BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala tatanan yang ada di setiap negara diatur oleh hukum serta undang-undang yang berlaku. Sistem birokrasi tidak serta merta bertindak dan berjalan tanpa memperhatikan berbagai variabel-variabel pendukung dalam menjalan kebijakan. Hal ini dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan mampu mencapai tujuan yang telah disusun secara bersama-sama. Dalam sistem birokrasi organisasi, hubungan antar rekan dan teman sejawat memiliki arti yang penting dalam meningkatkan kekompakan dan kemajuan tim. Sehingga kebijakan yang dijalankan dapat diemban dan dievaluasi secara bersama-sama.
Akan tetapi dalam praktiknya, masih banyak kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh sistem birokrasi membawa dampak cukup serius dalam tatanan kehidupan suatu negara. Kebijakan yang awalnya dibuat sebagai sebuah pengharapan dalam memudahkan pekerjaan masyarakat, malah memberikan efek buruk dan memberatkan bagi beberapa pihak ataupun golongan masyarakat yang terkait. Inilah mengapa implementasi kebijakan sebagai ranah publik harus dipelajari secara matang, agar tidak terjadi lagi kebijakan-kebijakan memonopoli lainnya yang memberatkan masyarakat umum sebagai penerima kebijakan. Dalam hal ini teori-teori kebijakan secara implementasi serta pengevaluasiannya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teori implementasi kebijakan publik?
2. Bagaimanakah perspektif implementasi kebijakan publik?
3. Bagaimanakah model-model implementasi kebijakan publik?
4. Bagaimanakah kriteria pengukuran dan evaluasi implementasi kebijakan publik?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian teori implementasi kebijakan publik
2. Untuk mengetahui perspektif implementasi kebijakan publik
3. Untuk mengetahui model-model implementasi kebijakan publik
4. Untuk mengetahui kriteria pengukuran dan evaluasi implementasi kebijakan publik
D.
1. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis implementasi kebijakan tentang konservasi energi adalah teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Ke empat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuan kita adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan. Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.
Faktor –faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut :
a. Komunikasi
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. Sumber daya
Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.
Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.
Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
c. Disposisi atau sikap
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:
1) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
2) Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana;
3) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);
4) Vitalitas suatu organisasi;
5) Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;
6) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan. Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.
2. Model Kebijakan Implementasi Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu:
1) Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan
2) Sumber daya
3) Karakteristik organisasi pelaksana
4) Sikap para pelaksana
5) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut:
a. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
b. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.
c. Sumber daya menunjukkan kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan. Hal sulit yang terjadi adalah berapa nilai sumber daya (baik finansial maupun manusia) untuk menghasilkan implementasi kebijakan dengan kinerja baik. Evaluasi program/kebijakan seharusnya dapat menjelaskan nilai efisien.
d. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program. Komunikasi ini harus ditetapkan sebagai acuan, misalnya: seberapa sering rapat rutin akan diadakan, tempat dan waktu. Komunikasi antar organisasi juga menunjukkan adanya tuntutan saling dukung antar instansi yang berkaitan dengan program/kebijakan. Dalam contohnya yaitu koordinasi antar kelompok pendamping, LKMD, kepala desa dan aparat desa telah berhasil meyakinkan dan menjelaskan dengan baik arti penting IDT, sehingga kelompok sasaran mampu memahami dan bertanggung jawab atas program yang dijalankan.
e. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.
f. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik menunjukkan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.
g. Sikap pelaksana, menunjukkan bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias, dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.
3. Model Komunikasi dari Implementasi Kebijakan Antar-Pemerintah (The Communication Model of Intergovern-Mental Policy Implementation) – Goggin, Bowman, Lester dan O’Tole.Jr
Goggin bersama Bowman, Lester dan O’Tole dalam bukunya mengemukakan bahwa kandidat teori baru dari implementasi kebijakan. Sebelum mengemukakan teorinya mereka menyatakan bahwa sampai buku tersebut ditulis, terdapat dua generasi kajian implementasi. Generasi pertama adalah yang digagas oleh Jeffery Pressman’s dan Aaron Wildavsky’s (1973) yang mengkritisi teori implementasi secara atheoretical (tidak membentuk teori) kasus perkasus secara spesifik dan non kumulatif. Gagasan-gagasanya adalah:
a. Mengelola untuk menggeser fokus dari bagaimana rancangan undnag-undang menjadi hukum, menjadi bagaimana hukum menjadi sebuah program.
b. Mendemostrasikan kekomplekan dan kondisi asli yang dinamis dari implementasi.
c. Menitikbertakan pentingnya sebuah sub sistem kebijakan dan kesulitan tentang sebuah subsistem berkreasi membentuk koordinasi dan pengawasan.
d. Mengidentifikasi beberapa faktor yang terlihat untuk bertanggung jawab atas hasil program.
e. Mendiagnosis beberapa ancaman penyakit yang mewabah secara periodik pada aktor-aktor implementasi kebijakan.
Generasi kedua adalah generasi yang secara unik memberikan kontribusi kepada pembangunan kerangka analitis untuk memandu penelitian pada kekomplekan fenomena dari implementasi kebijakan. Meskipun generasi kedua ini mengemukakan banyak kategori dari variabel-variabel yang berbeda, semua studi dari generasi kedua ini berfokus kepada variabel yang sama untuk memprediksi:
a. Bentuk dan isi kebijakan
b. Organisasi dan sumber daya
c. Rakyat atau masyarakat, kemampuan mereka, motif, predisposisi, hubungan interpersonal mereka, termasuk didalamnya corak komunikasi yang dibangun.
Generasi kedua ini dikenal sebagai generasi yang secara terdepan mengembangkan kajian pengembangan kerangka kerja implementasi kebijakan dengan memberikan kontribusi pada area ini adalah:
a. Memperkenalkan implementasi sebagai kajian yang melewati batas waktu, lintas kebijakan dan dari satu negara ke negara lain.
b. Mengidentifikasi kandidat yang disukai untuk menjelaskan berbagai variasi .
c. Mengkonfrontasikan permasalahan-permasalahan yang sulit menemani proses dari penelitian empirik.
Secara keseluruhan buku Goggin hendak menyampaikan beberapa hal yaitu:
a. Mengintegrasikan teori dan pekerjaan empiris
b. Mengusulkan satu perspektif bagaimana implementasi mengambil tempat
c. Mendiskusikan perspektif ini dalam konjungsi dengan tiga implementasi kebijakan yang telah selesai- periode diperluas sehingga mencakup seluruh Negara Amerika.
d. Menggambar theori komunikasi untuk menghubungkan perspektif dan ranah kebijakan kepada suatu set dari proposisi-proposisi.
e. Menempatkan satu kesatuan dari konseptual dan nilai isu-isu dan dengan cara itu menawarkan satu jembatan kebijakan.
Buku inilah yang disampaikan oleh Goggin sebagai generasi ketiga dengan kandidat model dan teori implementasi: Model Komunikasi dari Implementasi Kebijakan Antar Pemerintah.