Tuesday, November 27, 2018

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala tatanan yang ada di setiap negara diatur oleh hukum serta undang-undang yang berlaku. Sistem birokrasi tidak serta merta bertindak dan berjalan tanpa memperhatikan berbagai variabel-variabel pendukung dalam menjalan kebijakan. Hal ini dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan mampu mencapai tujuan yang telah disusun secara bersama-sama. Dalam sistem birokrasi organisasi, hubungan antar rekan dan teman sejawat memiliki arti yang penting dalam meningkatkan kekompakan dan kemajuan tim. Sehingga kebijakan yang dijalankan dapat diemban dan dievaluasi secara bersama-sama.
Akan tetapi dalam praktiknya, masih banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sistem birokrasi membawa dampak cukup serius dalam tatanan kehidupan suatu negara. Kebijakan yang awalnya dibuat sebagai sebuah pengharapan dalam memudahkan pekerjaan masyarakat, malah memberikan efek buruk dan memberatkan bagi beberapa pihak ataupun golongan masyarakat yang terkait. Inilah mengapa implementasi kebijakan sebagai ranah publik harus dipelajari secara matang, agar tidak terjadi lagi kebijakan-kebijakan memonopoli lainnya yang memberatkan masyarakat umum sebagai penerima kebijakan. Dalam hal ini teori-teori kebijakan secara implementasi serta pengevaluasiannya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teori implementasi kebijakan publik?
2. Bagaimanakah perspektif implementasi kebijakan publik?
3. Bagaimanakah model-model implementasi kebijakan publik?
4. Bagaimanakah kriteria pengukuran dan evaluasi implementasi kebijakan publik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian teori implementasi kebijakan publik
2. Untuk mengetahui perspektif implementasi kebijakan publik
3. Untuk mengetahui model-model implementasi kebijakan publik
4. Untuk mengetahui kriteria pengukuran dan evaluasi implementasi kebijakan publik
D. 

1. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang konservasi energi adalah teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.
Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :
a. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. Sumber daya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. 
Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. 
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c. Disposisi atau sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2) Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
3) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
4) Vitalitas suatu organisasi;
5) Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan. Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

2. Model Kebijakan Implementasi Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
1) Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2) Sumber daya
3) Karakteristik organisasi pelaksana
4) Sikap para pelaksana
5) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut: 
a. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
b. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.
c. Sumber daya menunjukkan kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan. Hal sulit yang terjadi adalah berapa nilai sumber daya (baik finansial maupun manusia) untuk menghasilkan implementasi kebijakan dengan kinerja baik. Evaluasi program/kebijakan seharusnya dapat menjelaskan nilai efisien.
d. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program. Komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan, misalnya: seberapa sering rapat rutin akan diadakan, tempat dan waktu. Komunikasi antar organisasi juga menunjukkan adanya tuntutan saling dukung antar instansi yang berkaitan dengan program/kebijakan. Dalam contohnya yaitu koordinasi antar kelompok pendamping, LKMD, kepala desa dan aparat desa telah berhasil meyakinkan dan menjelaskan dengan baik arti penting IDT, sehingga kelompok sasaran mampu memahami dan bertanggung jawab atas program yang dijalankan.
e. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.
f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik menunjukkan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.
g. Sikap pelaksana, menunjukkan bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias, dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.

3. Model Komunikasi dari Implementasi Kebijakan Antar-Pemerintah (The Communication Model of Intergovern-Mental Policy Implementation) – Goggin, Bowman, Lester dan O’Tole.Jr
Goggin bersama Bowman, Lester dan O’Tole dalam bukunya mengemukakan bahwa kandidat teori baru dari implementasi kebijakan. Sebelum mengemukakan teorinya mereka menyatakan bahwa sampai buku tersebut ditulis, terdapat dua generasi kajian implementasi. Generasi pertama adalah yang digagas oleh Jeffery Pressman’s dan Aaron Wildavsky’s (1973) yang mengkritisi teori implementasi secara atheoretical (tidak membentuk teori) kasus perkasus secara spesifik dan non kumulatif. Gagasan-gagasanya adalah:
a. Mengelola untuk menggeser fokus dari bagaimana rancangan undnag-undang menjadi hukum, menjadi bagaimana hukum menjadi sebuah program.
b. Mendemostrasikan kekomplekan dan kondisi asli yang dinamis dari implementasi.
c. Menitikbertakan pentingnya sebuah sub sistem kebijakan dan kesulitan tentang sebuah subsistem berkreasi membentuk koordinasi dan pengawasan.
d. Mengidentifikasi beberapa faktor yang terlihat untuk bertanggung jawab atas hasil program.
e. Mendiagnosis beberapa ancaman penyakit yang mewabah secara periodik pada aktor-aktor implementasi kebijakan.
Generasi kedua adalah generasi yang secara unik memberikan kontribusi kepada pembangunan kerangka analitis untuk memandu penelitian pada kekomplekan fenomena dari implementasi kebijakan. Meskipun generasi kedua ini mengemukakan banyak kategori dari variabel-variabel yang berbeda, semua studi dari generasi kedua ini berfokus kepada variabel yang sama untuk memprediksi:
a. Bentuk dan isi kebijakan
b. Organisasi dan sumber daya
c. Rakyat atau masyarakat, kemampuan mereka, motif, predisposisi, hubungan interpersonal mereka, termasuk didalamnya corak komunikasi yang dibangun.
Generasi kedua ini dikenal sebagai generasi yang secara terdepan mengembangkan kajian pengembangan kerangka kerja implementasi kebijakan dengan memberikan kontribusi pada area ini adalah:
a. Memperkenalkan implementasi sebagai kajian yang melewati batas waktu, lintas kebijakan dan dari satu negara ke negara lain.
b. Mengidentifikasi kandidat yang disukai untuk menjelaskan berbagai variasi .
c. Mengkonfrontasikan permasalahan-permasalahan yang sulit menemani proses dari penelitian empirik.
Secara keseluruhan buku Goggin hendak menyampaikan beberapa hal yaitu:
a. Mengintegrasikan teori dan pekerjaan empiris
b. Mengusulkan satu perspektif bagaimana implementasi mengambil tempat
c. Mendiskusikan perspektif ini dalam konjungsi dengan tiga implementasi kebijakan yang telah selesai- periode diperluas sehingga mencakup seluruh Negara Amerika.
d. Menggambar theori komunikasi untuk menghubungkan perspektif dan ranah kebijakan kepada suatu set dari proposisi-proposisi.
e. Menempatkan satu kesatuan dari konseptual dan nilai isu-isu dan dengan cara itu menawarkan satu jembatan kebijakan.
Buku inilah yang disampaikan oleh Goggin sebagai generasi ketiga dengan kandidat model dan teori implementasi: Model Komunikasi dari Implementasi Kebijakan Antar Pemerintah.

PEMIKIRAN IKHWAN AS-SHAFA (RELIGIUS-RASIONAL) TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

BAB I
      PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang menjadikan kedudukan seseorang tinggi dihadapan manusia dan Tuhan. Akan tetapi implementasi pendidikan sendiri tidak mudah mudah untuk diterapkan kedalam sebuah realitas. Sehingga pendidikan tidak dapat dijalankan secara optimal, karena manusia selalu berubah, dan pengetahuan selalu berkembang. Pendidikan ketika itu bersifat tradisional dan konservatif, tetapi mampu melahirkan para cendekiawan-cendekiawan yang hebat. Hal ini terjadi karena konsep pendidikan yang masih menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai moral keagamaan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Pendidikan dengan konsep keagamaan menjadi pokok utama pendidikan pada zaman klasik dengan melihat sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi pada masa modern, pendidikan dengan konsep etika dan moral menjadi kurang diamalkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga banyak orang-orang dengan ilmu pengetahuan yang luas, akan tetapi minim etika dan moral.
Sehingga inilah yang menyebabkan sekelompok cendikiawan muslim yang merumuskan konsep pendidikan moral dan etika dengan tetap berpegang teguh pada al-Quran dan Hadis sebagai dasar dari sumber segala ilmu. Sehingga dalam pembahasan ini, akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Ikhwan As-Shafa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Ikhwan As-Shafa?
2. Bagaimana Pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan?
3. Bagaimanakah Relevansi Pemikiran As-Shafa terhadap Pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Biografi Ikhwan As-Shafa
2. Untuk mengetahui Pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Ikhwan As-Shafa terhadap Pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI IKHWAN AS-SHAFA
Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama yang disematkan pada sekelompok pemikir yang berwawasan liberal yang aktivitasnya menggali dan mengembangkan sains dan filsafat dengan tujuan tidak semata-mata hanya untuk kepentingan sains itu sendiri, melainkan untuk memenuhi harapan-harapan lainnya, seperti terbentuknya komunitas etika-religius dan mempersatukan berbagai kalangan dalam sebuah wadah yang selalu siap memperjuangkan aspirasi mereka. Komunitas etika- spiritual ini merupakan pembauran dari berbagai kalangan muslim yang heterogen. Heterogenitas yang mewarnai kelompok ini, mencerminkan ciri mereka yang pluralistis, karena beranggotakan dari unsur-unsur dan lintas sekte atau madzahab.
Namun mereka kian melambung melalui tulisan Rasa;il al-Ikhwan al-Shafa  (risalah atau ensiklopedia). Meskipun masyur, tak terlalu banyak yang diketahui tentang Ikhwan al-Shafa, terutama para aktor intelktualnya. Para sejarawan dari masa ke masa, berusaha menyingkap tabir misteri yang melingkupi persaudaraan ini. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian miliki seorang cendekia, Abu Hayyan al-Tauhidi. Ia hidup pada masa Ikhwan berkiprah (1023). Dalam bukunya, al-Tauhidi seperti dikutip Atlas Budaya menyebutkan lima tokoh Ikhwan. Mereka adalah Zaid Ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan nama al-Maqdisi, Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqali.
Adapun sebutan Ikhwan al-Shafa kemungkinan diambil dari cerita seekor merpati dalam kisah Kalilah wa Dimnah. Ini adalah kisah tentang sekelompok hewan yang berpura-pura menjadi sahabat dekat atau ikhwan al-shafa, satu sama lain berhasil menhindar dari perangkap pemburu. Kelompok ikhwan al-shafa menghimpun pemikiran dan doktrin filsafat dalam Rasail al-Ikhwan al-Shafa  yang disusun seperti ikhtisar atau ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan. Gaung karya ini sangat luar biasa. Karya monumental ini telah memengaruhi ensiklopedi-ensiklopedi ilmu setelahnya serta dipelajari di berbagai negara. Secara keseluruhan Rasail terdiri dari 52 Risalah. Tema besar Ikhwan adalah ingin mengembalikan keutamaan etika Islam yang asli. Ikhwan menganggap, sebagian jiwa manusia seudah terkontaminasi dengan kesesatan dunia sehingga harus dibimbing ke jalan yang benar.
Menurut mereka, hanya filsafat yang dapat memberikan kebenaran doktrin dan kearifan praktis. Demikian tulisannya yang tertuang dalam Rasail. Tentang syariat dan filsafat, kelompok ini mempunyai penjelasan tersendiri. Syariat dipandang sebagai obat bagi orang sakit. Begitu pula menjadi sarana untuk penyembuhan. Di didi lain, filsafat sebagai obat bagi orang sehat, dimaksudkan untuk menjaga kesehatannya. Filsafat juga memungkinkan manusia meraih kebajikan serta mempersiapkan untuk menuju keabadian. Dengan begitu, ada kaitannya di antara keduanya. Filsafat menempatkan syariat dalam skemanya walaupun syariat menolak filsafat.
A. PEMIKIRAN IKHWAN AL-SAHAFA TERHADAP PENDIDIKAN
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa memetakkan bebrapa pendapatnya mengenai pendidikan yang relevansinya tetap berhubungan dengan agama Islam. Shafa tidak memisahkan hakikat pendidikan dengan nilai-nilai religius dari pendidikan Islam itu sendiri. Dalam hal ini saya mengutip sebuah jurnal mengenai pemikiran Shafa terhadap Pendidikan.
Berikut adalah beberapa pemikiran Shafa mengenai pendidikan:
1. Mencari ilmu adalah wajib, karena dengan ilmu manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dan dapat mengenal-Nya serta beribadah kepada-Nya. Ilmu dapat membawa kepada jiwa beradab dan bersih. Dengan demikian memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup dunia akhirat. Mempelajari ilmu yang diajarkan Ikhwan al-Shafa pada khususnya,
Ikhwan berpendapat, bahwa tingginya ilmu seseorang, mampu memberikan keduduk dan derajat yang tinggi di hadapan Allah SWT. Seperti halnya yang telah kita ketahui di dalam Qur’an Surat AL-Hujurat, bahwasannya Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu. Tetapi ilmu saja tidak cukup untuk kedudukan yang tinggi. Dibutuhkan etika peribadatan serta pengamalan nilai-nilai yang baik dari Al-Qur;an dengan kehidupan sehari-hari.
2.  Mengajarkan ilmu kepada orang lain adalah wajib, karena hal demikian merupakan tanggung jawab sosial yang dapat membawa murid kea rah orang lain sebagai anggota masyarakat menjadi berilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama saling membant, juga anggota masyarakat, dalam membangun kehidupan beragama, kehidupan duniawi dan dalam mencapai cita-cita memperoleh kesejahteraan hidup dibawah keridhaan Allah.
Telah kita ketahui bahwasannya salah satu amalan yang akan terus bertahan dan mengalir bahkan ketika seseorang itu meninggal dunia adalah salah satunya Ilmu yang bermanfaat. Mengajarkan Ilmu kepada orang lain merupakan sebuah kewajiban, seperti apa yang telah dikemukakan oleh Shafa. Akan tetapi ilmu yang diajarkan disini adalah ilmu yang telah benar adanya baik secara teoritis, empirik maupun rasional. Sehingga tidak sembarang ilmu dapat diajarkan kepada orang lain.
3. Mengenai tujuan pendidikan, mereka berpandangan bahwa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhaan Allah dan kepada keakhiratan.
Shafa berpendapat, bahkan para tokoh-tokoh Islam lainnya bahwasannya tujuan pendidikan Islam khususnya harus memiliki konsep yang memuat nilai-nilai keagamaan. Hal ini dikarenakan dasar dari Islam adalah Al-Quran dan Hadist, sehingga tujuan dan hakikat pendidikan harus memuat hal-hal atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
4.  Mengenai kurikulum pendidikan tingkat akademis, mereka berpendapat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Athiyah al-Abrasyi agar dalam kurikulum tersebut mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab samawi, kenabian, ilmu syariat, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih diberi perhatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan.
Shafa masih menggunakan konsep pendidikan konservatif, sehingga pokok dari pembelajaran atau mata pelajaran pokok yang harus diajarkan masihlah bersifat agama, atau hal-hal yang berhubungan dengan itu. Pendapat Shafa ini, masih belum terbuka terhadap ilmu-ilmu modern seperti ilmu alam dan sosial. Ini terjadi karena perkembangan pendidikan pada masa itu masih bersifat religius dan berporos pada studi mengenai hal-hal religius seperti yang disebutkan di atas.
5. Mengenai metode pengajaran, mereka mengemukakan prinsip: ”mengajar dari hal yang konkrit kepada abstrak”, Karena pengenalan hal-hal yang konkrit lebih banyak menolong bagi pelajar-pelajar pemula untuk memahaminya. Metode pemberian contoh-contoh menurut mereka sangat perlu dalam pengajaran. Ikhwan al-Shafa sendiri memperaktekan pemberian contoh-contoh dan misal-misal dalam penulisan karangan-karangan mereka (Rasaail) Ikhwan al-Shafa.
Walaupun konsep pendidikan ayang konservatif, akan tetapi Shafa telah menggunakan metode pengajaran yang kritis dan kreatif terhadap anak didiknya. Pemikiran kritis ini diperlukan, agar anak dapat membuka wawasan pemikirannya, memahami hal-hal sesuai dengan pemikirannya dan tidak hanya monoton menghafal tanpa memahami maksud dan makna.
6.  Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pecinta ilmu (peserta didik), Ikhwan al-Shafa berpandangan bahwa kewajiban seseorang yang belajar ialah: merendahkan diri (tawadu’) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dzim kepadanya.
Yang menarik dari pemikiran pendidikan Shafa adalah tentang etika dan buydi pekerti yang ditanamkan sejak dini. Keunggulan dari pendidikan tradisional adalah bagaimana peserta didik dapat bersikap serendah-rendah nya dihadapan guru-guru yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepadanya.
7.  Mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu, Ikhawan al-Shafa berpandangan bahwa pecinta ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (a) As-Sual was Shumtu (bertanya dan diam); (b) Al-Istimaa’ (mendengarkan); (c) At-Tafakkur (mengingat-ngingat/mengenang); (d) Al-‘Amalu fil Ilmi (mengamalkan ilmu); (e) Tahabus Shidqy min Nafsihi (mencari kejujuran dari diri sendiri); (f) Katsratuz Zikri Annahu min Ni’amillah (banyak zikir atas nikmat-nikmat Allah; dan (g) Tarkul Ijaab bima Yuhsinuhu (menjauhkan kekaguman atas prestasi yang dicapai.
Syarat-syarat yang Shafa tuliskan memiliki nilai-nilai budi pekerti dan etika yang sekarang mulai dilupakan pada pendidikan-pendidikan modern. Shafa menekankan pentingnya akhlak dalam penerapan pendidikan.
8.  Mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, Ikhwa al-Shafa berpandangan bahwa seorang pendidik harus memiliki beberapa sifat, yaitu: (1) Lembut dan sayang kepada murid-muridnya; (2) tidak kecewa melihat murid yang lambat memahami pelajaran atau menghapal pelajaran; dan tidak rakus dan minta imbalan.
Pemikiran Shafa terhadap sikap dan akhlak pendidik, mulai dilupakan pada masa sekarang ini. Shafa menjelaskan bahwasannya seorang pendidik tidak seharusnya bersikap pamrih atau mengharapkan imbalan terhadap pekerjaanya. Karena bagi Shafa, mengajarkan suatu ilmu adalah bernilai ibadah dan lebih penting dari apapun yang terjadi. Akan tetapi ketika konsep ini dilakukan pada masa sekarang, maka tidak mudah. Karena guru atau pendidik adalah sebuah profesi yang meyita banyak waktu dan tenaga. Jika masih ada guru yang bersikap demikian seperti apa yang telah digambarkan oleh Shafa, maka hati dan nuraninya adalah yang terbaik.
9. Mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, Ikhwan al-Shafa seperti yang dikutif Hasan Langgulung berpendapat bahwa cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan tiga jalan: pertama, dengan cara menggunakan panca indera. Kedua, melalui tulisan dan bacaan. Ketiga, dengan cara mendengarkan berita-berita atau informasi yang disampaikan orang lain.
Shafa berpendapat seperti ahli filosof lainnya bahwa pendidikan tidak dapat dilakukan secara sendiri. Selalu ada media yang membuat seseorang mendapatkan pengetahuan. Misalkan alam, buku, guru, teman, orang tua bahkan juga masyarakat.





B. RELEVANSI PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA BAGI PENGEMBANGAN DUNIA PENDIDIKAN

Untuk  lebih  jelasnya,  sumbangan  pemikiran  Ikhwan  al-Shafa  bagi pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Dari hasil studi terhadap pemikiran Ikhwan al Shafa, diketahui dengan  jelas  bahwa  tujuan  pendidikan  yang  ingin  dicapai  melalui pendidikan adalah mendapatkan ridha Allah Swt. Keri dhaan Allah itu  terjabar  dalam  al-Qur’an  surat  al-Baqarah  ayat  201,  yaitu Pertama,  mendapatkan  kebaikan  di  dunia  seperti  memiliki  ilmu yang  bermanpaat,  rizki  yang  halal  dan  pasangan  yang saleh/shalehah.  Kedua,  kebaikan  di  akhirat  seperti  mendapatkan surga.  Ketiga,   selamat  dari  api  neraka.  Ketiga  hal  ini  merupakan harapan kita semua.
Kalaulah  tujuan  tersebut  sudah  tertanam  dalam  hati  setiap pecinta  ilmu, maka  bukan  suatu  hal  yang  mustahil  mereka  akan menjadi  hati-hati  dalam  belajarnya,  hati-hati  dalam mengamalkannya,  dan  akibat  kehati-hatiannya  itu  mereka  akan berusaha untuk menjauhi dari hal-hal yang tidak baik.
Membicarakan tujuan pendidikan tidak dapat lepas dari pembicaraan tentang tujuan hidup manusia. Tujuan adalah objek atau sasaran yang mau dicapai oleh seseorang. Tujuan pendidikan merupakan penjabaran dari tujuan hidup. Sedangkan tujuan hidup dipengaruhi oleh pandangan hidup (keyakinan, filsafat, ilmu, budaya, dan lain-lain).
Dengan  demikian  seorang  pendidik  punya  kewajiban  untuk meluruskan  motivasi  peserta  didiknya  dalam  menentukan  tujuan menuntut  ilmu,  jangan  sampai  tujuan  belajar  mereka  hanya terpokus  pada   hal -hal  yang  bersifat  duniawi  seperti  agar  mudah mencari  lapangan  kerja,  ingin  dipuji  orang,  untuk  mendapatkan pangkat,   dan  sebagainya.  Pendidik  harus  terus  memotivasi sekaligus  meyakinkan  kepada  peserta  didiknya  bahwa  menuntut ilmu  disamping  kewajiban,  juga  harus  diposisikan  sebagai  sarana untuk  meningkatkan  keimanan  dan  ketaqwaannya  kepada  Allah Swt. dengan ilmu yang diimilikinya.
2.  Sifat dan Syarat-syarat Seorang Pecinta Ilmu
Untuk  mencapai  tujuan  pendidikan  sesuai  dengan  harapan, maka  seorang  pecinta  ilmu  perlu  memperhatikan  hal-hal  yang membuat dia berhasil dalam belajarnya. Dalam hal ini, Ikhwan al-Shafa menetapkan sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pecinta ilmu, di antaranya: seorang pecinta ilmu harus tawadhu,  banyak  berdzikir,  banyak  bertanya,  senantiasa mendengarkan  ketika  guru  sedang  menyampaikan  materi, mangamalkan  ilmunya,  tidak  merasa  kagum  atas  prestasi,  dan senantiasa  banyak berdzikir.
Murid harus bersikap tawadhu’ kepada guru hal ini karena kedudukan pendidik, ilmuan, mu’allim, ustadz dan istilah lainnya dalam Islam sangat tinggi, dimuliakan. Strategis, suci, terhormat dan tinggi.
Peserta didik senantiasa harus aktif di dalam kelas. Dalam hal tersebut Ikhwan mengemukakan bahwa peserta didik harus banyak bertanya. Seperti apa yang telah dijelaskan Guilford menjelaskan bahwa subyek didik yang kreatif, paling tidak dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut: (a) sensitif tidaknya mereka dalam melihat suatu masalah. (b) Orisinil tidaknya ide atau pikiran yang dikemukakan. (c) lancar tidaknya mereka dalam mengemukakan ide. (d) fleksibel tidaknya dalam berfikir. (e) mampu tidaknya mereka mengutarakan kembali pengetahuan yang telah dimiliki.
Dengan  demikian,  apabila  sifat-sifat  dan  syarat-syarat  yang ditawarkan  oleh  Ikhwan  al-Shafa  tersebut  diindahkan  oleh  para peserta  didik,  maka  insya  Allah  mereka  akan  berhasil  dalam menggapai tujuan yang diharapkannya.
3.  Sifat-sifat Seorang Pendidik
Manusia adalah makhluk educandum (membutuhkan pendidikan) dan educandus (dapat mendidik orang lain). Islam mewajibkan para pendidik mendidik orang lain agar terhindar dari perbuatan munkar dan maksiat dan agar dapat menjalankan fungsinya di muka bumi yakni sebagai hamba dan khalifah.
Dalam  dunia  pendidikan,  komponen  pendidik  ternyata  dapat mempengaruhi  keberhasilan  tujuan  pendidikan  yang  diharapkan, oleh  karena  itu  Ikhwan  al-Shafa  mencoba  menawarkan  konsep pendidik  yang  baik,  yang  akan  mempengaruhi  keberhasilan pendidikan.  Diantaranya  adalah  seorang  pendidik  harus  memiliki kasih  sayang  terhadap  peserta  didiknya,  sabar  dalam  menghadapi peserta  didik  yang  lambat  untuk  memahami  materi  yang disampaikannya, pendidik tidak boleh rakus dan minta imbalan.
Rupanya  karakteristik  pendidik  yang  ditawarkan  oleh  Ikhwan al-Shafa  ini  perlu  untuk  dimiliki  oleh  setiap  pendidik,  agar  dapat membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.
4.  Kurikulum Pendidikan
Dilihat dari segi kurikulum, Ikhwan al-Shafa memberikan porsi yang  seimbang  antara  materi-materi  yang  harus  diberikan  kepada peserta  didik,  mereka  tidak  hanya  memfokuskan  pada  ilmu-ilmu yang  dikaji  dari  ayat-ayat  kauniyah  seperti  ilmu  jiwa,  akan  tetapi ditekankan pula pengkajian terhadap ayat-ayat tanziliyah.
Sebagaimana  kita  maklumi  bahwa  hakikat  ilmu  kauniyah  dan ilmu tanziliyah dilihat dari sumbernya adalah sama yaitu bersumber dari Allah Swt. Namun saja perbedaannya terletak pada fungsinya, ilmu  kauniyah  berfungsi sebagai  wasilah  al-hayah, sedangkan ilmu tanziliyah  berfungsi  sebagai  minhaj  al-hayah.  Dari  uraian  ini nampaknya  pandangan  Ikhwan  al-Shafa  cukup  baik  untuk diterapkan  di  lembaga  pendidikan  kita,  karena  Ikhwan  al-Shafa mengangap penting terhadap kedua disiplin  ilmu  tersebut. Dengan dua disiplin ilmu itu insya Allah kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai.
5.  Metode Pengajaran
Metode mempunyai kedudukan penting dalam mencapai tujuan. Karena dengan metode yang tepat dan menarik, tujuan belajar mudah tercapai, mudah mengambil kesimpulan dari bahan yang disajikan, dan dapat memberi motivasi bagi peserta didik untuk belajar lebih jauh disertai hati yang senang.
Dalam  pandangan  Ikhwan  al-Shafa  menganggap  metode bagian  dari  komponen  yang  dapat  menunjang  untuk  pencapaian tujuan  pendidikan.  Oleh  karena  itu  menurut  mereka  seorang pendidik  harus  memilih  metode  yang  dianggap  cocok  untuk menyampaikan materi dan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dalam  hal  ini  Ikhwan  al-shafa  menekankan  salah  satu  metode pembelajaran  adalah  metode  contoh  dan  tamsil  (perumpamaan), sebab  dengan  metode  ini  peserta  didik  lebih  cepat  untuk memahaminya.  Sehingga  peluang  besar  peserta  didik  itu  dengan mudah untuk mengamalkannya.
Dalam  proses  pendidikan,  metode  pembelajaran  yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa sangat baik untuk diterapkan oleh para pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan  kalau  kita  lihat  sejarah,  nampaknya  keberhasilan  Rasulullah Saw.  dalam  mendidik  para  sahabatnya,  rupanya  tidak  lepas  dari keteladanan Rasulullah SAW itu sendiri.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama yang disematkan pada sekelompok pemikir yang berwawasan liberal yang aktivitasnya menggali dan mengembangkan sains dan filsafat dengan tujuan tidak semata-mata hanya untuk kepentingan sains itu sendiri, melainkan untuk memenuhi harapan-harapan lainnya, seperti terbentuknya komunitas etika-religius dan mempersatukan berbagai kalangan dalam sebuah wadah yang selalu siap memperjuangkan aspirasi mereka. Informasi awal mengenai keberadaan mereka diperoleh dari buku harian miliki seorang cendekia, Abu Hayyan al-Tauhidi. Ia hidup pada masa Ikhwan berkiprah (1023). Dalam bukunya, al-Tauhidi seperti dikutip Atlas Budaya menyebutkan lima tokoh Ikhwan. Mereka adalah Zaid Ibnu Rifa’ah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyhar al-Bisti yang dikenal pula dengan nama al-Maqdisi, Abu Hasan Ali Ibnu Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Mihrajani, serta al-Awqali. Bukunya yang paling terkenal adalah Rasa;il al-Ikhwan al-Shafa.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa mengenai pendidikan ada sembilan yakni: Menuntut Ilmu adalah wajib; Mengajarkan Ilmu kepada orang lain adalah wajib; Tujuan Pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan; Kurikulum pendidikan harus mencakup filsafat, logika, ilmu jiwa, pengkajian kitab samai, kenabian, ilmu syariat dan ilmu-ilmu pasti; metode pengajaran dengan konsep konkrit kepada abstrak; sifat-sifat yang harus dimiliki seorang peserta didik; syarat-syarat yang harus dimiliki pecinta ilmu; sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pendidik; dan cara memperoleh ilmu pengetahuan.
Relevansi pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap perkembangan pendidikan yakni ada beberapa hal: mengenai tujuan pendidikan yang berorientasi kepada keagamaan dan budi pekerti, syarat-syarat seorang pecinta ilmu dan seorang pendidik, kurikulum pendidikan Islam dan metode pengajaran dengan tamsil (contoh).




DAFTAR PUSTAKA
Furqon Syarief Hidayatulloh, Relevandi Pemikiran Ikhwan Al-Shafa Bagi Pengembangan Dunia Pendidikan, Jurnal, Bogor: Ta’dib Vol. XVIII, No. 01 Edisi Juni 2013.
Himayatul Izzati, Pemikiran Pendidikan Ikhwan Al-Shafa, Jurnal Al-Muta’aliyah, Jurnal Pendidikan Islam, 2013.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 2018.
Sutrisno, Fazlur Rahman Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Yusuf Assidiq, Rasail Tak Hanya Membahasa Soal Filsafat, Tapi Juga Merangkum Ilmu Lainnya, Jurnal, Khazanah Republika, Agustus 2010.

PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN (PRAGMATIS – INSTRUMENTAL) TENTANG PENDIDIKAN DAN RELEVANSINYA DENGAN DUNIA MODERN


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagasan mengenai pendidikan Islam telah ada sejak zaman dahulu kala, bahkan ketika Rasulullah diutus sebagai Rasul dengan wahyu terbesarnya adalah Al-Quran. Akan tetapi konsep formal mengenai pendidikan Islam baru ada beberapa abad terakhir dengan begitu banyak munculnya tokoh-tokoh muslim yang mulai menggagas dan mengkritisi sistem pendidikan yang ada. Tidak dapat pergi dari filsafat, hal ini dikarenakan filsafat memiliki peranan penting dalam pendidikan. Sehingga aliran-aliran mengenai filsafat pendidikan muncul sebagai upaya dalam meluaskan jangkauan pendidikan Islam.
Ibnu Khaldun sebagai salah satu tokoh pembaharu pendidikan dengan aliran Pragmatis-Instrumentalnya, telah mengkritisi sistem pendidikan klasik yang kaku dan tidak fleksibel terhadap ilmu pengetahun. Kemudian muncullah para pembaharu Islam seperti Jamal al-Din Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1845-1905), Muhammad Iqbal (1873-1938) serta seorang tokoh pembaharu kontemporer yang terkenal adalah Fazlur Rahman dengan metode double movement (1919-1988).
Serangkaian pendapat Fazlur Rahman terhadap pembaharuan pendidikan Islam, merupakan terusan dari apa yang telah dikemukakan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, dan disempurnakan oleh Rahman dengan lebih baik.
Sehingga dalam hal ini, untuk mengetahui pemikiran serta pendapat Rahman tentang Pendidikan Islam dengan aliran filsafat Pragmatis Instrumentalnya, maka hal inilah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Biografi Fazlur Rahman?
2. Bagaimanakah Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Pendidikan Islam?
3. Bagaimanakah Keterkaitan Pemikiran Pembaharu Fazlur Rahman dengan Aliran Pragmatis Instrumental?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Biografi Fazlur Rahman
2. Untuk mengetahui Pemikiran Fazlur Rahman terhadap Pendidikan Islam
3. Untuk mengetahui Keterkaitan Pemikiran Pembaharu Fazlur Rahman dengan Aliran Pragmatis Instrumental.

BAB II
PEMBAHASAN

a. Biografi Fazlur Rahman
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara, (anak benua India) yang sekarang terletak di sebelah barat Laut Pakistan. Pertama-tama ia dididik dalam sebuah keluarga Muslim yang taat beragama. Seperti pengakuan Rahman sendiri, keluarganya mengamalkan ibadah sehari-hari seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa sunnah, mengaji al-Quran, mengeluarkan zakat, infaq shadaqah, dan lain-lain. Ayahnya, Maulana Sahab al-Din, adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal mengaji dan menghafal Al-Quran. Sehingga pada usia sepuluh tahun Rahman telah hafal Al-Quran seluruhnya. Menurut Rahman, selain faktor-faktor mengenai ketekunan ayahnya, ada hal lain yang telah mempengaruhi pemikiran keagamaan Rahman adalah dia dididik dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab Sunni yang lebih banyak menggunakan rasio (ra’yu) dibandingkan dengan mazhab Sunni lainnya. Selain itu, di India ketika itu telah berkembang pemikiran yang agak liberal seperti dikembangkan oleh Syah Waliullah, Sayid Ahmad Khan, Sir Sayid, Amir Ali dan Muhammad Iqbal.
Kemudian, pada tahun 1933, Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada Universitas Punjab. Kemudian dua tahun berikutnya (1942) ia berhasil menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di bawah bimbingan Prof. Van den Bergh dan H.A.R Gibb, Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai perkembangan pemikiran Fazlur Rahman dan Karya-karyanya. Perkembangan pemikiran dan karya-karyanya dapat diklasifikasikan dalam tiga periode, yaitu periode pembentukan (formasi), periode perkembangan, dan periode kematangan. Periode Pertama disebut periode pembentukan karena pada periode ini Rahman mulai meletakkan dasar-dasar pemikirannya dan mulai berkarya. Periode ini dimulai sejak Fazlur Rahman belajar sampai dengan menjelang kepulangan ke negerinya, Pakistan setelah mengajar beberapa saat di Universitas Durham, Inggris. Secara epistimologis pemikiran dan karya-karya Rahman pada periode ini didominasi oleh pendekatan historis. Yaitu suatu pendekatan yang melihat Islam bukan dari sisi al-Quran dan al-Sunnah secara ansich, melainkan Islam yang telah menjadi realitas dalam kehidupan baik secara individu maupun masyarakat.
Periode kedua disebut periode perkembangan karena pada periode ini Rahman mengalami proses menjadi, yaitu proses berkembang dari pertumbuhan menuju ke kematangan. Periode ini dimulai sejak kepulangan Rahman dari Inggris ke Pakistan sampai dengan menjelang keberangkatannya ke Amerika. Pada periode ini Rahman disibukkan oleh kedudukannya sebagai direktur lembaga riset Islam dan sebagai anggota dewan penasehat ideologi Islam pemerintah Pakistan. Dengan dua kedudukan tersebut, Rahman terdorong untuk mendefinisikan Islam kembali bagi Pakistan. Secara epistemologi pemikiran dan karya-karyanya pada periode ini beranjak dari pendekatan historis menuju pendekatan normatif. Maksudnya, Rahman berusaha memahami Islam (al-Quran dan al-Sunnah) untuk menyelesaikan problem-problem di Pakistan, misalnya dalam masalah keluarga berencana, riba dan bunga bank, sembelihan secara mekanis dan pendidikan.
Periode ketiga disebut periode kematangan karena pada periode ini Rahman betul-betul telah mencapai kematangan berpikir dan berkarya. Tidak seperti pada periode sebelumnya, pada periode ini Rahman memiliki kesempatan yang luar biasa. Ia memiliki ketenangan berpikir dan waktu yang luas. Periode ini dimulai sejak kedatangan Rahman di Amerika sampai kewafatannya tahun 1988. Secara epistemologis Rahman berhasil menggabungkan pendekatan historis dan normatif menjadi metode yang sistematis dan komprehensif untuk memahami Al-Quran, yang pada akhirnya disempurnakan menjadi metode suatu gerakan ganda (a double movement).




b. Pemikiran Rahman terhadap Pembaharuan dalam Pendidikan Islam
Masalah dalam pendidikan tidak secara tiba-tiba datang, akan tetapi melalui proses karena masyarakat terus belajar dan menemukan hal baru. Pendidikan tradisional menjadikan konsep pendidikan bersifat kaku dan mengikat. Pendidikan diartikan sebagai hal yang harus diterima secara bulat-bulat, tanpa ada kreativitas untuk mengembangkannya. Sistem belajar yang bersifat kaku mewajibkan siswa untuk menghafal tanpa harus dimengerti. Melalui beberapa permasalahan tersebut, Rahman mengemukakan beberapa pendapatnya mengenai pembaharuan dalam Pendidikan Islam.
1) Tujuan Pendidikan Islam
Al-Quran menjelaskan bahwa sebelum diciptakannya makhluk ini (yakni manusia), Allah Swt. Telah menyampaikan rencana penciptaan itu kepada Malaikat dan bahwa tujuannya adalah agar makhluk ini menjadi kalifah di bumi (QS. 2:31). Dari sini jelas pula bahwa hakikat keberadaan manusia dalam kehidupan ini adalah melaksanakan tugas kekhalifahan yakni membangun dan mengolah dunia ini sesuai dengan kehendak Ilahi. “Di dalam perjuangan ini”, kata Rahman, “Allah berpihak kepada manusia asalkan ia melakukan usaha-usaha yang diperlukan. Manusia harus melakukan usaha-usaha ini karena diantara ciptaan-cipitaan Tuhan ia memiliki posisi yang unik; ia diberi kebebasan berkehendak agar ia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi”. Misi inilah yang dimaksud Rahman adalah perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial bermoral di atas dunia yang dikatkan al-Qura’an sebagai ‘Amanah” (QS. 33:72).
“Tujuan-tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang dipakai sekarang ini tidaklah sepenuhnya memadai”. Sekalipun pemikir-pemikir seperti Iqbal telah mengkritik habis-habisan sistem pendidikan Barat sebagai mendehumanisasi dan membekukan jiwa manusia. Tetapi strategi pendidikan Islam yang ada sekarang ini, hematnya tidaklah diarahkan kepada suatu tujuan yang positif; dan lebih tepat bila dikatakan bahwa tampaknya strategi ini adalah strategi yang sangat bersifat defensif, yakni untuk menyelamatkan pikiran kaum muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional.
Dalam kondisi kepanikan spiritual ini, Rahman menyarankan bahwa strategi yang dikembangkan secara universal di seluruh dunia Islam adalah strategi yang bercorak mekanis; dengan proporsi yang bagaimana kita harus menggabungkan mata-mata pelajaran “baru” tertentu dengan mata pelajaran yang “lama: agar supaya ramuan yang dihasilkan dari percampuran ini akan “sehat dan bermanfaat” yakni bersifat kondusif terhadap manfaat-manfaat teknologi peradaban modern, tetapi sekaligus juga mampu membuang racun yang telah terbukti merusak jaringan moral masyarakat Barat.
Tujuan Pendidikan Islam belum mampu membentuk konsep yang sesuai dengan ilmu-ilmu keislaman. Dalam beberapa hal, Rahman mengkritik mengenai sistem pendidikan yang kaku dan tidak terbuka terhadap ilmu-ilmu modern, atau sering dikenal dengan ilmu-ilmu barat. Padahal sesungguhnya, ilmu-ilmu yang dianggap “barat” adalah ilmu-ilmu “Islam” yang telah dipelajari dan dikembangkan kembali oleh orang-orang barat. Sehingga, sangat penting bagi lembaga pendidikan Islam, untuk mengembangkannya diperlukan perpaduan ilmu-ilmu tradisional Islam dengan ilmu-ilmu modern yang lebih fleksibel dan terbuka terhadap kemajuan dan teknologi, dengan didampingi oleh Etika sebagai orang Islam yang ditanamkan dalam tujuan pendidikan Islam “Khalifah di bumi”.
2) Sistem Pendidikan
Dalam perkembangan pendidikan Islam, Rahman mencatat ada dua pendekatan dasar kepada pengetahuan modern yang telah dipakai oleh teoris-teoris muslim modern:
Pertama, bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang-bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran muslim, dimana sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.
Kedua, bahwa kaum muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh, tidak hanya teknologi Barat saja, tetapi juga intelektualismenya, karena tak ada satu jenis pengetahuan yang merugikan, dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudidayakan oleh kaum muslimin pada awal-awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh Eropa sendiri.
Rahman pernah menunjukkan sebuah contoh yang pernah diusahakan oleh Iqbal, untuk mencari sistem pendidikan yang akan menjadi kepribadian manusia tidak saja “berpengetahuan” tetapi juga kreatif dan dinamis. Iqbal selama ini, menurut Rahman, mengkritik sistem pendidikan kaum ulama ortodoks dan kaum sufi yang cenderung malah menjauhkan seseorang dari masyarakat, ia juga mengecam keras pengetahuan modern, yang baginya nampak hampir seluruh condong kepada teknologi dan materialisme dan bersifat merusak nilai-nilai manusia yang lebih tinggi. Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqh, kalam, tafsir dan hadist.
3) Anak Didik
Bagi Rahman, ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu dari Allah Swt. Namun akibat pandangan dan belum berhasilnya menumbangkan dikotomi anatar ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum maka anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam benar-benar mengalami permasalahan cukup serius. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality ). Bahkan salah satu murid Rahman, Ahmad Syafi’I Ma;arif mengatakan semua itu mengakibatkan munculnya pribadi-pribadi yang pecah dalam masyarakat Islam serta berdampak lebih jauh terhadap lahirnya anak didik yang tidak memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Perubahan dan perkembangan zaman, menuntut untuk melahirkan sikap kritis dan kreatif. Hal ini disampaikan Rahman bahwa kritis dan kreatif manusia berlaku pada hal penciptaan yang berjalan secara terus menerus, yaitu mengubah suatu bentuk ke bentuk lain. Hal ini meliputi semua aspek kehidupan manusia, tak terkecuali ilmu pengetahuan, pemikiran dan pendidikan.
Pada awalnya, sikap kritis dan kreatif diperlukan adalah yang memungkinkan peserta didik berani dan memiliki rasa percaya diri untuk memahami wahyu secara langsung. Mereka tidak lagi menganggap bahwa hasil pemahaman ulama terhadap wahyu, pada masa lalu itu merupakan hasil final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan datang. Hasil-hasil ijtihad ulama masa lalu yang cocok untuk mengatasi persoalan pada waktu itu, belum tentu cocok untuk mengatasi persoalan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu mereka harus senantiasa melakukan ijtihad guna untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi masing-masing. Kondisi semacam ini akan terpilih dengan baik, selama pendidikan umat Islam selalu berhasil melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi kritis dan kreatif.
Tujuan dikembangkannya daya kritis dan kreatif dalam pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan output yang kritis dan kreatif. Atau dengan kata lain, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan anak didik yang kritis dan kreatif paling tidak mempunyai tiga ciri menonjol yaitu: (1) mempunyai pemikiran asli atau orisinil (originality), (2) mempunyai keluwesan (flexibility), (3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluencyI). Dengan tiga ciri utama ini, mereka akan mampu menghasilkan sesuatu yang tidak sederhana dan berbeda dari yang lain.
Untuk mengatasi masalah anak didik yang tidak memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam, Rahman mengemukakan beberapa pendapat untuk mengatasinya. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran al-Quran melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang. Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik. Kebutuhan akan kajian kritis atas masa lampau Islam intelektual menjadi semakin mendesak, menurut Rahman karena disebabkan oleh adanya kompleks psikologi yang telah tumbuh dalam diri kita (umat Islam) dalam menghadapi Barat, lalu kita mempertahankan masa lampau tersebut dengan sepenuh jiwa.
Metode pembelajaran yang dapat menghasilkan alumni yang kritis dan kreatif adalah metode double movement. Metode ini terdiri dari gerakan ganda yaitu gerakan dari guru ke murid dan gerakan dari murid ke guru. Dalam proses pembelajaran diharapkan tidak hanya ada gerakan tunggal, yaitu gerakan dari guru ke murid, tetapi harus ada juga gerakan dari murid ke guru, bahkan kalau perlu ada juga gerakan di antara sesama murid. Lebih lanjut metode ini akan dapat mengangkat posisi murid dari posisi sekedar objek menjadi posisi subjek dalam pendidikan.
4) Pendidik
Rahman mengatakan dalam bukunya Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual,
“Problem utama yang dihadapi oleh sistem pendidikan Islam yang baru dilembagakan adalah, tentu saja masalah tenaga pengajar. Kebanyakan ulama dari generasi yang tua telah meninggal dunia, dan sedikit yang masih hidup dari mereka sudah sangat tua. Dalam skala luas, di pedesaan tidaklah sulit mendapatkan cukup tenaga pengajar yang memenuhi syarat untuk mengajar sekolah-sekolah agama ditingkat rendah, tetapi guru-guru ditingkat lanjutnya hampir tidak ada sama sekali”.
Hal ini diungkapkan Rahman mengenai kurangnya tenaga pendidik yang memenuhi kualifikasi sebagai salah satu faktor lambatnya perkembangan pendidikan Islam di dunia. Seperti halnya kita ketahui bahwasannya guru merupakan poros dari ilmu pengetahuan yang nantinya akan disalurkan kepada peserta didik. Kurangnya pemerintah dalam mensejahterakan guru menjadi permasalahan pada masa sekarang, dan telah dijelaskan Rahman pada puluhan tahun silam.
Rahman juga menuliskan bahwa pembaharuan ini dihadapkan pada lingkaran setan dalam hal bahwa di satu pihak, kecuali bila guru-guru yang memadai diperoleh, yang memiliki pikiran-pikiran yang sudah terpadu dan kreatif, makan pengajaran akan tetap tinggal mandul sekalipun murid-murid mempunyai kemauan dan bakat, sementara dilain pihak, guru-guru seperti itu tidak akan bisa dihasilkan dalam skala yang mencukupi kecuali bila diciptakan kurikulum yang terpadu secara substansial.
Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Kedua, mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar pada bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-pusat studi keislaman di luar negeri khususnya Barat. Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu ia menjabat sebagai direktur Institut Pusat Penelitian Islam (1962-1968) Pakistan. Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka ke dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial serta memberi mereka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti hadis, dan yurisprudensi Islam. Kelima, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Disamping menulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.


5) Sarana Pendidikan
Sarana pendidikan berupa gedung, perpustakaan serta lainnya amat erat hubungannya dengan mutu sekolah. Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan Islam sejak jaman dahulu sudah mengetahui pentingnya alat-alat dan sarana tersebut bagi peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ini, Rahman beranggapan bahwa perpustakaan menjadi salah satu sarana yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan, akan tetapi masih kurang sekali perpustakaan yang memadai untuk media pembelajaran anak didik.
Atas pengamatan yang dilakukan oleh Rahman, beberapa negara Islam yang dikunjunginya menunjukkan bahwa keadaan perpustakaan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut masih belum memadai terutama jumlah buku buku-bukunya. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sangat minim jumlahnya, terutama buku-buku yang berbahasa Arab dan buku-buku yang berbahasa Inggris. Untuk mengatasi masalah tersebut, Rahman mengusulkan fasilitas perpustakaan harus dilengkapi dengan buku-buku yang berbahasa Arab dan buku-buku dengan bahasa Inggris.
Buku merupakan media terpenting dalam perkembangan intelektual Islam. Dengan membaca buku-buku, jendela wawasan dan keilmuan akan semakin bertambah dan meluas. Sehingga, kaum intelektual dapat terus bertambah serta menciptakan karya-karya baru demi kemajuan pendidikan Islam. Sehingga dalam hal ini, kemauan untuk membaca buku bagi kalangan muslim, mampu meningkatkan mutu diri dengan berbagai macam pengetahuan yang tidak hanya memuat ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu modern yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.
c. Pragmatis Instrumental (al-Mazhab al-Zara’iyah) Fazlur Rahman
Kriteria dari aliran ini adalah
(1) Memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunah dengan tidak melepaskan diri dan tetap mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya atau sosiologis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya.
Dalam artikel “Some Reflection on The Recontruction of Muslim Society in Pakistan”, Rahman mengemukakan beberapa pemikiran terkait dengan pembangun kembali masyarakat Muslim Pakistan dari sudut pandang Al-Quran dan Sunnah. Baginya, tujuan Islam menciptakan suatu tata sosio-moral yang sehat dan progresif. Untuk tujuan ini, Al-Quran telah meletakkan beberapa prinsip organisasi sosial, seperti keadilan sosial, tolong menolong, persaudaraan, dan pengorbanan diri demi kemaslahatan umum. Persamaan manusia merupakan esensi paling mendasar dari ajaran ini karena tujuan Islam itu tidak mungkin direalisasikan kecuali jika kemerdekaan manusia sejati dan kebebasannya dari segala bentuk eksploitasi dijamin.
Dalam artikelnya yang berjudul “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problems”, Rahman mengemukakan berbagai pemikiran sehubungan dengan pendidikan di Pakistan dari sudut pandang Al-Quran dan Sunnah. Pemikiran ini meliputi tujuan pendidikan, hakikat pengetahuan,  problem pendidikan, dan berbagai solusi atas problem pendidikan di Pakistan. Baginya tujuan pendidikan menurut Al-Quran adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan bagi manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.
Dalam artikel yang sama, Rahman juga mengemukakan sumber pengetahuan menurut Al-Quran. Menurut Rahman, seluruh pengetahuan itu didasarkan kepada tiga sumber, yaitu (a) physical universe (alam fisik), (b) constitusional of the human mind (konstitusi pikiran manusia), dan (c) historical studies of societies (studi sejarah sosial). Ilmu pengetahuan menurut Rahman memiliki beberapa karakter, yaitu semua ilmu pengetahuan diperoleh melalui observasi dan eksperimen, ilmu pengetahuan selalu berkembang dan dinamis, dan ilmu pengetahuan merupakan satu kesatuan organik.
(2) konsep pendidikan (Islam) selalu memperhatikan kemanfaatan praktisnya
Kemanfaatan praktis dari pendidikan sendiri adalah implementasinya. Apakah pendidikan tersebut dapat bermanfaat terhadap kehidupan peserta didik dan lingkungannya, seperti halnya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi. Rahman menegaskan dalam hal ini, mengenai manfaat pendidikan Islam sendiri harusnya mampu membuat anak didik berfikir kritis dan kreatif, serta pendidikan dapat berguna dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi.
Sehingga pendidikan tidak hanya sebagai bentuk formalitas untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang berpendidikan, akan tetapi pendidikan harus mampu memberikan manfaat praktis kepada orang-orang yang ikut serta dalam pendidikan, khususnya mengenai permasalahan-permasalahan pribadi yang membutuhkan nalar dan akal untuk diselesaikan. Dalam hal ini, Rahman juga mengindahkan pembentukan etika dan akhlak sebagai bagian dari perkembangan dan penyempurnaan pendidikan Islam. Sehingga manfaat praktis pendidikan dapat di implementasikan di luar ruangan kelas atau sekolah formal dan nonformal.
(3) sisi wilayah jangkauannya, selain pemikiran filsafat yang bersifat universal yang dapat diaplikasikan untuk semua tempat, keadaan dan zaman, juga memungkinkan bersifat lokal yang khusus untuk tempat, keadaan, dan zaman tertentu saja.
Pada poin ini, Rahman berpendapat bahwa pembaharuan Islam adalah cara untuk memecahkan masalah dan mencari jalan keluar yakni dengan cara pendidikan. Ia menandaskan model pembaharuan apapun dalam Islam tidak akan pernah mencapai apa yang diharapkan bila tanpa keterlibatan pendidikan di dalamnya. Dalam hal ini Rahman menyebutkan tiga masalah yang mendasar. Pertama, Pendidikan di dunia Muslim pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pendidikan di zaman kolonialis. Kedua, pendidikan pada lembaga-lembaga keagamaan tradisional, jika tidak disesuaikan secara cepat akan menemui kehancuran atau minimal akan mengalami kemunduran. Ketiga, pendidikan modern, dalam arti yang berkaitan dengan profesi teknologi telah mengambil posisi prestise yang dahulu dimiliki pendidikan tradisional.
Rahman juga menegaskan untuk membedakan antara Islam sejarah dengan Islam normatif. Dengan itu diharapkan akan tergambarkan dengan jelas konsep al-Quran yang sebenarnya mengenai ilmu pengetahuan, dan pada tataran praktis, sikap yang ditunjukkan umat Islam (sepanjang sejarah) terhadap ilmu pengetahuan. Berdasarkan pembedaan ini Rahman menyarankan adanya suatu rekonstruksi yang sistematis terhadap ilmu-ilmu Islam, yang menangkap pesan dasar ajaran al-Quran.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah Hazara, (anak benua India) yang sekarang terletak di sebelah barat Laut Pakistan. Ayahnya, Maulana Sahab al-Din, adalah seorang alim terkenal lulusan Deoband. Ayahnya memperhatikan Rahman dalam hal mengaji dan menghafal Al-Quran. Sehingga pada usia sepuluh tahun Rahman telah hafal Al-Quran seluruhnya. Pada tahun 1933, Rahman melanjutkan studinya ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan B.A.-nya dalam bidang bahasa Arab pada Universitas Punjab. Kemudian dua tahun berikutnya (1942) ia berhasil menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama pada Universitas yang sama pula. Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di bawah bimbingan Prof. Van den Bergh dan H.A.R Gibb, Rahman menyelesaikan program Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibn Sina.
Pembaharuan yang dilakukan Rahman adalah dengan konsepnya yang luar biasa disebut double movement yaitu selain integrasi ilmu-ilmu tradisional dan modern, Rahman juga menggagas mengenai hubungan timbal balik antara murid dengan guru, dan guru dengan murid dalam pendidikan. Selain itu beberapa pembaharu pemikiran Islam yang dimulai dari Tujuan Pendidikan, Konsep Pendidikan, Pendidik, Anak didik, serta sarana dan prasarana yang harus dipenuhi.
Kriteria dari aliran Pragmatis instrumental ini adalah (1) Memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunah dengan tidak melepaskan diri dan tetap mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya atau sosiologis masyarakat setempat dimana ia turut hidup di dalamnya. (2) konsep pendidikan (Islam) selalu memperhatikan kemanfaatan praktisnya. (3) sisi wilayah jangkauannya, selain pemikiran filsafat yang bersifat universal yang dapat diaplikasikan untuk semua tempat, keadaan dan zaman, juga memungkinkan bersifat lokal yang khusus untuk tempat, keadaan, dan zaman tertentu saja


DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Abu Muhammad, Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter, (Yogyakarta:
Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2018).
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung:Penerbit
Pustaka,  2005).
Sutrisno, Fazlur Rahman (Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Outsourcing Sumber Daya Manusia

Outsourcing Sumber Daya Manusia Oleh: Cahyani Susan Latar Belakang Masalah Semakin pesatnya perkembangan bisnis saat ini menuntut p...