BAB 1
PEMBAHASAN
Jika
berbicara mengenai Gender, maka sebagian orang akan berfikir mengenai
ketidaksamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, dimana perempuan sebagai
korban dalam teori Gender. Dalam keyakinan masyarakat zaman dahulu, ada
beberapa yang masih menganut sistem Gender. Wanita tidak boleh sekolah terlalu
tinggi, dan pekerjaan utamanya adalah mengurus rumah dan memasak di dapur.
Tidak ada kebebasan dalam pilihan hidup yang sebenarnya para kaum wanita
inginkan. Selain dari pernyataan tersebut, ada juga pemahaman ketika
membicarakan mengenai Gender. Memiliki arti yang sama dengan berbicara sekitar
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apabila hal ini dikaitkan dengan islam
maka pada prinsipnya dapat disebut sama dengan berbicara sekitar
kemitrasejajaran lai-laki dan perempuan. Sebab dalam islam secara prinsip,
hubungan kedua jenis kelamin ini adalah sejajar dihadapan Allah (khaliq).
Lalu
sebenarnya apa yang disebut dengan Gender?. Gender di definisikan sebagai jenis
kelamin ( sex ) serta peran manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam
melakukan tindakan sosial tanpa membedakan jenis kelamin. Tetapi kemudian bisa
menjadi pengertian yang dipahami masyarakat awam. Gender adalah atribut yang
dilekatkan secara kultural maupun sosial kepada perempuan maupun laki-laki.
Misalnya perempuan itu harus lemah lembut, anggun, feminim. Sedangkan laki-laki
harus maskulin dan keras.
A.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
GENDER
-
Webster’s
New World Dictionary, jender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan
tingkah laku.[1]
-
Women’s
Studies Encyclopedy, jender adalah konsep
yang bersifat budaya yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuanyang
berkembang dalam masyarakat.
-
Menurut Nasruddin Umar,
beliau tidak setuju apabila jender diartikan sebagai jenis kelamin karena kata
sex juga berarti jenis kelamin. Menurut beliau pula, kata jender adalah kosa
kata baru yang belum ditemukan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
-
Menurut Mansour Fakih,
jender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi
secara sosial maupun cultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, keibuan.
Tetapi ada juga yang rasional, kuat dan perkasa.
Oleh
Oakley (1972), dalam karyanya Gender, Sex
and Society, seperti dikutip Mansour, mendefinisikan Gender dengan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial bukan
berdasar biologi dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan sex adalah perbedaan
berdasarkan sex (biologi) karena kodrat Tuhan. Karena itu gender bisa berubah
dari waktu ke waktu, dari satu tempat ketempat lain. Sementara biologi ( sex )
tetap sama. Dengan sendirinya, kalau perbedaan sex berarti kodrati, karenanya
perbedaanya permanen. Sementara gender tidak kodrati karenanya tidak permanen.
Dengan ungkapan yang berbeda, Caplan ( 1987 ) dalam bukunya The Cultural Contruction of Sexuality
menyebut, perbedaan antara laki-laki dn perempuan bukan sekedar biologi, namun
secara sosial dan kultural.
Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan beberapa hal, diantaranya: dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial dan kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang tersebut maka
pada akhirnya disebut kodrat.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan gender dapat terbentuk. Dibawah ini ada empat
teoritik yang di eksplorasi dari beberapa hal yang melandasi terbentuknya
pemahaman akan pentingnya memahani gender yaitu:
1).
Melalui sosialisasi
2).
Aparat ideologis
3).
Melalui pebedaan
4).
Penindasan (represi melalui praktik disiplin dan wacana)
Ada
sejumlah nash yang berbicara tentang kemitraan kesejajaran perempuan dan
laki-laki yang dapat dikelompokkan minimal menjadi delapan, yakni :
1).
Statment umum tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan
2).
Asal usul
3).
Amal
4).
Saling kasih dan mencintai
5).
Keadilan dan persamaan
6).
Jaminan sosial
7).
Saling tolong menolong
8).
Kesempatan mendapatkan pendidikan
Gender
mainstreaming, strategi mutakhir
gerakan perempuan dunia menggugat. Strategi gerakan perempuan untuk mewujudkan
keadilan sosial yang sejati dari perspektif kaum perempuan pada dasarnya telah
ditempuh melalui berbagai strategi. Semuanya dilakukan untuk memperjuangkan
kaum perempuan di dalam mendapatkan hak-hak sosial dan budayanya atas
superioritas kaum laki-laki. Dari situlah sebenarnya gerakan itu dimulai,.
Adapun strategi yang dimaksudkan adalah:[2]
a).
Meningkatkan peran wanita atau konkretnya melibatkan kaum wanita dalam
pembangunan, ini sekitar 1970-an. Diskursus ini dikenal dengan Woman in Development (WID).
b).
Melahirkan cara pandang baru yakni Gender And Development (GAD) dan ini
dianggap alternatif WID.
c).
Gender Mainstreaming, yang mengagendakan strategi percepatan terciptanya
pemberdayaaan suatu keadilan gender di mayarakat luas.
Dari
berbagai strategi yang dilakukan, pendek kata, semuanya untuk membangun apa
yang disebut dengan kesetaraan gender. Kesetaraan gender dimaksudkan agar
kedudukan laki-laki dan perempuan sudah tidak dalam ruang subordinasi lagi,
baik di wilayah domestik maupun publik.
Adapun
bentuk ketidakadilan karena gender adalah :
·
Marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi
·
Subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik
·
Pembentukan stereotip
atau melalui pelabelan negatif
·
Kekerasan ( violence)
·
Beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak
·
Serta sosialisasi
ideologi nilai peran gender
Dengan
ungkapan lain, ada 5 teori yang dapat digunakan dengan menggunakan pendekatan
atau analisis gender, yaitu:
1. Marginalisasi
( peminggiran )
2. Subordinasi
( penomor duaan / pembawahan )
3. Pembentukan
stereotipe ( pelabelan negative)
4. Kekerasan
5. Beban
kerja
Sebab-sebab
lahirnya konsep bias jender dalam islam sebagai berikut.
A. Belum
ada kesadaran pentingnya perbedaan nash.
B. Normatif
- universal.
C. Praktis
- temporal.
D. Penggunaan
studi islam yang parsial.
E. Sejumlah
nash memarjinalkan wanita. Sebagai akibat penggunaan parsial.
F. Budaya
– budaya muslim merasuk terhadap ajaran islam.
G. Generalisasi
(mengambil hukum umum) dari kasus khusus.
H. Hukum
sebagai produk hukum penetapan berdasarkan siyasah al – syar’iyah.
I. Kajian
islam yang literalis dan ahistoris (tekstual).
J. Peran
kekuasaan (penguasa).
K. Kajian
islam dengan pendekatan agama murni.
L. Dominasi
teologi laki – laki dalam memahami nash.
Berbicara
mengenai pendekatan gender kurang lengkap sebelum membicarakan pendekatan
feminis. Sebab dapat dikatakan bahwa gender itu sendiri adalah bagian dari
feminis, diantaranya yang terpenting ada 4 yakni :
Ø Feminisme
liberal
Feminisme liberal adalah teori yang
beranggapan bahwa latar belakang dan ketidakmampuan kaum wanita bersaing dengan
laki-laki adalah karena kelemahan kaum wanita sendiri, yaitu akibat kebodohan
dan irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Maka akar
kebebasan ( freedom ) dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara hidup dan privat publik.
Ø Feminisme
Radikal
Yaitu teori yang berpendapat bahwa akar
penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah jenis kelamin itu sendiri ( biologi ) dan ideologi patriakirnya. Dengan
ungkapan lain, penindasan terhadap wanita terjadi karena dominasi laki-laki
terhadap perempuan dan adanya kepercayaan di masyarakat bahwa laki-laki memang
lebih mampu dari pada perempuan
Ø Feminisme
Marxisme
Adalah aliran yang berpendapat bahwa
penyebab penindasan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan
produksi, dan penindasan merupakan kelanjutan sistem eksploitasi yang bersifat
struktur. Karena itu, mereka berpendapat, patriarki atau kaum laki-laki bukan
permasalahan seperti yang dipegang kelompok radikal, tetapi sistem kapitalis.
Maka penyelesaiannya adalah harus bersifat struktural, yaitu dengan melakukan
perubahan struktur kelas. Perubahan struktur kelas inilah yang mereka sebut
sebagai proses revolusi. Perubahan struktural belum cukup karena perempuan
masih dirugikan dengan tanggung jawab domestik. Jalan keluarnya adalah urusan
rumah tangga ditranformasikan menjadi urusan sosial, dan urusan menjaga,
mendidik dan membesarkan anak menjadi urusan publik. Dengan perspektif ini
diyakini emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam
produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.
Ø Feminisme
Sosial
Menurut teori ini sumber ketidakadilan
adalah karena penilaian dan anggapan terhadap perbedaan biologi laki-laki dan
perempuan (kontruksi sosial). Maka yang diperangi feminisme sosial adalah kontruksi
visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang dibangun atas bias
gender.
Ø Feminisme
islam
Menurut teori ini islam memberikan
kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan karya ( amal).
Karena sesungguhnya, Allah melihat derajat manusia dari segi ketaqwaannya
kepada Allah SWT. Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan
yang telah ditentukannya. Kemudian menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai
pedoman dalam menjalankan kehidupan. Bahkan dalam islam sangat menjunjung
tinggi perempuan. Walaupun ada surat dalam Al-Quran yang menyebutkan bahwasanya
laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Namun, apabila dilihat dari sisi
ilmiah maksud dari ayat tersebut bahwa, kaum laki-laki sebagai pelindung kaum
wanita karena kemulyaannya dalam agama islam. Bahkan Rasulullah mengatakan
surga berada di bawah telapak kaki ibu. Apakah tidak benar-benar terlihat
bagaimana islam benar-benar memuliakan wanita.
Dalam
kehidupan, gender sangat erat hubungannya dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Abdurrahman
Wahid menegaskan, bahwa manusia mempunyai posisi yang tinggi dan kasmologi,
sehingga ia harus diperlakukan secara profesional padda posisi yang mulia.
Sebelum seorang individu dilahirkan dan setelah meninggal dunia, dia memiliki
hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi oleh hukum. Karena manusia mempunyai
hak dan kemampuan untuk menggunakannya. Allah menjadikannya Khalifah-Nya di
muka bumi.
Sebagaimana
telah ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Isra’ ayat 70, “ Dan sesungguhnya telah kami angkat mereka di daratn dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Ahmad
Syafi’i Ma’arif mencatat bahwa ada beberapa kemuliaan yang dianugerahkan Allah
SWT kepada manusia, sehingga mengakibatkan dirinya diangkat-Nya menjadi
khalifah di muka bumi.
1.
Karamah
Fardiyah (kemuliaan individu)
Yang memiliki pengertian bahwa islam
melindungi aspek kehidupan manusia seutuhnya. Terlihat sekali menjelaskan bahwa
perbedaan gender bukan merupakan hal yang baik dan islam sendiri melindungi hak
setiap manusia tanpa pandang buluh dalam artian ( Taqwa).
2. Karamah Ijtima’iyah
( kemuliaan kolektif)
Yang mempunyai pengertian islam menjamin
sepenuhnya persamaan diantara individu-individu kecuali prestasi, iman dan
taqwanya.
Yang memiliki pengertian islam meberikan
hak politik individu untuk memilih sekaligus menetukan nasib ataupun posisi
dirinya sebagai wakil Allah.
Berkaitan
dengan Al-Quran surat Al-Isra’ ayat 70 dan kedua pendapat diatas maka dapat
ditegaskan disini bahwa islam sejak awal sudah memberikan hak-hak pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk didalamnya secara implisit
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai hak dasar manusia yang
dianugerahkan Allah SWT padanya. Yang disini dapat disimpulkan menjadi tiga
prinsip:
a. Persamaan
manusia
b. Martabat
manusia
c. Kebebasan
manusia
B.
Identifikasi
ayat-ayat gender
Ayat-ayat gender ialah ayat-ayat
yang berbicara status dan peran laki-laki dan perempuan. Kata kunci yang dapat
dipegang untuk mengetahui ayat-ayat gender ialah semua istilah yang sering
digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan seperti kata, al-rijal dan an-nisa, al-zakar dan al-untsa,
al-imru dan al-mar’ah, az-zauj dan az-zaujah.
Kata
an-Nisa dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an
dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut:
1. An-Nisa
dalam arti gender perempuan, seperti
a. QS.
An-Nisa / 4:7
ÉA%y`Ìh=Ïj9Ò=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#tbqç/tø%F{$#urÏä!$|¡ÏiY=Ï9urÒ=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#cqç/tø%F{$#ur$£JÏB¨@s%çm÷ZÏB÷rr&uèYx.4$Y7ÅÁtR$ZÊrãøÿ¨BÇÐÈ
7.
bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. QS.
An-Nisa / 4:32
wur(#öq¨YyJtGs?$tB@Òsùª!$#¾ÏmÎ/öNä3Ò÷èt/4n?tã<Ù÷èt/4ÉA%y`Ìh=Ïj9Ò=ÅÁtR$£JÏiB(#qç6|¡oKò2$#(Ïä!$|¡ÏiY=Ï9urÒ=ÅÁtR$®ÿÊeEtû÷ù|¡tGø.$#4(#qè=t«óur©!$#`ÏBÿ¾Ï&Î#ôÒsù3¨bÎ)©!$#c%2Èe@ä3Î/>äó_x«$VJÎ=tãÇÌËÈ
32.
dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Kata
an-nisa menunjukkan gender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak
semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki.
Melainkan berkaitan erat dengan realitas gender yang ditentukan oleh faktor
budaya yang bersangkutan. Ada atau
tidaknya warisan ditentukan oleh keberadaan seseorang. Begitu seseorang
lahir dari kalangan muslim yang sah, apapun jenis kelaminnya, dengan sendirinya
langsung menjadi ahli waris. Sementara itu, besar kecilnya porsi pembagian
peran ditentukan oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini
ditentukan oleh usaha yang bersangkutan (mimmaktasabna
dan iktasabu).
C.
Teologi
Feminis Dan Dominasi Patriakhis Dalam Islam
Patriakhis
yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan
anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga,
harta dn sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan ( R.A Sydie.
1999). Dalam relasi sosial suproritas laki-laki juga mengendalikan norma dan
hukum kepantasan secara sepihak. Dalam catatan sejarah (patriakhi), perempuan
dipandang sebagai makhluk inferior, emosional dan kurang akalnya. Pytagoras pernah
menuliskan bahwa “The good principle
cretes order, light, the man. The evil principle creates chaos, darkness and
the woman” ( Paul Efdokimov. 1994 : 168). Kentalnya budaya patriakhi
seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan
untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan berbasis etnik, ras,
agama maupun gender. Setelah para utusan Tuhan pewarta wahyu wafat maka secara
berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh nilai-nilai
patriakhis.[4]
Budaya
patriakhis terjadi karena adanya dominansi kelompok tertentu terhadap kelompok
lain. Kelmpok pertama tidka saja berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua,
tetapi juga menetukan ideologi budaya yang melanggengkan kebudayaanya. Mereka
mengkontruksi nilai, norma dan moralitas yang mempertinggikan kedudukan mereka
dalam komunitas yang mereka kuasai. Pada mulanya kekuasaan ini ditegakkan
berdasarkan pad kekuatan fisik, misal laki-laki terhadap perempuan, laki-laki
dewasa terhadap anak-anak. Selanjutnya laki-laki mengkontruksi kekuasaan
tersebut dalam sistem relasi dan interaksi kolektif, sehingga perbudaan
diantara mereka yang memiliki kekuatan fisik seimbang menjadi niscaya.
Pemikiran
feminisme di dunia islam, boleh jadi sudah dikenal sejak awal abad ini,
walaupun barangkali mereka tidak menggunakan istilah tersebut. Isalnya lewat
pemikiran-pemikiran Aisyah Taymuriah, penulis dan penyair Mesir ; Zainab Fawwaz,
R.A. Kartini, serta Fatme Aliye dari Turki. Mereka dikenal sebagai para
perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan gender termasuk dalam
melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengukung kebebasan
perempuan.
Sebagai
sebuah istilah yang mapan secara keilmuan, di Indonesia sendiri, feminisme
sudah dikenal sejak awal 1970an. Terutama penulisan tentang feminisme muncul di
surat-surat kabar dan majalah. Masih banyak orang yang menganggap feminisme
adalah gerakan para perempuan yang anti laki-laki, anti perkawinan, anti
perusak keluarga, orang yang tidak mau mempunyai anak, gerakan lesbian dan
sebagainya.
Perkembangan
mutakhir ini terutama tahun 1990-an istilah feminisme dan selanjutnya kaitan
islam dan feminisme bisa diterima, meskipunn dengan sikap yang ekstra
hati-hati. Yang diperlukan saat ini bukan
hanya keterlibatan perempuan, oleh karena sejak awal pula perempuan
sebenarnya sudah terlibat dalam berbagai kehidupan sosial, semisal dalam dunia
pertanian. Tetapi terciptanya relasi gender yang adil dalam semua hubungan
laki-laki dan perempuan diberbagai sektor kehidupan. Mulai dari rumah tangga,
kehidupan masyarakat, sosial, ekonomi dan politik, hingga kesetaraan dalam
hukum. Kesadarn ini memberikan pergeseran program pembangunan berkaitan dengan Womann In Development (WID) tadi, kepada
gender dan Development (WID).
Umat
islam jangan terlalu terpukau dengan pola-pola pikiran barat (feminis) dan
kurang memanfaatkan warisan islam, apalagi diterangi bahwa “feminist who have criticized various aspect of islam or islamic
society base their positions upon a world view radically alien to the islamic
worldview”. Akhirnya perlu ditegskan disini bahwa dalam konteks kajian
persoalan gender dalam islam, tawaran kombinasi antara model normatif-deduktif
dan empiris-induktif, terutama bagi seorang fuqaha (bukan non- Muslim) merupakan
satu keniscayaan. Sebab, perdebatan seputar wanita dalam fiqh tidak bisa
didekati secara normatif an sich tetapi
juga harus melalui realitas umat berdasarkan tarikan-tarikan kepentingan
diantara mereka melalui penelitian lapangan, dan disini reductionist approach cukup berperan. [5]
DAFTAR PUSTAKA
·
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta :
LP3ES, 1987.
·
Andy Darmawan, MA. Ag,
Muqowim, M. Ag, Prof. Dr. Khoiruddin, M.A, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta : Pokja
Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005.
·
Prof. Dr. H. Khoiruddin
Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta
: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
·
Siti Ruhaini
Dzuhayatin, Budhy Munawar-Rachman, Nasaruddin Umar, Rekontruksi MetodologisWacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta,
PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2002.
[1]Abdurrahman
Wahid,”Hukum Pidana Islam dan Hak-hak
Asasi Manusia”, Jakarta, Leppanas, 1983, hlm. 94
[2]Ahmad
Syafi’i Ma’arif, “Islam dan Masalah
Kenegaraan”,(Jakarta : LP3ES, 1987), hlm. 130
[3]Andy
Darmawan”, Pengantar Studi Islam”,(Yogyakarta
: Pokja Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005). hlm. 155
[4]Khoiruddin
Nasution”, Pengantar Studi Islam”, (Yogyakarta
: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009). hlm. 296
[5]Siti
Ruhaini Dzuhayatin,”Rekontruksi
MetodologisWacana Kesetaraan Gender dalam Islam”, (Yogyakarta: PSW IAIN
SUNAN KALIJAGA).Hal.76.
BAB 1
PEMBAHASAN
Jika
berbicara mengenai Gender, maka sebagian orang akan berfikir mengenai
ketidaksamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, dimana perempuan sebagai
korban dalam teori Gender. Dalam keyakinan masyarakat zaman dahulu, ada
beberapa yang masih menganut sistem Gender. Wanita tidak boleh sekolah terlalu
tinggi, dan pekerjaan utamanya adalah mengurus rumah dan memasak di dapur.
Tidak ada kebebasan dalam pilihan hidup yang sebenarnya para kaum wanita
inginkan. Selain dari pernyataan tersebut, ada juga pemahaman ketika
membicarakan mengenai Gender. Memiliki arti yang sama dengan berbicara sekitar
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apabila hal ini dikaitkan dengan islam
maka pada prinsipnya dapat disebut sama dengan berbicara sekitar
kemitrasejajaran lai-laki dan perempuan. Sebab dalam islam secara prinsip,
hubungan kedua jenis kelamin ini adalah sejajar dihadapan Allah (khaliq).
Lalu
sebenarnya apa yang disebut dengan Gender?. Gender di definisikan sebagai jenis
kelamin ( sex ) serta peran manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam
melakukan tindakan sosial tanpa membedakan jenis kelamin. Tetapi kemudian bisa
menjadi pengertian yang dipahami masyarakat awam. Gender adalah atribut yang
dilekatkan secara kultural maupun sosial kepada perempuan maupun laki-laki.
Misalnya perempuan itu harus lemah lembut, anggun, feminim. Sedangkan laki-laki
harus maskulin dan keras.
A.
PENGERTIAN-PENGERTIAN
GENDER
-
Webster’s
New World Dictionary, jender adalah
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dari segi nilai dan
tingkah laku.[1]
-
Women’s
Studies Encyclopedy, jender adalah konsep
yang bersifat budaya yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuanyang
berkembang dalam masyarakat.
-
Menurut Nasruddin Umar,
beliau tidak setuju apabila jender diartikan sebagai jenis kelamin karena kata
sex juga berarti jenis kelamin. Menurut beliau pula, kata jender adalah kosa
kata baru yang belum ditemukan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
-
Menurut Mansour Fakih,
jender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi
secara sosial maupun cultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, keibuan.
Tetapi ada juga yang rasional, kuat dan perkasa.
Oleh
Oakley (1972), dalam karyanya Gender, Sex
and Society, seperti dikutip Mansour, mendefinisikan Gender dengan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial bukan
berdasar biologi dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan sex adalah perbedaan
berdasarkan sex (biologi) karena kodrat Tuhan. Karena itu gender bisa berubah
dari waktu ke waktu, dari satu tempat ketempat lain. Sementara biologi ( sex )
tetap sama. Dengan sendirinya, kalau perbedaan sex berarti kodrati, karenanya
perbedaanya permanen. Sementara gender tidak kodrati karenanya tidak permanen.
Dengan ungkapan yang berbeda, Caplan ( 1987 ) dalam bukunya The Cultural Contruction of Sexuality
menyebut, perbedaan antara laki-laki dn perempuan bukan sekedar biologi, namun
secara sosial dan kultural.
Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan beberapa hal, diantaranya: dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial dan kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang tersebut maka
pada akhirnya disebut kodrat.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan gender dapat terbentuk. Dibawah ini ada empat
teoritik yang di eksplorasi dari beberapa hal yang melandasi terbentuknya
pemahaman akan pentingnya memahani gender yaitu:
1).
Melalui sosialisasi
2).
Aparat ideologis
3).
Melalui pebedaan
4).
Penindasan (represi melalui praktik disiplin dan wacana)
Ada
sejumlah nash yang berbicara tentang kemitraan kesejajaran perempuan dan
laki-laki yang dapat dikelompokkan minimal menjadi delapan, yakni :
1).
Statment umum tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan
2).
Asal usul
3).
Amal
4).
Saling kasih dan mencintai
5).
Keadilan dan persamaan
6).
Jaminan sosial
7).
Saling tolong menolong
8).
Kesempatan mendapatkan pendidikan
Gender
mainstreaming, strategi mutakhir
gerakan perempuan dunia menggugat. Strategi gerakan perempuan untuk mewujudkan
keadilan sosial yang sejati dari perspektif kaum perempuan pada dasarnya telah
ditempuh melalui berbagai strategi. Semuanya dilakukan untuk memperjuangkan
kaum perempuan di dalam mendapatkan hak-hak sosial dan budayanya atas
superioritas kaum laki-laki. Dari situlah sebenarnya gerakan itu dimulai,.
Adapun strategi yang dimaksudkan adalah:[2]
a).
Meningkatkan peran wanita atau konkretnya melibatkan kaum wanita dalam
pembangunan, ini sekitar 1970-an. Diskursus ini dikenal dengan Woman in Development (WID).
b).
Melahirkan cara pandang baru yakni Gender And Development (GAD) dan ini
dianggap alternatif WID.
c).
Gender Mainstreaming, yang mengagendakan strategi percepatan terciptanya
pemberdayaaan suatu keadilan gender di mayarakat luas.
Dari
berbagai strategi yang dilakukan, pendek kata, semuanya untuk membangun apa
yang disebut dengan kesetaraan gender. Kesetaraan gender dimaksudkan agar
kedudukan laki-laki dan perempuan sudah tidak dalam ruang subordinasi lagi,
baik di wilayah domestik maupun publik.
Adapun
bentuk ketidakadilan karena gender adalah :
·
Marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi
·
Subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik
·
Pembentukan stereotip
atau melalui pelabelan negatif
·
Kekerasan ( violence)
·
Beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak
·
Serta sosialisasi
ideologi nilai peran gender
Dengan
ungkapan lain, ada 5 teori yang dapat digunakan dengan menggunakan pendekatan
atau analisis gender, yaitu:
1. Marginalisasi
( peminggiran )
2. Subordinasi
( penomor duaan / pembawahan )
3. Pembentukan
stereotipe ( pelabelan negative)
4. Kekerasan
5. Beban
kerja
Sebab-sebab
lahirnya konsep bias jender dalam islam sebagai berikut.
A. Belum
ada kesadaran pentingnya perbedaan nash.
B. Normatif
- universal.
C. Praktis
- temporal.
D. Penggunaan
studi islam yang parsial.
E. Sejumlah
nash memarjinalkan wanita. Sebagai akibat penggunaan parsial.
F. Budaya
– budaya muslim merasuk terhadap ajaran islam.
G. Generalisasi
(mengambil hukum umum) dari kasus khusus.
H. Hukum
sebagai produk hukum penetapan berdasarkan siyasah al – syar’iyah.
I. Kajian
islam yang literalis dan ahistoris (tekstual).
J. Peran
kekuasaan (penguasa).
K. Kajian
islam dengan pendekatan agama murni.
L. Dominasi
teologi laki – laki dalam memahami nash.
Berbicara
mengenai pendekatan gender kurang lengkap sebelum membicarakan pendekatan
feminis. Sebab dapat dikatakan bahwa gender itu sendiri adalah bagian dari
feminis, diantaranya yang terpenting ada 4 yakni :
Ø Feminisme
liberal
Feminisme liberal adalah teori yang
beranggapan bahwa latar belakang dan ketidakmampuan kaum wanita bersaing dengan
laki-laki adalah karena kelemahan kaum wanita sendiri, yaitu akibat kebodohan
dan irrasional yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional. Maka akar
kebebasan ( freedom ) dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara hidup dan privat publik.
Ø Feminisme
Radikal
Yaitu teori yang berpendapat bahwa akar
penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah jenis kelamin itu sendiri ( biologi ) dan ideologi patriakirnya. Dengan
ungkapan lain, penindasan terhadap wanita terjadi karena dominasi laki-laki
terhadap perempuan dan adanya kepercayaan di masyarakat bahwa laki-laki memang
lebih mampu dari pada perempuan
Ø Feminisme
Marxisme
Adalah aliran yang berpendapat bahwa
penyebab penindasan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan
produksi, dan penindasan merupakan kelanjutan sistem eksploitasi yang bersifat
struktur. Karena itu, mereka berpendapat, patriarki atau kaum laki-laki bukan
permasalahan seperti yang dipegang kelompok radikal, tetapi sistem kapitalis.
Maka penyelesaiannya adalah harus bersifat struktural, yaitu dengan melakukan
perubahan struktur kelas. Perubahan struktur kelas inilah yang mereka sebut
sebagai proses revolusi. Perubahan struktural belum cukup karena perempuan
masih dirugikan dengan tanggung jawab domestik. Jalan keluarnya adalah urusan
rumah tangga ditranformasikan menjadi urusan sosial, dan urusan menjaga,
mendidik dan membesarkan anak menjadi urusan publik. Dengan perspektif ini
diyakini emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam
produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.
Ø Feminisme
Sosial
Menurut teori ini sumber ketidakadilan
adalah karena penilaian dan anggapan terhadap perbedaan biologi laki-laki dan
perempuan (kontruksi sosial). Maka yang diperangi feminisme sosial adalah kontruksi
visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang dibangun atas bias
gender.
Ø Feminisme
islam
Menurut teori ini islam memberikan
kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan karya ( amal).
Karena sesungguhnya, Allah melihat derajat manusia dari segi ketaqwaannya
kepada Allah SWT. Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan
yang telah ditentukannya. Kemudian menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai
pedoman dalam menjalankan kehidupan. Bahkan dalam islam sangat menjunjung
tinggi perempuan. Walaupun ada surat dalam Al-Quran yang menyebutkan bahwasanya
laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Namun, apabila dilihat dari sisi
ilmiah maksud dari ayat tersebut bahwa, kaum laki-laki sebagai pelindung kaum
wanita karena kemulyaannya dalam agama islam. Bahkan Rasulullah mengatakan
surga berada di bawah telapak kaki ibu. Apakah tidak benar-benar terlihat
bagaimana islam benar-benar memuliakan wanita.
Dalam
kehidupan, gender sangat erat hubungannya dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Abdurrahman
Wahid menegaskan, bahwa manusia mempunyai posisi yang tinggi dan kasmologi,
sehingga ia harus diperlakukan secara profesional padda posisi yang mulia.
Sebelum seorang individu dilahirkan dan setelah meninggal dunia, dia memiliki
hak-hak yang diformulasikan dan dilindungi oleh hukum. Karena manusia mempunyai
hak dan kemampuan untuk menggunakannya. Allah menjadikannya Khalifah-Nya di
muka bumi.
Sebagaimana
telah ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-Isra’ ayat 70, “ Dan sesungguhnya telah kami angkat mereka di daratn dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Ahmad
Syafi’i Ma’arif mencatat bahwa ada beberapa kemuliaan yang dianugerahkan Allah
SWT kepada manusia, sehingga mengakibatkan dirinya diangkat-Nya menjadi
khalifah di muka bumi.
1.
Karamah
Fardiyah (kemuliaan individu)
Yang memiliki pengertian bahwa islam
melindungi aspek kehidupan manusia seutuhnya. Terlihat sekali menjelaskan bahwa
perbedaan gender bukan merupakan hal yang baik dan islam sendiri melindungi hak
setiap manusia tanpa pandang buluh dalam artian ( Taqwa).
2. Karamah Ijtima’iyah
( kemuliaan kolektif)
Yang mempunyai pengertian islam menjamin
sepenuhnya persamaan diantara individu-individu kecuali prestasi, iman dan
taqwanya.
Yang memiliki pengertian islam meberikan
hak politik individu untuk memilih sekaligus menetukan nasib ataupun posisi
dirinya sebagai wakil Allah.
Berkaitan
dengan Al-Quran surat Al-Isra’ ayat 70 dan kedua pendapat diatas maka dapat
ditegaskan disini bahwa islam sejak awal sudah memberikan hak-hak pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk didalamnya secara implisit
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai hak dasar manusia yang
dianugerahkan Allah SWT padanya. Yang disini dapat disimpulkan menjadi tiga
prinsip:
a. Persamaan
manusia
b. Martabat
manusia
c. Kebebasan
manusia
B.
Identifikasi
ayat-ayat gender
Ayat-ayat gender ialah ayat-ayat
yang berbicara status dan peran laki-laki dan perempuan. Kata kunci yang dapat
dipegang untuk mengetahui ayat-ayat gender ialah semua istilah yang sering
digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan seperti kata, al-rijal dan an-nisa, al-zakar dan al-untsa,
al-imru dan al-mar’ah, az-zauj dan az-zaujah.
Kata
an-Nisa dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 59 kali dalam Al-Qur’an
dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut:
1. An-Nisa
dalam arti gender perempuan, seperti
a. QS.
An-Nisa / 4:7
ÉA%y`Ìh=Ïj9Ò=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#tbqç/tø%F{$#urÏä!$|¡ÏiY=Ï9urÒ=ÅÁtR$£JÏiBx8ts?Èb#t$Î!ºuqø9$#cqç/tø%F{$#ur$£JÏB¨@s%çm÷ZÏB÷rr&uèYx.4$Y7ÅÁtR$ZÊrãøÿ¨BÇÐÈ
7.
bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. QS.
An-Nisa / 4:32
wur(#öq¨YyJtGs?$tB@Òsùª!$#¾ÏmÎ/öNä3Ò÷èt/4n?tã<Ù÷èt/4ÉA%y`Ìh=Ïj9Ò=ÅÁtR$£JÏiB(#qç6|¡oKò2$#(Ïä!$|¡ÏiY=Ï9urÒ=ÅÁtR$®ÿÊeEtû÷ù|¡tGø.$#4(#qè=t«óur©!$#`ÏBÿ¾Ï&Î#ôÒsù3¨bÎ)©!$#c%2Èe@ä3Î/>äó_x«$VJÎ=tãÇÌËÈ
32.
dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita
(pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Kata
an-nisa menunjukkan gender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak
semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki.
Melainkan berkaitan erat dengan realitas gender yang ditentukan oleh faktor
budaya yang bersangkutan. Ada atau
tidaknya warisan ditentukan oleh keberadaan seseorang. Begitu seseorang
lahir dari kalangan muslim yang sah, apapun jenis kelaminnya, dengan sendirinya
langsung menjadi ahli waris. Sementara itu, besar kecilnya porsi pembagian
peran ditentukan oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini
ditentukan oleh usaha yang bersangkutan (mimmaktasabna
dan iktasabu).
C.
Teologi
Feminis Dan Dominasi Patriakhis Dalam Islam
Patriakhis
yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan
anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga,
harta dn sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan ( R.A Sydie.
1999). Dalam relasi sosial suproritas laki-laki juga mengendalikan norma dan
hukum kepantasan secara sepihak. Dalam catatan sejarah (patriakhi), perempuan
dipandang sebagai makhluk inferior, emosional dan kurang akalnya. Pytagoras pernah
menuliskan bahwa “The good principle
cretes order, light, the man. The evil principle creates chaos, darkness and
the woman” ( Paul Efdokimov. 1994 : 168). Kentalnya budaya patriakhi
seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan
untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan berbasis etnik, ras,
agama maupun gender. Setelah para utusan Tuhan pewarta wahyu wafat maka secara
berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh nilai-nilai
patriakhis.[4]
Budaya
patriakhis terjadi karena adanya dominansi kelompok tertentu terhadap kelompok
lain. Kelmpok pertama tidka saja berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua,
tetapi juga menetukan ideologi budaya yang melanggengkan kebudayaanya. Mereka
mengkontruksi nilai, norma dan moralitas yang mempertinggikan kedudukan mereka
dalam komunitas yang mereka kuasai. Pada mulanya kekuasaan ini ditegakkan
berdasarkan pad kekuatan fisik, misal laki-laki terhadap perempuan, laki-laki
dewasa terhadap anak-anak. Selanjutnya laki-laki mengkontruksi kekuasaan
tersebut dalam sistem relasi dan interaksi kolektif, sehingga perbudaan
diantara mereka yang memiliki kekuatan fisik seimbang menjadi niscaya.
Pemikiran
feminisme di dunia islam, boleh jadi sudah dikenal sejak awal abad ini,
walaupun barangkali mereka tidak menggunakan istilah tersebut. Isalnya lewat
pemikiran-pemikiran Aisyah Taymuriah, penulis dan penyair Mesir ; Zainab Fawwaz,
R.A. Kartini, serta Fatme Aliye dari Turki. Mereka dikenal sebagai para
perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan gender termasuk dalam
melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengukung kebebasan
perempuan.
Sebagai
sebuah istilah yang mapan secara keilmuan, di Indonesia sendiri, feminisme
sudah dikenal sejak awal 1970an. Terutama penulisan tentang feminisme muncul di
surat-surat kabar dan majalah. Masih banyak orang yang menganggap feminisme
adalah gerakan para perempuan yang anti laki-laki, anti perkawinan, anti
perusak keluarga, orang yang tidak mau mempunyai anak, gerakan lesbian dan
sebagainya.
Perkembangan
mutakhir ini terutama tahun 1990-an istilah feminisme dan selanjutnya kaitan
islam dan feminisme bisa diterima, meskipunn dengan sikap yang ekstra
hati-hati. Yang diperlukan saat ini bukan
hanya keterlibatan perempuan, oleh karena sejak awal pula perempuan
sebenarnya sudah terlibat dalam berbagai kehidupan sosial, semisal dalam dunia
pertanian. Tetapi terciptanya relasi gender yang adil dalam semua hubungan
laki-laki dan perempuan diberbagai sektor kehidupan. Mulai dari rumah tangga,
kehidupan masyarakat, sosial, ekonomi dan politik, hingga kesetaraan dalam
hukum. Kesadarn ini memberikan pergeseran program pembangunan berkaitan dengan Womann In Development (WID) tadi, kepada
gender dan Development (WID).
Umat
islam jangan terlalu terpukau dengan pola-pola pikiran barat (feminis) dan
kurang memanfaatkan warisan islam, apalagi diterangi bahwa “feminist who have criticized various aspect of islam or islamic
society base their positions upon a world view radically alien to the islamic
worldview”. Akhirnya perlu ditegskan disini bahwa dalam konteks kajian
persoalan gender dalam islam, tawaran kombinasi antara model normatif-deduktif
dan empiris-induktif, terutama bagi seorang fuqaha (bukan non- Muslim) merupakan
satu keniscayaan. Sebab, perdebatan seputar wanita dalam fiqh tidak bisa
didekati secara normatif an sich tetapi
juga harus melalui realitas umat berdasarkan tarikan-tarikan kepentingan
diantara mereka melalui penelitian lapangan, dan disini reductionist approach cukup berperan. [5]
DAFTAR PUSTAKA
·
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta :
LP3ES, 1987.
·
Andy Darmawan, MA. Ag,
Muqowim, M. Ag, Prof. Dr. Khoiruddin, M.A, Pengantar
Studi Islam, Yogyakarta : Pokja
Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005.
·
Prof. Dr. H. Khoiruddin
Nasution, MA, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta
: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
·
Siti Ruhaini
Dzuhayatin, Budhy Munawar-Rachman, Nasaruddin Umar, Rekontruksi MetodologisWacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta,
PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2002.
[1]Abdurrahman
Wahid,”Hukum Pidana Islam dan Hak-hak
Asasi Manusia”, Jakarta, Leppanas, 1983, hlm. 94
[2]Ahmad
Syafi’i Ma’arif, “Islam dan Masalah
Kenegaraan”,(Jakarta : LP3ES, 1987), hlm. 130
[3]Andy
Darmawan”, Pengantar Studi Islam”,(Yogyakarta
: Pokja Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005). hlm. 155
[4]Khoiruddin
Nasution”, Pengantar Studi Islam”, (Yogyakarta
: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009). hlm. 296
[5]Siti
Ruhaini Dzuhayatin,”Rekontruksi
MetodologisWacana Kesetaraan Gender dalam Islam”, (Yogyakarta: PSW IAIN
SUNAN KALIJAGA).Hal.76.
No comments:
Post a Comment