Outsourcing
Sumber Daya Manusia
Oleh: Cahyani Susan
Latar Belakang Masalah
Semakin pesatnya
perkembangan bisnis saat ini menuntut perusahaan untuk berkompetisi secara
cerdas dan proaktif dalam mencapai keunggulan yang kompetitif. Untuk
menghasilkan produk dalam kualitas dan kuantitas yang diinginkan agar bisa
mencapai keunggulan yang kompetitif, salah satu langkah bagi perusahaan adalah
dengan outsourcing (alih daya). Outsourcing atau alih daya
merupakan praktik bisnis dimana suatu perusahaan menyewa tenaga kerja dari perusahaan
lain untuk melakukan tugas, menangani operasi atau memberikan layanan yang
biasanya dijalankan atau sebelumnya telah dilakukan oleh karyawan perusahaan
itu sendiri (Jeffrey A Mello, 2011).
Banyak perusahaan alih daya yakni
perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja aktif menawarkan ke
perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang memerlukan tenaga
kerja tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi, dan melatih tenaga kerja
yang dibutuhkan (Suhardi, 2006). Outsourcing adalah salah satu pilihan strategis dalam
mendukung proses bisnis di perusahaan. Manfaat penting dari kegiatan
outsourcing adalah perusahaan bisa lebih fokus pada strategi perusahaan,
sehingga proses pencapaian tujuan perusahaan dapat terkontrol, terukur dan
akhirnya bisa tercapai.
Dalam sistem outsourcing,
khususnya outsourcing tenaga kerja di Indonesia, dari sisi regulasi dan
penerapannya selalu menjadi fenomena menarik. Isu tentang outsourcing
selalu menghangat. Hal ini terlihat dari kasus yang terjadi di BUMN (kantor
berita politik, RMOL.CO), yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan dan belum
menemukan penyelesaian yang substantif hingga saat ini. Praktik hubungan kerja
yang menyimpang, penganiayaan hak-hak normatif pekerja serta kebebasan
berorganisasi dan berserikat menjadi terus terancam. Bahkan kini seiring
munculnya kasus-kasus baru dan perlakuan kesewenang-wenangan yang tampak nyata
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara melalui kaki-kaki tangannya yang
teridentifikasi sebagai vendor.
Nasib buruh outsourcing
di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin terjepit. Di tengah
harapan bakal segera diangkat menjadi karyawan tetap, ribuan buruh outsourcing BUMN malah mengalami
pemutusan hubungan kerja (PHK). Koordinator Gerakan Bersama Buruh (Geber) BUMN menuturkan
bahwa buruh outsourcing diperusahaan BUMN berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Bukannya diangkat menjadi karyawan tetap, ribuan buruh
outsourcing tersebut malah di PHK. Korban PHK serta pelanggaran hukum ketenagakerjaan lainnya terdata oleh
GEBER BUMN, mencapai ribuan orang. Dari keseluruhan BUMN yang dicermati oleh
GEBER BUMN, para korban berasal dari puluhan perusahaan BUMN seperti PLN,
Krakatau Steel, Pertamina, Telkom, PGN, Jasa Marga, Pelindo 2, Pelindo 3, Perum
PPD, Indofarma, Garuda Indonesia, Pupuk Kaltim, SGC, BPJS Ketenagakerjaan,
Petrokimia Gresik, Bank Mandiri, BRI, BNI, Pos Indonesia, Sucofindo, dan KAI.
Data GEBER BUMN ini masih bisa berubah, sejalan dengan banyaknya aduan buruh outsourcing
yang masuk.
Koordinator Geber BUMN mengirimkan surat
kepada Kementerian BUMN yang isinya permohonan audiensi terkait maraknya PHKdi
BUMN. Namun dalam surat balasan dari Kementerian BUMN pada tanggal 28 Agustus
2018 disebutkan bahwa 88,17 persen masalah outsourcing di 9 BUMN sudah selesai.
Katanya sudah selesai tapi disitu tidak dijelaskan selesainya itu seperti apa,
yang jelas korban PHK terus bertambah, dan yang sudah di-PHK pun kesulitan
mendapatkan hak-haknya.
Pasca dikeluarkannya rekomendasi Panja di
tahun 2013, mestinya kasus ketenagakerjaan di BUMN khususnya outsourcing, bisa terselesaikan. Faktanya, praktik
hubungan kerja yang menyimpang itu cenderung malah terus mengeksploitasi
hak-hak pekerjanya secara masif. Kepastian kelangsungan kerja yang kerap
dikebiri, kontrak kerja yang terus berulang-ulang dengan jangka waktu yang
pendek, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja tidak diprioritaskan
hingga upah dan jam kerja yang timpang. Belum lagi soal adanya diskriminasi.
Pemberian fasilitas kesehatan, dan uang jasa bonus yang berbeda. Efeknya, PHK
pun seringkali dan mudah terjadi, baik secara sepihak ataupun sudah
dikondisikan sebelumnya.
Hal itu sudah di adukan ke DPR. Geber BUMN mendesak DPR menjalankan hak interpelasi
terhadap Kementerian BUMN dan direksi BUMN yang tidak menjalankan rekomendasi
Panja Outsourcing DPR. Namun tindak lanjut
dari DPR terhenti setelah keluarnya rekomendasi tersebut. Sementara pemerintah,
dalam hal ini Kementerian BUMN dan Kementerian Ketenagakerjaan, belum
memberikan respon yang berarti. Sampai sekarang pun tidak ada tanda-tanda
penyelesaian, sementara DPR lamban melakukan inisiatif terhadap hal tersebut.
Perusahaan BUMN malah menciptakan model baru
pada kontrak kerja bagi pekerja outsourcingnya yaitu pekerja permanen
(tetap) tapi berdurasi 5 tahun, sesuai usia ataupun kelangsungan dari proyek
yang didapat. Perusahaan BUMN sudah menciptakan aturan di luar UU
Ketenagakerjaan yang ada.
Dari kasus tersebut mencerminkan belum
berjalannya sistem outsourcing yang baik di negara Indonesia. Dampaknya,
pekerja tidak dapat bekerja dengan tenang. Wewenang perusahaan untuk merekut
dam memberhentikan buruh secara sepihak ataupun sudah terkondisikan sebelumnya
menjadi suatu dilema yang membuat buruh tersebut bernasib tidak pasti.
Study Literatur
Outsourcing
secara umum dianggap sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dan sering dianggap
sebagai sumber potensial untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dan
kemungkinan peluang strategis untuk meningkatkan daya saing organisasi (Ulrich
dan Brockbank, 2009). Beroperasi dalam lingkungan bisnis yang dinamis dan
global saat ini, fungsi SDM menawarkan beberapa opsi untuk meningkatkan
keuntungan dan peluang dengan tujuan memberikan kontribusi positif terhadap
kinerja bisnis secara keseluruhan. Oleh karena itu, tampaknya rasional untuk
berpendapat bahwa outsourcing tugas terkait SDM memainkan peran penting dalam
organisasi dan merupakan aspek penting dari cara di mana perusahaan beroperasi
(Ruth et al., 2015).
Namun, HRO tidak menjamin bahwa perusahaan akan mencapai semua tujuannya. Sebagai
contoh, Greer et al. (1999) menemukan bahwa, kadang-kadang, HRO tidak
memungkinkan perusahaan untuk mencapai penghematan biaya, tetapi malah
meningkatkan biaya. Terlebih lagi, potensi kehilangan keahlian kritis atau
kompetensi dan kehilangan kendali atas pemasok dapat menjadi isu strategis
penting untuk perusahaan (Quinn dan Hilmer, 1994, hal 53) dan dapat menyebabkan
ketergantungan negatif pada HRO layanan (Greer et al., 1999). Situasi
ini mengungkap masalah yang muncul; yaitu, kebutuhan untuk menententukan faktor
mana yang menyebabkan HRO sukses.
Succesful
HRO
Dari perspektif bisnis, keberhasilan HRO dapat didefinisikan sebagai
kepuasan dengan manfaat yang diperoleh dari menggunakan penyedia SDM, seperti
strategis misalnya, membebaskan perusahaan manajemen untuk fokus pada bisnis
inti, ekonomi misalnya, menggunakan HR penyedia itu keahlian dan skala ekonomi),
dan peningkatan teknologi misalnya, menghindari risiko keusangan (Grover et
al., 1996). Sebagai perbandingan, dalam hal perspektif pelanggan, HRO
kesuksesan mengacu pada kualitas layanan (Lee dan Kim, 1999), kepuasan dari
perusahaan klien, dan manfaat yang dirasakan (Kim dan Chung, 2003).
Boxall dan Purcell (2003) dalam menggunakan sudut pandang ekonomi dan
relasional atau normatif untuk mengukur HRO keberhasilan. Yang pertama
menekankan kinerja strategis yang diukur melalui yang ditentukan hasil
(misalnya, produktivitas, inovasi, kualitas), sedangkan yang kedua menekankan
legitimasi sosial dan keadilan (Paauwe and Boselie, 2005).
Secara garis besar, studi ilmiah tentang kondisi kausal dari HRO yang
sukses miliki
ditarik pada dua teori. Pertama, berdasarkan perspektif jejaring sosial,
analisis Yan et Al. (2013) menemukan bahwa struktur jaringan HRO “closed triad”
dapat membantu perusahaan mengelola mereka hubungan dengan penyedia SDM dan
memperoleh efektivitas HRO yang lebih besar. Bahkan, outsourcing umumnya
melibatkan hubungan kontrak jangka panjang (Lever, 1997), dan kepercayaan adalah
diperlukan untuk mempertahankan hubungan ini (Logan, 2000). Kedua, berdasarkan
perspektif evaluasi kinerja pemasok, Dickson (1966) mengusulkan 23 faktor untuk
mengukur pemasok kinerja, yang lima tentang kualitas penyedia dianggap yang
paling penting. Khanna dan New (2005) menetapkan bahwa perusahaan harus memilih
penyedia berkualitas tinggi bersedia untuk berkolaborasi dengan klien dan untuk
tunduk pada evaluasi kesesuaian yang ketat dan emampuan. Mengikuti Dickson
(1966), sejumlah sarjana (misalnya, Babu dan Sharma, 2005; Kannan dan Tan,
2002) menekankan pentingnya pengetahuan industri dalam pemasok- evaluasi
kinerja. Dengan kata lain, penyedia SDM harus memahami klien mereka bisnis
(misalnya, tujuan, prosedur, dan kebijakan) sejak awal agar HRO sukses (Ee et
al., 2013).
Manfaat
dan kekurangan Outsourcing
Dalam
teori buku Jeffrey A Mellow, 2011 manfaat dan kekurangan outsourcing di
sebutkan sebagai berikut:
v
Manfaat Outsourcing
o
Mengurangi biaya
Anda bisa menikmati penghematan biaya yang
signifikan ketika Anda melakukan outsourcing ke suatu negara dengan biaya
produksi lebih rendah: biaya hidup yang lebih rendah bagi karyawan, yang
berarti gaji lebih rendah, serta biaya infrastruktur dan operasional yang lebih
rendah.
o
Akses ke kumpulan bakat
global
Outsourcing memungkinkan Anda untuk menjangkau
para profesional yang mungkin kekurangan pasokan atau tidak tersedia secara
lokal. Ini membantu bisnis untuk memperoleh pengetahuan atau ide-ide baru dari
orang-orang di luar organisasi.
o
Penghematan waktu yang
signifikan
Saat Anda bermitra dengan vendor alih daya,
Anda tidak perlu beriklan untuk, mewawancarai, memilih, dan melatih karyawan
baru di rumah, yang semuanya dapat sangat menyita waktu.
o
Kemampuan untuk cepat kelas
atas
Anda akan dapat bekerja dengan klien baru dan
mengambil proyek baru tanpa harus menghabiskan waktu pada proses yang
dijelaskan di atas.
o
Alur kerja tidak terganggu
Bisnis Anda akan berfungsi sepanjang waktu
berkat perbedaan waktu antara tim internal dan tim vendor outsourcing.
v Kekurangan Outsourcing
o
Perbedaan waktu
Ini bisa menjadi
kutukan sebanyak berkah, dan dalam kasus-kasus terburuk dapat secara signifikan
menghambat aliran komunikasi antara Anda dan mitra outsourcing Anda.
o
Hambatan bahasa
Kendala bahasa adalah
masalah utama dalam outsourcing. Ini dapat menghasilkan miskomunikasi dan usaha
yang sia-sia kecuali Anda dan vendor yang bermitra dengan Anda memiliki
setidaknya satu bahasa yang sama.
o
Kebiasaan kerja
yang berbeda
Ini bisa menjadi hasil
dari lingkungan budaya yang berbeda, dapat mengganggu alur kerja Anda yang
sudah mapan dan pasti akan perlu membiasakan diri, meskipun itu akan
benar-benar membutuhkan waktu.
o
Jarak jauh
Jarak jeda antara Anda
dan vendor outsourcing dapat mengubah perjalanan bisnis menjadi pengalaman yang
mahal dan melelahkan. Semakin jarak semakin banyak pekerjaan menjadi sulit dan
lebih banyak biaya yang dikeluarkan.
Penelitian
Terdahulu
Pertama, Tesis oleh Uti Ilmu Royen, SH, mahasiswa pascasarjana ilmu hukum
Universitas Dipenogoro Semarang yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di
Kabupaten Ketapang)”. Dalam penelitiannya mengatakan, Indikasi lemahnya
perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya pekerja kontrak yang
bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari banyaknya
penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis
outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1. Perusahaan tidak melakukan
klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang
perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan
outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam praktiknya yang di outsource adalah
sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap
sifat dan jenis pekerjaan yang di outsource mengakibatkan pekerja/buruh
dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang
dikehendaki oleh undang-undang.
2. Perusahaan yang menyerahkan
pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada
perusahaan lain/perusahaan penerima pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan
hukum.
3. Perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagi pekerja/buruh outsourcing sangat minim jika dibandingkan dengan
pekerja/buruh lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan Principal dan/atau
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari
Tesis tersebut adalah untuk menganalisis implementasi UU nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan , pelaksanaan perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja, dan peran pemerintah Kabupaten Ketapang dalam perlindungan pekerja.
Kedua, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Petri Bockerman dan Mika
Maliranta (2012) yang dilakukan di Finlandia. Jurnal ini berjudul “Outsourcing, Occupational Restructuring,
and Employe Well-being Is There a Silver Lining?” Jurnal ini membahas
dampak manajemen outsourcing dan restruktrurisasi kerja pada kesejahteraan
karyawan yang melakukan kegiatan outsourcing, terutama outsourcing yang terjadi
pada lintas negara. Outsourcing telah menjadi metode utama bagi para perusahaan
untuk merestrukturisasi mekanisme dalam perusahaan sebagai upaya untuk
mengoptimalkan proses produksinya. Hal seperti ini dirasa mampu untuk memicu
revolusi berikutnya dalam dunia perindustrian. Outsourcing adalah bagian dari restrukturisasi
kerja yang mampu meningkatkan nilai tambah perusahaan. Dalam hal kesejahteraan
karyawan, kegiatan outsourcing dirasa mampu meningkatkan kesejahteraan
karyawan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan outsourcing yang dapat memberikan
kesempatan kepada para pekerjanya untuk saling transfer ilmu dan pengetahuan
satu sama lain sehingga bisa meningkatkan kemampuan kerja tiap-tiap individu
yang dapat meningkatkan kualitas pekerjaan serta memberikan kepuasan tersendiri
bagi pekerja.
Solusi
Untuk menanggulangi beberapa masalah yang timbul akibat masalah
outsourcing, berikut adalah beberapa solusi dalam pelaksanaannya:
- Pemerintah harus melakukan pengawasan dan menetapkan standar regulasi secara konsisten. Diperlukan juga pengawas yang bersertifikasi dan kompeten sehingga memastikan semua regulasi yang dilaksanakan dapat diimplementasikan. Bukan malah menimbulkan polemik di lapangan dan sebagai aturan semata tanpa realisasi.
- Perusahaan BUMN harus mampu berbenah diri hingga menjadi lebih profesional dan taat hukum. Nantinya, diharapakan perusahaan BUMN tersebut dapat menjadi mitra usaha yang dapat diandalkan.
- Perusahaan menentukam skema hubungan kerja sama yang mampu melindungi hak pekerja atau buruh. Perusahaan seharusnya menetapkan outsourcing bukan hanya efisiensi, melainkan produktivitas yang kaitannya dengan kesejahteraan. Jadi dalam praktiknya pihak perusahaan harus lebih memerhatikan tunjangan bagi para pekerja outsourcing seperti asuransi dan tunjangan pensiun yang layak dan masuk akal.
- Jika para pekerja outsourcing punya kompetensi yang tinggi, ada baiknya dalam masa kontrak yang berlaku antara pekerja dan perusahaan diberikan jangka waktu yang lebih lama atau bahkan bisa di angkat menjadi karyawan tetep perusahaan guna menjamin kesejahteraan para buruh.
- Perusahaan BUMN sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada Manajemen Outsourcing, agar dapat meningkatkan Kesejahteraan Karyawan, Perusahaan seharusnya mampu menjadi wadah untuk menampung komunikasi, serta dapat menjadi mediator agar dapat menyalurkan saran antara karyawan outsourcing dengan pihak user. Sehingga karyawan merasa lebih diakui dan menumbuhkan rasa loyalitas terhadap perusahaan. Dengan adanya loyalitas dari karyawan, maka perusahaan dapat meningkatkan kinerja karyawan.
- Agar dapat meningkatkan Kesejahteraan Karyawan, maka perusahaan harus meningkatkan Manajemen Outsourcing dan Restrukturisasi Kerja. Karena variabel Kesejahteraan Karyawan akan meningkat seiring dengan peningkatan dari dua variabel tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Ulrich, D.,
& Brockbank, W. (2009). The HR business-partner model: Past learning and
future challenges. People and Strategy, 32(2), 5–7.
future challenges. People and Strategy, 32(2), 5–7.
Ruth, D., Brush,
T. H., & Ryu, W. (2015). The use of information technology in the
provision of HR compensation services and its effect on outsourcing and centralization. Journal of Purchasing and Supply Management, 21, 25–37.
provision of HR compensation services and its effect on outsourcing and centralization. Journal of Purchasing and Supply Management, 21, 25–37.
Royen, Uti Ilmu, 2009, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh
Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang)”, Tesis Universitas Dipenogoro
Semarang.
Bockerman, P. dan Maliranta, M.
(2012) Outsourcing, Occupational
Restructuring, and Employee Well-being: Is There a Siver Lining? Helsinki.
Patel, C., Budhwar, P., Witzemann,
A,. & Katuo, A. (2017). HR outsourcing: The impact on HR's
strategic role and remaining in-house HR function. Journal of Bissiness Research.
Mello
A Jeffrey, 2011 “ Strategy Management of
Human Resources, 3rd edition, international edition”.
Nguyen,
Thuy, T, T,. & Chang, Man-Ling (2017). Configurational examination of
successful human resources outsourcing. Journal
of Managemant Decition, 55.
Grover,
V., Cheon, M.J., and Teng, J.T.C. (1996), “The effect of service quality and
partnership on the outsourcing of information system functions”, Journal of
Management System, Vol.12 No.4, pp.89–116.
partnership on the outsourcing of information system functions”, Journal of
Management System, Vol.12 No.4, pp.89–116.
Lee,
J.N., and Kim, Y.J. (1999), “Effect of partnership quality and IS outsourcing
success:
Conceptual framework and empirical validation”, Journal of Management
Information System, Vol.15 No.4, pp.29–61.
Conceptual framework and empirical validation”, Journal of Management
Information System, Vol.15 No.4, pp.29–61.
Kim,
S. and Chung, Y. S. (2003), “Critical success factors for IS outsourcing
implementation
from an interorganizational relationship perspective”, The Journal of Computer
Information Systems, Vol.43 No.4, pp.81–91.
from an interorganizational relationship perspective”, The Journal of Computer
Information Systems, Vol.43 No.4, pp.81–91.
Boxall,
P. and Purcell, J. (2003), Strategy and
human resource management, Palgrave
Macmillan, Basingstoke, UK, and New York, NY.
Macmillan, Basingstoke, UK, and New York, NY.
Paauwe,
J. and Boselie, P. (2005), “HRM and performance: What next?”, Human Resource
Management Journal, Vol.15 No.4, pp.68–83.
Management Journal, Vol.15 No.4, pp.68–83.