanikmal wakil” Allah menjadikan api yang panas menjadi dingin sehingga Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api yang membara.
Sehingga orang-orang yang bertawakkal kepada Allah setelah usaha keras yang dilakukannya maka sikap penghambaan, penyerahan diri serta pasrah bukan lagi menjadi sebuah sikap yang memalukan. Karena segala sesuatu yang mustahil bagi manusia, tidak berlaku atas segala kekuasaan Allah.
Sikap tawakkal merupakan bagian dari kecerdasan emosional dimana seseorang dapat menjalin hubungan dengan dirinya sendiri. Mengerti segala potensi yang dimiliki. Merasa puas atas segala usaha dan kerja keras yang telah dilakukan. Serta sikap yang akan membawa kepada kepercayaan diri, tidak minder serta lebih pada menghargai setiap kerja keras dan upaya yang telah dilakukan oleh individu.
4. Sikap Ketulusan (Ikhlas)
Ikhlas adalah bentuk ibadah qalbu yang paling agung dan sensitif. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Quran dan Hadist yang menjelaskan mengenai keutamaan-keutamaan orang yang berlaku ikhlas.
Pengertian ikhlas secara kebahasaan berasal dari kata khalasha-yakhlushu-khukushan, mengacu pada pengertian terikat dan terbelenggu, lalu bebas dan selamat darinya. Al-mukhlish adalah orang yang hanya mengesakan Allah dengan setulus-tulusnya. Kata al-mukhlash, mengandung pengertian orang yang tulus kepada Allah, yaitu orang-orang pilihan yang terbebas dari kotoran.
Di dalam Al-Quran banyak disebutkan ayat-ayat tentang ikhlas, antara lain:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah:5)
Ayat di atas menjelaskan tentang sikap ahli kitab dan kaum musyrikin yang berselisih satu sama lain, yakni beribadah dan tunduk kepada Allah SWT dengan memurnikan secara bulat untuk-Nya semata-mata, serta ketaatan sehingga tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, dan juga mereka diperintahkan supaya melaksanakan shalat dan menunaikan zakat secara sempurna sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, bukan seperti yang selama ini mereka lakukan.
Kata mukhlisin terambil dari kata kho-la-sho yang berarti murni setelah sebelumnya diliputi atau disentuh kekeruhan. Dari sini ikhlas adalah upaya memurnikan dan menyucikan hati sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, hati masih diliputi atau dihinggapi oleh sesuatu selain Allah SWT, misalnya pamrih dan semacamnya.
Sehingga sikap ikhlas dalam kecerdasan emosional tidak hanya berkaitan dengan individu secara pribadi, akan tetapi juga berkaitan dengan orang lain. Sikap ikhlas akan membawa kepada pengendalian emosional terhadap keridhaan akan segala sesuatu, sehingga memiliki nilai sosial yang tinggi dihadapan orang lainnya.
5. Sikap Motivasi diri
Dimensi motivasi menurut Goleman adalah kecerdasan untuk menggunakan hasrat kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Hal ini senada dengan motivasi yang didefiniskan sebagai segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut atau mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan.
Motivasi merupakan kecerdasan emosional yang berhubungan dengan diri sendiri, dan dapat ditularkan kepada orang lain. Walaupun pengaruh untuk meningkatkan motivasi memiliki begitu banyak aspek sosial, akan tetapi kemauan diri yang kuat adalah salah satu pokok penting dalam meningkatkan motivasi seseorang.
Meskipun Allah telah menentukan takdir seseorang, namun Allah tidak memerintahkan manusia untuk berdiam diri menunggu takdir tiba. Allah memerintahkan manusia untuk berusaha atas segala sesuatu yang dilakukan manusia, tidak hanya bersikap pasrah terhadap takdir yang ada. Seperti yang termaktub dalam Q.S Ar-Ra’d: 11 yakni:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Allah juga memerintahkan kepada manusia untuk terus termotivasi melakukan segala aktivitas kebaikan. Manusia harus memotivasi diri untuk melakukan kebaikan dengan tetap meniatkan perbuatannya hanya kepada Allah semata. Hal ini termaktub dalam QS. Al-Maidah : 48 yang menyatakan:
“Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah lah kalian semua kembali..”. (QS Al-Maidah:48)
6. Sikap Empati
Menurut Goleman, dimensi empati merupakan kemampuan untuk merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Dalam pandangan islam, Allah SWT menganjurkan pada kaum beriman untuk saling menyebarkan kasih sayang dan saling menghibur dikala duka dengan pesan sabar. Hal ini sesuai dengan ayat di bawah ini:
ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ
Artinya: Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (QS Al-Balad: 17).
Dalam hal ini, sikap empati merupakan salah satu bagian dari kecerdasan sosial yang berhubungan sepenuhnya terhadap kesadaran lingkungan serta masyarakat sosial. Kemampuan ini membuat seseorang menjadi lebih peka terhadap hal-hal sensitif yang mungkin tidak diketahui oleh orang lain secara lebih mendetail. Akan tetapi orang-orang dengan kemampuan luar biasa ini mampu menempatkan diri sebagai penengah, memberikan dorong dan dukungan untuk terus bertahan dan setiap hal.
Empati tidak hanya berhubungan dengan hal-hal sedih. Sikap bahagia dan haru terhadap apa yang dicapai dan dirasakan oleh orang lain merupakan bagian dari sikap empati. Orang-orang dengan sikap empati yang baik di masyarakat akan membawa mereka kepada kepopuleran sikap sosialis, karena masyarakat menyukai orang-orang dengan sikap empati yang baik di antara mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecerdasan emosional dapat dipahami sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Pada tahun 1983 Howard gardner dari Universitas Harvard, menulis tentang kemungkinan adanya “kecerdasan yang bermacam-macam”, termasuk yang disebutkannya “kemampuan dalam tubuh” pada pokoknya adalah kemampuan melakukan intropeksi dan “kecerdasan pribadi”. Hingga pada akhirnya, Reuven Bar-On masih aktif mengerjakan penelitian dan sudah menyumbangkan ungkapan “emotional quotient”. Istilah ini kemudian berkembang menjadi Kecerdasan emosional hingga saat ini.
Ada beberapa macam kecerdasan emosional menurut Reuven Bar-On yakni:Pertama, Ranah Intrapribadi ini melingkupi, Kesadaran diri, Sikap asertif, Kemandirian . Penghargaan diri, Aktualisasi diri . Kedua, Ranah Antar Pribadi meliputi: Empati, Tanggung jawab sosial, Hubungan antarpribadi. Ketiga, Ranah Penyesuaian diri yakni: Uji realitas, Sikap Fleksibel, Pemecahan masalah. Keempat, Ranah Pengendali Stress yakni: Ketahanan menanggung stres, Pengendalian impuls. Kelima, Ranah Suasana hati Umum yakni: Optimisme, Kebahagiaan.
Pendidikan kecerdasan di dalam Al-Quran meliputi Sikap Konsisten (Istiqomah), Sikap Kerendahan Hati (Tawadhu’), Sikap Berusaha dan Berserah Diri (Tawakkal), Sikap Ketulusan (Ikhlas), Sikap Motivasi diri, Sikap Empati.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran A. 2005. Propheting Intelligence (Kecerdasan
Kenabian),Yogyakarta: Islamika.
Asu-Syarif, Muhammad Musa. 2005. Ibadah Qalbu, Pengaruhnya dalam
Kehidupan Kaum Mukmin, Jakarta: Media Eka Sarana.
Azra, Azyumardi. 2008. Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa Group.
Murni, Dewi. 2016. Kecerdasan Emosional Menurut Perspektif Al-Quran, Jurnal.
Ilmu Agama Islam Indragiri: Jurnal Syahadah, Vol. V.
Shaleh, Abdul Rahman & Muhbib Abdul Wahab. 2003. Psikologi dalam Perspektif
Islam, Jakarta: Prenada Media.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Vol. 6.
Stein, Steven J.& Howard. 2002. E. Book, Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar
Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy dan Yudhi Nurtanto, Karya.
No comments:
Post a Comment