DAFTAR ISI
Halaman judul………………………………………………………………………………. 1
Pendahuluan...……………………………………………………………………………......2
Daftar isi .....................…………………………………………………………………….....3
Pendahuluan...……………………………………………………………………………......2
Daftar isi .....................…………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN
A Latar belakang......................................................................................................................4
B Rumusan
Masalah.................................................................................................................5
C
Tujuan...................................................................................................................................5
D
Manfaat.................................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
A Hakikat qiroat…………………………………........................………………………….. 6
B Maszhab qiroat…………………..........................................................................................7
C Contoh-contoh berbagai qiroat…………………..................................................................8
D pengaruh qiroat terhadap istinbath hokum islam..................................................................9
BAB III PENUTUP..................................................................................................................11
1.Kesimpulan............................................................................................................................11
2.Daftar Pustaka.....………….………………………………………………………….........12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qiraat merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum Al-Qur’an. Tidak banyak
orang yang tertarik dengan ilmu qiraat.banyak faktor yang menyebabkan hal
itu.Di antaranya karena memang ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan
kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari .tidak seperti ilmu fiqih,hadits dan
tafsir, misalnya .sebab ilmu qiraat tidak mempelajari masalah-masalah yang
berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu .akan terasa asing
kedengaranya kalau ada orang berceramah di atas mimbar membicarakan masalah
qiraat . Masyarakat umum tentu akan kesulitan menerimanya ,bahkan mungkin
mereka akan bertanya-tanya : “ini apa sih ?” Atau ;”untuk apa masalah seperti
ini disampaikan di sini ?”
Pada intinya ilmu qiraat mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing
qurro’ sab’ah atau ‘asyroh dalam membaca Al-qur’an .Hal ini biasa di sebut
dalam istilah qiroat dengan “ushul al-qori” .kemudian satu hal lagi yang
termasuk inti dalam ilmu qiraat adalah bagaimana para qurro’ sab’ah atau
‘asyroh membaca lafadz-lafadz tertentu dalam Al-qur’an diluar manhaj mereka
.seperti misalnya kalimat syurokaa a .Hal-hal semacam ini tidak terdapat dalam
ushul al-qori’. Dalam ilmu qiraat ,yang demikian ini diistilahkan dengan “farsy
al-huruf” .
Untuk membaca Al-Qur’an dengan suatu qiraat atau riwayat diperlukan
penguasaan ushul al-qori dan farsy al-huruf secara bersama. Karena jika hanya
menguasai ushul al-qori’ tanpa farsy al-huruf atau menguasai farsy al-huruf
saja sedangkan ushul al-qori’-nya setengah-setengah ,kemudian membaca Al-qur’an
dengan qiraat tertentu ,akan kacau jadinya .Bukan Al-qur’an dari sisi Allah swt
yang ia baca ,melainkan Al-qur’an “made in” dia sendiri .Dan jelas ini haram
hukumnya ! biasanya memang orang yang membaca dengan qiraat ,pasti pernah
bertalaqqi langsung dengan syekh qiroat .bahkan talaqqi merupakan syarat yang
harus dipenuhi jika seseorang ingin membaca dengan qiraat .demi menghindari
kesalahan yang tidak diharapkan .
Dalam bab ini kami hanya akan memberikan ushul al-qori’ .Di samping hal-hal
lain yang mendukung ilmu ini.Adapun farsy al-huruf tidak bisa kami sampaikan di
sini ,karena tentu akan banyak sekali menyita halaman .sebab dalam farsy
al-huruf mesti menjelaskan cara membaca masing-masing qurro’ pada
kalimat-kalimat tertentu dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas.Buku ini
jelas tidak mencukupi untuk itu .bahkan satu kitab khusus yang membahas masalah
farsy al-huruf .
Katakanlah ini bukan ilmu qiraat ,tetapi pengantar ilmu qiraat Allahu a’lam
.
B.
Rumusan Masalah
Penulisan makalah ini
dapat dirumuskan:
A.Hakikat Qiraat
B.Maszhab Qiraat
C.Contoh-contoh berbagai qiraat
D.Pengaruh qiraat terhadap istinbath hokum islam
C.
Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan :
1. Untuk
mengetahui hakikat qiro’at sab’ah
2. Untuk
mengetahui Berbagai Maszhab qiraat
3.Untuk mengetahui
Contoh-contoh berbagai qiraat
4. Untuk dapat mengetahui pengaruh qiro’at terhadap istinbath hokum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.HAKIKAT QIRO’AT
Secara etimologi, term qira’at seakar dengan term
al-qur’an, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Term
qira’ah merupakan bentuk masdar (verbal
noun) dari kata qara;a, yaitu artinya bacaan. [1]
Sedangkan secara termenologi, terdapat berbagai
ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian
qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah.
Periode qurra’(ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada
orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa
para sahabat. Maka ada beberapa definisi
yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi:
إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو
كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.
Artinya:
“Qira’at
adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti
takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya. [2]
2. Menurut As-Shabuni:
مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من
الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an
yang dianut salah seorang imam
berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul. [3]
3. Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang
disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan
lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Dari definisi di atas, tampak bahwa qira’at
al-qur’an itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari
al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah
qira’at yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara
yang dimaksud dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang
menyatak bahwa qira’at itu dibacakan Nabi Saw.
B.MASZHAB QIROAT
MACAM-MACAM JENIS QIROAT
Ditinjau dari para Qurra’,ada tiga macam yaitu:
1.
Qira’ah Sab’ah,yang qira’ahnya disandarkan kepada tujuh tokoh
ahli qira’ah yang termasyhur.qira’ah tersebut mulai terkenal sejak abad 2H,pada
masa pemerintahan Al-Makmun.7orang pakar qira’ah tersebut ialah:
o Nafi’ bin Abd.Rahman
o Ashim bin Abi Najud Al-Asady
o Hamzah bin Habib At-Taymi
o Ibnu Amir Al-Yashhubi
o Abdullah ibnu Katsir
o Abu Amr ibnul Ala
o Abu Ali Al-Kisa’i
Imam
Al-Makki menngatakan,ada 2 alasan mengapa dinamakan qira’ah
sab’ah,yaitu:Pertama,khalifah utsman ketika mengirim copy mushhhaf
kedaerah-daerah ,itu ada 7 buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah
yang mengajarkannya,karena itu nama qira’ah tersebut berasal dari jumlah qurra’
yang mengajarkannya,yakni sab’ah.Kedua,karena 7 qira’ah itu adalah sama dengan
7 cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-Qur’an
2. Qira’ah
Asyrah,yang qira’ahnya didasarkan kepada 10 orang ahli qira’at yang
mengajarkannya.Menurut sebagian ‘Ulama’,pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at
itu kurang tepat,karena ternyata masih banyak ‘ulama’ lain yang pandai memahami
qira’atil qur’an.Jadi,qira’ah asyrah itu ialah qira’ah yang disandarkan kepada
10 orang ahli qira’at,yaitu 7 orang yang tersebut dalam qira’ah sab’ah ditambah
dengan 3 orang lagi,yaitu:
o Abu Ja’far Yazid ibnul Qa’qa Al-Qari
o Abu Muhammad Ya’kub bin Ishaq Al-Hadhari
o Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy
3. Qira’ah Arba’a Asyrata,yang qira’ahnya disandarkan kepada 14 orang ahli
qira’at yang mengajarkannya.14 ahli qira’at tersebut ialah 10 orang ahli
qira’at ‘asyrah ditambah 4 orang lagi,yaitu:
o Hasan Al-Basyri
o Ibnu Muhaish
o Yahya ibnul Mubarak Al-Yazidi
o Abul Faraj ibnul Ahmad Asy-Syambudzi
Ditinjau dari para perawi,ada 6 macam,yaitu:
a)
Mutawatir,yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat
yang tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta,dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga
penghabisannya,yakni Rasulullah
b)Masyhur,yaitu qira’at yng shahih sanadnya
tetapi tidak mencapai derajat mutawatir,sesuai dengan kaidah bahasa arab dan
rasam utsmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qira’at sehingga
karenanya tidak dikategorikan qira’at yang salah .Kedua macam qira’at ini harus
dipercayai benarnya,tidak boleh diingkari.
c)
Ahad,yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasam utsmani
atau menyalahi kaidah bahasa arab
d)
Syadz,yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya
e)
Maudhu’,yaitu qira’at yang tidak ada asalnya
f)
Mudraj,yaitu yang ditambahkan kedalam qira’at sebagai penafsiran
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
D.PENGARUH QIRAAT TERHADAP
ISTINBATH HUKUM ISLAM
Kata istinbath berasal dari bahasa Arab yang kata
akarnya al-Nabth yang artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada
saat seseorang menggali sumur. Adapun menurut bahasa berarti mengeluarkan air
dari mata air (dalam tanah).
Adapun secara terminologi adalah mengeluarkan
kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Quran dan al-Sunnah) dengan
ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal. Sedangkan kata hukum (hukum
Islam) yang sering kali identik dengan syari’at , merupakan salah satu aspek
pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Karena itu ayat-ayat
al-Quran yang berkenaan dengan hukum biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum (ايات الأحكام
). Secara etimonolgi hukum berati menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau
meniadakannya. Disamping itu bisa juga berarti menolak atau mencegah. Karena
itu seorang qodhi disebut hakim, karena ia berupaya mencegah perbuatan zhulm
(kezholiman) dari pelakunya.
Sementara dari terminologi ada perbedaan pendapat
antara Ulama’, diantaranya Ulama’ ahli ushul mengartikan “Khitab syari’ (firman
Allah dan sabd Nabi) yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
yang bersifat thalab, takhyir atau wad”.
Sedangkan menurut Ulama fiqh mengartikan “Pesan
dan kesan yang terkandung dalam khitab syari’ menyangkut perbuatan orang-orang
mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah”. Dari definisi diatas dapat diketahui
bahwa esensi istinbath yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat baik dalam al-Quran maupun al-Sunnh. Pada garis besarnya terdapat dua
cara dalam melakukan istinbath hukum, yakni;
- Cara lafdhiah (طرق لفظية ) yaitu cara istinbath
hukum berdasarkan pesan yang terdapat dalam nash.
- Cara maknawiyyah ( طرق معنوية
) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan kesan yang terkandung dalam nash.
Dengan adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang
berpengaruh terhadap istinbath hukum dan adakalanya tidak berpengaruh pada
istinbath hukum. Diatara yang berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat
al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi; Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu
penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air
yaitu apabila ia telah “menyentuh” wanita (لمستم النساء
). Sementara itu, Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساء
. Sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء
. Berdasarkan qiroat لمستم
, ada tiga versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu, 1) bersetubuh, 2)
bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh.
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan ulama.
Akan tetapi Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم adalah berciuman, karena
kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna لمستم adalah menyentuh, karena
pihak wanita (yang disentuh) tidak aktif .
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda
pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn
Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam
persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat
yang terakhir adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء
makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya
suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat
pada qiroat لامستم
makna hakikinya saling menyentuh dan bukan berarti bersetubuh.
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa
kata al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس dan المس terdapat dalam al-Quran
dengan pengertian الجماع
(bersetubuh). Seperti firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا
. Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah bersentuh kulit,
mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai berikut; - Imam
Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia menyentuh anggota
tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan anggota tubuh
lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal
wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak batal
wudlunya, - Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan syahwat
maka batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan syahwat
maka tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika menyentuhnya
dilakukan secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan syahwat
maupun tidak. Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan qiroat
dalam ayat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum, dimana
menurut sebagian ulama versi qiroat لمستم النساء
sedikit lebih mempertegas pendapat, yang dimaksud dengan لامستم النساء
dalam ayat tersebut adalah al-lums dalam arti hakiki yaitu “bersentuh kulit”
antara laki-laki dan perempuan.
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap
istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas
menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan
dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan
orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين
) seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk pengganti
binatang ternak yang dibunuhnya. Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir,
‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al-Kisa’i membaca او كفارة طعام مساكين
dengan cara lafat tho’am dijadikan khabar dari mubtada’ mahdzuf. Sedangkan
Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara mengidhofahkan lafat kaffarah pada
lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum yang terkandung di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam
qira’at yang sama pun dapat ditafsirkan secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat
al-Qur’an dalam qira’at yang berbeda. Hanya saja pada segi-segi tertentu
perbedaan qira’at tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap penafsiran. Sebagai
kesimpulan akhir baik diulas kembali di sini bahwa perbedaan qira’at pada
al-Qur’an adakalanya menyebabkan terjadinya perbedaan makna dan adakalanya
tidak. Perbedaan makna pada qira’at itu akan berpengaruh terhadap penafsiran.
Sebaliknya, tidak adanya perbedaan makna tidak akan berpengaruh pada penafsiran.
DAFTAR PUSTAKA
- Hasanuddin AF, Anatomi Al-Quran: Perbedaan Qiroat
Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Quran, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta 1995.
- http://mahasiswastainkerinci.blogspot.com/2011/10/makalah-ulumul-quran-qiraat.html
-
http://uswatunhasanah.blogspot.com/2011/09/urgensi-mempelajari-ulumul-quran.html
No comments:
Post a Comment