Monday, April 27, 2020

Outsourcing Sumber Daya Manusia

Outsourcing Sumber Daya Manusia
Oleh: Cahyani Susan

Latar Belakang Masalah
Semakin pesatnya perkembangan bisnis saat ini menuntut perusahaan untuk berkompetisi secara cerdas dan proaktif dalam mencapai keunggulan yang kompetitif. Untuk menghasilkan produk dalam kualitas dan kuantitas yang diinginkan agar bisa mencapai keunggulan yang kompetitif, salah satu langkah bagi perusahaan adalah dengan outsourcing (alih daya). Outsourcing atau alih daya merupakan praktik bisnis dimana suatu perusahaan menyewa tenaga kerja dari perusahaan lain untuk melakukan tugas, menangani operasi atau memberikan layanan yang biasanya dijalankan atau sebelumnya telah dilakukan oleh karyawan perusahaan itu sendiri (Jeffrey A Mello, 2011).
Banyak perusahaan alih daya yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja aktif menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang memerlukan tenaga kerja tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi, dan melatih tenaga kerja yang dibutuhkan (Suhardi, 2006). Outsourcing adalah salah satu pilihan strategis dalam mendukung proses bisnis di perusahaan. Manfaat penting dari kegiatan outsourcing adalah perusahaan bisa lebih fokus pada strategi perusahaan, sehingga proses pencapaian tujuan perusahaan dapat terkontrol, terukur dan akhirnya bisa tercapai.
Dalam sistem outsourcing, khususnya outsourcing tenaga kerja di Indonesia, dari sisi regulasi dan penerapannya selalu menjadi fenomena menarik. Isu tentang outsourcing selalu menghangat. Hal ini terlihat dari kasus yang terjadi di BUMN (kantor berita politik, RMOL.CO), yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan dan belum menemukan penyelesaian yang substantif hingga saat ini. Praktik hubungan kerja yang menyimpang, penganiayaan hak-hak normatif pekerja serta kebebasan berorganisasi dan berserikat menjadi terus terancam. Bahkan kini seiring munculnya kasus-kasus baru dan perlakuan kesewenang-wenangan yang tampak nyata dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara melalui kaki-kaki tangannya yang teridentifikasi sebagai vendor.
Nasib buruh outsourcing di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin terjepit. Di tengah harapan bakal segera diangkat menjadi karyawan tetap, ribuan buruh outsourcing BUMN malah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Koordinator Gerakan Bersama Buruh (Geber) BUMN menuturkan bahwa buruh outsourcing diperusahaan BUMN berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Bukannya diangkat menjadi karyawan tetap, ribuan buruh outsourcing tersebut malah di PHK. Korban PHK serta pelanggaran hukum ketenagakerjaan lainnya terdata oleh GEBER BUMN, mencapai ribuan orang. Dari keseluruhan BUMN yang dicermati oleh GEBER BUMN, para korban berasal dari puluhan perusahaan BUMN seperti PLN, Krakatau Steel, Pertamina, Telkom, PGN, Jasa Marga, Pelindo 2, Pelindo 3, Perum PPD, Indofarma, Garuda Indonesia, Pupuk Kaltim, SGC, BPJS Ketenagakerjaan, Petrokimia Gresik, Bank Mandiri, BRI, BNI, Pos Indonesia, Sucofindo, dan KAI. Data GEBER BUMN ini masih bisa berubah, sejalan dengan banyaknya aduan buruh outsourcing yang masuk.
Koordinator Geber BUMN mengirim­kan surat kepada Kementerian BUMN yang isinya permoho­nan audiensi terkait maraknya PHKdi BUMN. Namun dalam surat balasan dari Kementerian BUMN pada tanggal 28 Agustus 2018 disebutkan bahwa 88,17 persen masalah outsourcing di 9 BUMN sudah selesai. Katanya sudah selesai tapi disitu tidak dijelaskan selesainya itu seperti apa, yang jelas korban PHK terus bertambah, dan yang sudah di-PHK pun kesulitan mendapatkan hak-haknya.
Pasca dikeluarkannya rekomendasi Panja di tahun 2013, mestinya kasus ketenagakerjaan di BUMN khususnya outsourcing, bisa terselesaikan. Faktanya, praktik hubungan kerja yang menyimpang itu cenderung malah terus mengeksploitasi hak-hak pekerjanya secara masif. Kepastian kelangsungan kerja yang kerap dikebiri, kontrak kerja yang terus berulang-ulang dengan jangka waktu yang pendek, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja tidak diprioritaskan hingga upah dan jam kerja yang timpang. Belum lagi soal adanya diskriminasi. Pemberian fasilitas kesehatan, dan uang jasa bonus yang berbeda. Efeknya, PHK pun seringkali dan mudah terjadi, baik secara sepihak ataupun sudah dikondisikan sebelumnya.
Hal itu sudah di adukan ke DPR. Geber BUMN mendesak DPR menjalankan hak interpelasi terhadap Kementerian BUMN dan direksi BUMN yang tidak menjalankan rekomendasi Panja Outsourcing DPR. Namun tindak lanjut dari DPR terhenti setelah keluarnya rekomendasi tersebut. Sementara pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN dan Kementerian Ketenagakerjaan, belum memberikan respon yang berarti. Sampai sekarang pun tidak ada tanda-tanda penyelesaian, sementara DPR lamban melakukan inisiatif terhadap hal tersebut.
Perusahaan BUMN malah menciptakan model baru pada kontrak kerja bagi pekerja outsourcingnya yaitu pekerja permanen (tetap) tapi berdurasi 5 tahun, sesuai usia ataupun kelangsungan dari proyek yang didapat. Perusahaan BUMN sudah menciptakan aturan di luar UU Ketenagakerjaan yang ada.
Dari kasus tersebut mencerminkan belum berjalannya sistem outsourcing yang baik di negara Indonesia. Dampaknya, pekerja tidak dapat bekerja dengan tenang. Wewenang perusahaan untuk merekut dam memberhentikan buruh secara sepihak ataupun sudah terkondisikan sebelumnya menjadi suatu dilema yang membuat buruh tersebut bernasib tidak pasti. 

Study Literatur
Outsourcing secara umum dianggap sangat mempengaruhi kinerja perusahaan dan sering dianggap sebagai sumber potensial untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dan kemungkinan peluang strategis untuk meningkatkan daya saing organisasi (Ulrich dan Brockbank, 2009). Beroperasi dalam lingkungan bisnis yang dinamis dan global saat ini, fungsi SDM menawarkan beberapa opsi untuk meningkatkan keuntungan dan peluang dengan tujuan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja bisnis secara keseluruhan. Oleh karena itu, tampaknya rasional untuk berpendapat bahwa outsourcing tugas terkait SDM memainkan peran penting dalam organisasi dan merupakan aspek penting dari cara di mana perusahaan beroperasi (Ruth et al., 2015).
Namun, HRO tidak menjamin bahwa perusahaan akan mencapai semua tujuannya. Sebagai contoh, Greer et al. (1999) menemukan bahwa, kadang-kadang, HRO tidak memungkinkan perusahaan untuk mencapai penghematan biaya, tetapi malah meningkatkan biaya. Terlebih lagi, potensi kehilangan keahlian kritis atau kompetensi dan kehilangan kendali atas pemasok dapat menjadi isu strategis penting untuk perusahaan (Quinn dan Hilmer, 1994, hal 53) dan dapat menyebabkan ketergantungan negatif pada HRO layanan (Greer et al., 1999). Situasi ini mengungkap masalah yang muncul; yaitu, kebutuhan untuk menententukan faktor mana yang menyebabkan HRO sukses.

Succesful HRO
Dari perspektif bisnis, keberhasilan HRO dapat didefinisikan sebagai kepuasan dengan manfaat yang diperoleh dari menggunakan penyedia SDM, seperti strategis misalnya, membebaskan perusahaan manajemen untuk fokus pada bisnis inti, ekonomi misalnya, menggunakan HR penyedia itu keahlian dan skala ekonomi), dan peningkatan teknologi misalnya, menghindari risiko keusangan (Grover et al., 1996). Sebagai perbandingan, dalam hal perspektif pelanggan, HRO kesuksesan mengacu pada kualitas layanan (Lee dan Kim, 1999), kepuasan dari perusahaan klien, dan manfaat yang dirasakan (Kim dan Chung, 2003).
Boxall dan Purcell (2003) dalam menggunakan sudut pandang ekonomi dan relasional atau normatif untuk mengukur HRO keberhasilan. Yang pertama menekankan kinerja strategis yang diukur melalui yang ditentukan hasil (misalnya, produktivitas, inovasi, kualitas), sedangkan yang kedua menekankan legitimasi sosial dan keadilan (Paauwe and Boselie, 2005).
Secara garis besar, studi ilmiah tentang kondisi kausal dari HRO yang sukses miliki
ditarik pada dua teori. Pertama, berdasarkan perspektif jejaring sosial, analisis Yan et Al. (2013) menemukan bahwa struktur jaringan HRO “closed triad” dapat membantu perusahaan mengelola mereka hubungan dengan penyedia SDM dan memperoleh efektivitas HRO yang lebih besar. Bahkan, outsourcing umumnya melibatkan hubungan kontrak jangka panjang (Lever, 1997), dan kepercayaan adalah diperlukan untuk mempertahankan hubungan ini (Logan, 2000). Kedua, berdasarkan perspektif evaluasi kinerja pemasok, Dickson (1966) mengusulkan 23 faktor untuk mengukur pemasok kinerja, yang lima tentang kualitas penyedia dianggap yang paling penting. Khanna dan New (2005) menetapkan bahwa perusahaan harus memilih penyedia berkualitas tinggi bersedia untuk berkolaborasi dengan klien dan untuk tunduk pada evaluasi kesesuaian yang ketat dan emampuan. Mengikuti Dickson (1966), sejumlah sarjana (misalnya, Babu dan Sharma, 2005; Kannan dan Tan, 2002) menekankan pentingnya pengetahuan industri dalam pemasok- evaluasi kinerja. Dengan kata lain, penyedia SDM harus memahami klien mereka bisnis (misalnya, tujuan, prosedur, dan kebijakan) sejak awal agar HRO sukses (Ee et al., 2013).



Manfaat dan kekurangan Outsourcing
Dalam teori buku Jeffrey A Mellow, 2011 manfaat dan kekurangan outsourcing di sebutkan sebagai berikut:
v  Manfaat Outsourcing
o   Mengurangi biaya
Anda bisa menikmati penghematan biaya yang signifikan ketika Anda melakukan outsourcing ke suatu negara dengan biaya produksi lebih rendah: biaya hidup yang lebih rendah bagi karyawan, yang berarti gaji lebih rendah, serta biaya infrastruktur dan operasional yang lebih rendah.
o   Akses ke kumpulan bakat global
Outsourcing memungkinkan Anda untuk menjangkau para profesional yang mungkin kekurangan pasokan atau tidak tersedia secara lokal. Ini membantu bisnis untuk memperoleh pengetahuan atau ide-ide baru dari orang-orang di luar organisasi.
o   Penghematan waktu yang signifikan
Saat Anda bermitra dengan vendor alih daya, Anda tidak perlu beriklan untuk, mewawancarai, memilih, dan melatih karyawan baru di rumah, yang semuanya dapat sangat menyita waktu.
o   Kemampuan untuk cepat kelas atas
Anda akan dapat bekerja dengan klien baru dan mengambil proyek baru tanpa harus menghabiskan waktu pada proses yang dijelaskan di atas.
o   Alur kerja tidak terganggu
Bisnis Anda akan berfungsi sepanjang waktu berkat perbedaan waktu antara tim internal dan tim vendor outsourcing.
v  Kekurangan Outsourcing
o   Perbedaan waktu
Ini bisa menjadi kutukan sebanyak berkah, dan dalam kasus-kasus terburuk dapat secara signifikan menghambat aliran komunikasi antara Anda dan mitra outsourcing Anda.
o   Hambatan bahasa
Kendala bahasa adalah masalah utama dalam outsourcing. Ini dapat menghasilkan miskomunikasi dan usaha yang sia-sia kecuali Anda dan vendor yang bermitra dengan Anda memiliki setidaknya satu bahasa yang sama.
o   Kebiasaan kerja yang berbeda
Ini bisa menjadi hasil dari lingkungan budaya yang berbeda, dapat mengganggu alur kerja Anda yang sudah mapan dan pasti akan perlu membiasakan diri, meskipun itu akan benar-benar membutuhkan waktu.
o   Jarak jauh
Jarak jeda antara Anda dan vendor outsourcing dapat mengubah perjalanan bisnis menjadi pengalaman yang mahal dan melelahkan. Semakin jarak semakin banyak pekerjaan menjadi sulit dan lebih banyak biaya yang dikeluarkan.

Penelitian Terdahulu
Pertama, Tesis oleh Uti Ilmu Royen, SH, mahasiswa pascasarjana ilmu hukum Universitas Dipenogoro Semarang yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang)”. Dalam penelitiannya mengatakan, Indikasi lemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh, utamanya pekerja kontrak yang bekerja pada perusahaan outsourcing ini dapat dilihat dari banyaknya penyimpangan dan/atau pelanggaran terhadap norma kerja dan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang dilakukan oleh pengusaha dalam menjalankan bisnis outsourcing. Penyimpangan dan/atau pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.  Perusahaan tidak melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya), sehingga dalam praktiknya yang di outsource adalah sifat dan jenis pekerjaan utama perusahaan. Tidak adanya klasifikasi terhadap sifat dan jenis pekerjaan yang di outsource mengakibatkan pekerja/buruh dipekerjakan untuk jenis-jenis pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, bukan kegiatan penunjang sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang.
2.    Perusahaan yang menyerahkan pekerjaan (principal) menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lain/perusahaan penerima pekerjaan (vendor) yang tidak berbadan hukum.
3.  Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh outsourcing sangat minim jika dibandingkan dengan pekerja/buruh lainnya yang bekerja langsung pada perusahaan Principal dan/atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan dari Tesis tersebut adalah untuk menganalisis implementasi UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan , pelaksanaan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja, dan peran pemerintah Kabupaten Ketapang dalam perlindungan pekerja.

Kedua, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Petri Bockerman dan Mika Maliranta (2012) yang dilakukan di Finlandia. Jurnal ini berjudul “Outsourcing, Occupational Restructuring, and Employe Well-being Is There a Silver Lining?” Jurnal ini membahas dampak manajemen outsourcing dan restruktrurisasi kerja pada kesejahteraan karyawan yang melakukan kegiatan outsourcing, terutama outsourcing yang terjadi pada lintas negara. Outsourcing telah menjadi metode utama bagi para perusahaan untuk merestrukturisasi mekanisme dalam perusahaan sebagai upaya untuk mengoptimalkan proses produksinya. Hal seperti ini dirasa mampu untuk memicu revolusi berikutnya dalam dunia perindustrian. Outsourcing adalah bagian dari restrukturisasi kerja yang mampu meningkatkan nilai tambah perusahaan. Dalam hal kesejahteraan karyawan, kegiatan outsourcing dirasa mampu meningkatkan kesejahteraan karyawan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan outsourcing yang dapat memberikan kesempatan kepada para pekerjanya untuk saling transfer ilmu dan pengetahuan satu sama lain sehingga bisa meningkatkan kemampuan kerja tiap-tiap individu yang dapat meningkatkan kualitas pekerjaan serta memberikan kepuasan tersendiri bagi pekerja.

Solusi
Untuk menanggulangi beberapa masalah yang timbul akibat masalah outsourcing, berikut adalah beberapa solusi dalam pelaksanaannya:
  1. Pemerintah harus melakukan pengawasan dan menetapkan standar regulasi secara konsisten. Diperlukan juga pengawas yang bersertifikasi dan kompeten sehingga memastikan semua regulasi yang dilaksanakan dapat diimplementasikan. Bukan malah menimbulkan polemik di lapangan dan sebagai aturan semata tanpa realisasi. 
  2. Perusahaan BUMN harus mampu berbenah diri hingga menjadi lebih profesional dan taat hukum. Nantinya, diharapakan perusahaan BUMN tersebut dapat menjadi mitra usaha yang dapat diandalkan.
  3. Perusahaan menentukam skema hubungan kerja sama yang mampu melindungi hak pekerja atau buruh. Perusahaan seharusnya menetapkan outsourcing bukan hanya efisiensi, melainkan produktivitas yang kaitannya dengan kesejahteraan. Jadi dalam praktiknya pihak perusahaan harus lebih memerhatikan tunjangan bagi para pekerja outsourcing seperti asuransi dan tunjangan pensiun yang layak dan masuk akal.
  4. Jika para pekerja outsourcing punya kompetensi yang tinggi, ada baiknya dalam masa kontrak yang berlaku antara pekerja dan perusahaan diberikan jangka waktu yang lebih lama atau bahkan bisa di angkat menjadi karyawan tetep perusahaan guna menjamin kesejahteraan para buruh. 
  5. Perusahaan BUMN sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada Manajemen Outsourcing, agar dapat meningkatkan Kesejahteraan Karyawan, Perusahaan seharusnya mampu menjadi wadah untuk menampung komunikasi, serta dapat menjadi mediator agar dapat menyalurkan saran antara karyawan outsourcing dengan pihak user. Sehingga karyawan merasa lebih diakui dan menumbuhkan rasa loyalitas terhadap perusahaan. Dengan adanya loyalitas dari karyawan, maka perusahaan dapat meningkatkan kinerja karyawan. 
  6. Agar dapat meningkatkan Kesejahteraan Karyawan, maka perusahaan harus meningkatkan Manajemen Outsourcing dan Restrukturisasi Kerja. Karena variabel Kesejahteraan Karyawan akan meningkat seiring dengan peningkatan dari dua variabel tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA

Ulrich, D., & Brockbank, W. (2009). The HR business-partner model: Past learning and
future challenges. People and Strategy, 32(2), 5–7.

Ruth, D., Brush, T. H., & Ryu, W. (2015). The use of information technology in the
provision of HR compensation services and its effect on outsourcing and centralization. Journal of Purchasing and Supply Management, 21, 25–37.

Royen, Uti Ilmu, 2009, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Outsourcing (Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang)”, Tesis Universitas Dipenogoro Semarang.

Bockerman, P. dan Maliranta, M. (2012) Outsourcing, Occupational Restructuring, and Employee Well-being: Is There a Siver Lining? Helsinki.

Patel, C., Budhwar, P., Witzemann, A,. & Katuo, A. (2017). HR outsourcing: The impact on HR's strategic role and remaining in-house HR function. Journal of Bissiness Research.

Mello A Jeffrey, 2011 “ Strategy Management of Human Resources, 3rd edition, international edition”.

Nguyen, Thuy, T, T,. & Chang, Man-Ling (2017). Configurational examination of successful human resources outsourcing. Journal of Managemant Decition, 55.

Grover, V., Cheon, M.J., and Teng, J.T.C. (1996), “The effect of service quality and
partnership on the outsourcing of information system functions”, Journal of
Management System
, Vol.12 No.4, pp.89–116.

Lee, J.N., and Kim, Y.J. (1999), “Effect of partnership quality and IS outsourcing success:
Conceptual framework and empirical validation”, Journal of Management
Information System,
Vol.15 No.4, pp.29–61.

Kim, S. and Chung, Y. S. (2003), “Critical success factors for IS outsourcing implementation
from an interorganizational relationship perspective”, The Journal of Computer
Information Systems
, Vol.43 No.4, pp.81–91.

Boxall, P. and Purcell, J. (2003), Strategy and human resource management, Palgrave
Macmillan, Basingstoke, UK, and New York, NY.

Paauwe, J. and Boselie, P. (2005), “HRM and performance: What next?”, Human Resource
Management Journal,
Vol.15 No.4, pp.68–83.

Friday, October 4, 2019

LANDASAN SOSIOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan peserta didik hidup dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan peserta didik berasal dari masyarakat, dididik oleh masyarakat dan akan kembali kepada masyarakat. Ketika peserta dididik akan kembali kepada masyarakat, maka dia harus memiliki sesuatu yang menggambarkan masyarakat kepada dirinya. Baik itu kompetensi, pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai yang dapat berguna bagi masyarakat dimana dia hidup dan tinggal.
Inilah mengapa, pendidikan bukan hanya sekedar pembelajaran, akan tetapi lebih daripada itu semua. Kehidpuan masyarakat penuh dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya sehingga dalam pembentukan sebuah kurikulum yang akan dijalankan oleh peserta didik, landasan sosiologis mendapatkan tempat yang penting selain landasan filosofis dan landasan psikologis. Dengan pendidikan, kita mengharapkan munculnya peserta didik yang mampu membaur dan mengabdi kepada masyarakat. Sehingga dibutuhkan sistem pendidikan yang mengerti benar bagaimana masyarakat serta hal-hal apa yang ada didalamnya. Oleh karenanya, landasan sosiologis sebagai landasan penting dalam pengembangan kurikulum diharapkan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan input yang diolah oleh lembaga pendidikan di sekolah maupun madrasah.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Makna Landasan Sosiologis?
2.      Apa Ruang Lingkup Landasan Sosiologis?
3.      Apa Implikasi Landasan Sosiologis dalam Pengembangan Kurikulum?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui makna landasan sosiologis
2.      Mengetahui ruang lingkup landasan sosiologis
3.      Mengetahui Implikasi Landasan Sosiologis dalam Pengembangan Kurikulum



BAB II
PEMBAHASAN
A.  LANDASAN SOSIOLOGIS
Konsep pendidikan tidak dapat lepas dari masyarakat. Pendidikan yang tepat bagi peserta didik adalah pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Dalam perspektif Sosiologi, banyak ditemukan konsep dan pengertian pendidikan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Emile Durkheim seorang tokoh Sosiologi yang mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa, kepada mereka yang belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan kondisi fisik , intelek, dan watak yang sesuai dengan tuntutan masyarakat.[1]
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum para pengembang harus mempertimbangkan kondisi riil dan keragaman budaya (multikulturalisme) dalam masyarakat. Menurut Muzamil Basyir dan M. Sa’id masyarakat adalah komunitas yang terdiri dari individu-individu yang hidup pada tempat tertentu yang saling berhubungan baik masalah kenegaraan, kemasyarakatan, perekonomian, politik maupun kerohanian.[2]
Secara terminologi landasan sosiologis pengembangan kurikulum mempunyai arti asumsi-sumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum.[3] Landasan sosial budaya dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk menyesuaikan masing-masing perbedaan, baik dari segi sosial maupun segi budaya dan kultur yang ada di masyarakat sehingga terjalin keseimbangan dalam kegiatan pembelajaran.[4] Isi pendidikan (kurikulum) adalah kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang. Baik kebudayaan universal seperti sistem bahasa, sistem pengetahuan, agama/sistem religi, sistem mata pencaharian/teknologi, organisasi sosial, kesenian maupun kebudayaan khusus yang sesuai dengan masyarakat setempat. Kebudayaan universal terutama bahasa, religi dan sistem pengetahuan serta teknologi adalah unsur-unsur utama isi kurikulum secara universal. Sedangkan isi kebudayaan khusus masuk sebagai isi kurikulum dalam bentuk kurikulum muatan lokal.[5]
Dari sudut pandang sosiologis, dalam sistem pendidikan serta lembaga-lembaga pendidikan terdapat bahan yang memiliki beragam fungsi bagi kepentingan masyarakat:[6]
a.         Mengadakan revisi dan perubahan sosial
b.         Mempertahankan kebebasan akademis dan kebebasan melaksanakan penelitian ilmiah
c.         Mendukung dan turut memberi kontribusi kepada pembangunan
d.         Menyampaikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional serta mempertahankan status quo
e.         Mengekploitasi orang banya demi kesejahteraan golongan elite
f.          Mewujudkan revolusi sosial untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pemerintahan terdahulu
g.         Mendukung kelompok-kelompok tertentu, antara lain kelompok militer, industri, atau politik
h.         Menyebarluaskan falsafah, politik dan kepercayaan tertentu
i.           Membimbing dan mendisiiplinkan jalan pikiran generasi muda
j.           Mendorong dan mempercepat laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Para pengembang kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang, Peraturan, Keputusan Pemerintah dan lain-lain; menganalisis masyarakat dimana sekolah berada, menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja; menginterpretasi kebutuhan individu dalam runag lingkup kepentingan masyarakat. James W. Thornton mengatakan bahwa setidaknya ada empat kelompok kekuatan sosial yang mempengaruhi kurikulum. Diantaranya:[7]
a.              Kekuatan sosial yang resmi, terdiri dari : pemerintah suatu negara, melalui UUD dan ideologi negara; pemerintah daerah melalui kebijakannya; perwakilan departemen pendidikan setempat.
b.             Kekuatan sosial setempat, terdiri dari: yayasan yang bergerak dibidang pendidikan; kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis; perguruan tinggi; persatuan orang tua murid; penerbit buku-buku belahar; media massa; adat kebiasaan masyarakat setempat.
c.              Organisasi profesional, seperti persatuan guru, dokter dan ahli hukum.
d.             Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan kepentingan tertentu, seperti kelompok patriotik dan sebagainya.
Para pengembang kurikulum memiliki tugas atau tanggung jawab untuk:
a.              Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang, Peraturan, Keputusan Pemerintah, dan lain-lain.
b.             Menganalisis masyarakat dimana sekolah berada.
c.              Menganalisis syarat dan tuntutan terhadap tenaga kerja, dan
d.             Menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang lingkup kepentingan masyarakat.[8]
Dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum, para pengembang mesti merujuk pada lingkungan atau dunia dimana mereka tinggal, merespon berbagai kebutuhan yang dilontarkan oleh beragam golongan dalam masyarakat (sebagaimana diungkapkan di atas) dan memahami tuntutan pencantuman nilai-nilai falsafah pendidikan bangsa dan terkiat dengan falsafah pendidikan yang berlaku.
Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Hal ini dikarenakan “Anaka-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal, informal maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan kurikulum.


B.     RUANG LINGKUP LANDASAN SOSIOLOGIS
1.    Sistem Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat adalah sebuah sistem yang memiliki tiga subsistem, yaitu subsistem budaya (culture system), subsistem sosial (social subsystem), dan subsistem kepribadian (personality subsystem). Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut bersama (shared). Dalam sistem sosial terdapat struktur peran, yaitu perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang sesuai dengan status sosialnya. Sosiologi mengenal dua kategori status sosial yaitu (a) ascribed status, yaitu status yang diperoleh sejak lahir atau sebagai akibat perkembangan usia, seperti laki-laki atau perempuan, bangsawan atau rakyat jelata, rahmana atau ksatria, sebagai anak-anak atau orang dewasa. (b) achieved status , yaitu status yang diperoleh karena hasil usaha orang yang bersangkutan, seperti dosen, guru, karyawan, pimpinan perusahaan, dokter, advokat, dan pemain bola.[9]
Hasil penelitian Alex Inkeles di enam negara Asia, Afrika dan Amerika Latin menggambarkan karakteristik kepribadian manusia modern sebagai berikut:
(a)      Mau menerima ide atau gagasan dan pengalaman baru serta terbuka untuk perubahan dan pembaharuan
(b)      Mampu mengeluarkan pendapat mengenai berbagai persoalan pribadi atau orang lain. Ia tidak tunduk begitu saja terhadap pendapat orang lain.
(c)      Percaya pada keampuhan ilmu pengetahuan dan ilmu pengobatan modern, tidak tinggal pasif dan menyerah pada nasib dalam menghadapi persoalan hidup
(d)      Mempunyai ambisi bagi dirinya dan bagi anak-anaknya untuk memiliki lapangan kerja dan pendidikan yang lebih baik
(e)      Tepat waktu dan menyusun rencana kerja untuk masa yang akan datang
(f)       Memperlihatkan perhatian yang serius terhadap masalah-masalah sosial dan ikut andil didalamnya
(g)      Berusaha untuk mengikuti berita-berita Nasional dan Intenasional[10]

2.         Pendidikan Dan Perubahan Sosial
Struktur sosial meliputi pola pengaturan status dan peran-peran yang berkaitan satu sama lain, sedangkan interaksi sosial adalah proses saling berhubungan dan saling mempengaruhi anatar seorang warga dengan warga lainnya. Isu perubahan banyak juga digunakan dalam rangka promosi suatu jabatan, mulai dari pemilihan calon pejabat politisi. Artinya perubahan bukan saja milik masyarakat di suatu daerah melainkan milik masyarakat nasional bahkan dunia.
Berbagai perubahan sosial pada gilirannya akan berdampak terhadap peran pendidikan. Pendidikan akan berperan ganda, disatu pihak pendidikan sebagai pelaku konservasi (agent of conservation) tetapi dilain pihak pendidikan sebagai pelaku perubahan (agent of change ). Berbagai peran pendidikan dalam perubahan sosial menimbulkan fenomena baru yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak terkait. Dasar pemikirannya adalah:
a.         Banyak orang dari orang desa agraris yang mampu menyekolahkan putra-putrinya ke kota dalam bidang non agrikultur. Setelah lulus anak-anak tersebut tidak mau lagi pulang ke desanya karena merasa tdak cocok lagi berada di lingkungan desa yang agrarid tersebut. Orang tua pun berfikir yang sama dengan anaknya. Orang tua berharap anak-anaknya dapat bekerja di kantor atau perusahaan yang lebih produktif dan terhormat, sehingga terjadilah urbanisasi.
b.      Masyarakat yang cenderung hanya ingin memperoleh gelar akademik mulai dari tingkat sarjana, magister sampai doktor, bahkan ada juga yang ingin membeli jabatan fungsional dosen yaitu guru besar (profesor) dengan cara apapun.
c.       Dengan masyarakat yang sedang dan terus berkembang seperti Indonesia, pendidikan formal bergerak mengikuti perkembangan masyarakat, bukan membimbing atau menuntut perkembangan masyarakat. Fungsi pendidikan hanya bersifat adaptif, yaitu memberikan kemampuan beradaptasi terhadap suatu keadaan. Artinya, ada agen perubahan lainnya yang lebih efektif dibandingkan pendidikan, mungkin komunikasi atau proses difusi.

C.  IMPLIKASI LANDASAN SOSIOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
1.         Pengembangan kurikulum harus memperhatikan nilai-nilai, norma, pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang ada di dalam masyarakat. Tidak hanya itu pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan bentuk perilaku seseorang berdasarkan status sosialnya dan karakteristik kepribadian manusia modern.[11]
2.         Pengembangan kurikulum disusun dengan memanfaatkan media pembelajaran yang modern sehingga siswa betul-betul menyenangi dan menguasai materi (kurikulum) yang disampaikan sebagai bekal mereka untuk menghadapi masalah-masalah aktual di masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.[12]
3.         Pengembangan kurikulum harus disusun secara terpadi, sistematik, komprehensif dan holistik untuk melakukan reorientasi dan reorganisasi kurikulum sehingga pendidikan itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik melalui kajian-kajian teoritik maupun empirik.[13]
4.         Pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal seperti peran orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
5.         Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kepentingan peserta didik pada masa yang akan datang, antara lain sebagai calon ayah atau calon ibu yang akan mendidik putra-putrinya.
6.         Pengembangan kurikulum harus dapat membekali kemampuan yang cukup kepada peserta didik agar ia menyadari sepenuhnya peran penting sebagai orang tua dalam mendidik putra-putrinya.[14]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara terminologi landasan sosiologis pengembangan kurikulum mempunyai arti asumsi-sumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Landasan sosial budaya dalam pengembangan kurikulum bertujuan untuk menyesuaikan masing-masing perbedaan, baik dari segi sosial maupun segi budaya dan kultur yang ada di masyarakat sehingga terjalin keseimbangan dalam kegiatan pembelajaran.
Ruang lingkup dalam landasan sosiologis adalah sistem masyarakat dan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam artian, pendidikan harus mampu memenuhi apa yang masyarakat inginkan tanpa menghilangkan nilai-nilai dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Implikasi landasan sosiologi dalam pengembangan kurikulum adalah: Pengembangan kurikulum harus memperhatikan nilai-nilai, norma, pengetahuan, kepercayaan dan keyakinan yang ada di dalam masyarakat; Pengembangan kurikulum disusun dengan memanfaatkan media pembelajaran yang modern; Pengembangan kurikulum harus disusun secara terpadi, sistematik, komprehensif dan holistik untuk melakukan reorientasi dan reorganisasi kurikulum; Pengembangan kurikulum harus memperhatikan unsur-unsur pendidikan informal seperti peran orang tua dan anggota keluarga.







DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013).
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum (Teori dan Praktek), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
Raharjo, Rahmat, Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Baituna Publishing, 2012).
Sudjana, Nana, Pembinaan Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1991).
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010).
Zaini, Muhammad, Pengembangan Kurikulum (Konsep Implementasi dan Inovasi), (Yogyakarta: Teras, 2009).



Outsourcing Sumber Daya Manusia

Outsourcing Sumber Daya Manusia Oleh: Cahyani Susan Latar Belakang Masalah Semakin pesatnya perkembangan bisnis saat ini menuntut p...